Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKITAR 20 orang menyimak paparan Direktur Woman Crisis Center (WCC) Jombang Ana Abdillah di sebuah ruangan hotel di Jombang, Jawa Timur, pada Rabu, 30 November lalu. Mereka adalah para pekerja sosial, aktivis perempuan, dan aparatur pemerintah yang sehari-hari berkecimpung mendampingi perempuan. “Ini pelatihan untuk mengadvokasi penanganan kasus kekerasan seksual yang menyasar perempuan,” ujar Ana, 28 tahun, di sela-sela sesi pelatihan.
Pelatihan itu merupakan kegiatan rutin WCC Jombang. Organisasi yang berdiri sejak 1999 ini kian intens memfasilitasi sejumlah sesi pelatihan setelah Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 12 April lalu.
UU TPKS hadir dengan paradigma baru yang mengubah perspektif kekerasan terhadap perempuan. Dampaknya juga berpengaruh pada pola penanganan dan pendampingan bagi para korban.
Baca: Mandi Kemben Putra Kiai
Ana memaparkan materi pelatihan dengan jernih dan sistematis. Ia juga mengajak para peserta berbagi pengalaman, berdiskusi, merumuskan langkah advokasi, serta menghadapi simulasi penanganan kasus.
Forum itu hanyalah satu cara yang digagas WCC Jombang. Anna dan para koleganya juga kerap wira-wiri ke sejumlah kantor polisi untuk mensosialisasi UU TPKS kepada para penyidik. “Agar tak hanya mengandalkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,” katanya.
Salah satu paralegal yang menjalin mitra kerja dengan WCC adalah Suciati, warga Desa Keras, Kecamatan Diwek, Jombang. Ia terjun sebagai pekerja sosial setelah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga akibat ditelantarkan suami selama 11 tahun. Pertalian Suciati dengan WCC sudah lebih dulu terbangun ketimbang Ana. Atas bantuan WCC, ia merintis pembentukan Komunitas Kelompok Solidaritas Perempuan Desa Keras. Gerakan itu terbentuk pada 2004.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengasuh Ponpes As Sa'idiyyah 2 Bahrul Ulum, Umdatul Choirut bersama Ana Abdillah (kiri), bersama santriwati dalam diskusi hak kesehatan seksual dan reproduksi di Pondok Pesantren As Sa'idiyyah 2 Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur, 15 Desember 2022. TEMPO/Imam Sukamto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suciati mengagumi Ana. Di mata para kolega, Ana dikenal sebagai sosok yang gigih dan konsisten memperjuangkan hak para perempuan. “Ketika dihadapkan pada masalah apa pun, beliau tidak merasa dirinya perempuan. Harapan saya, Ana-Ana yang lain tumbuh di Jombang untuk meminimalkan kekerasan seksual,” ucapnya. Ia berharap perempuan korban tindak kekerasan berani bersuara. “Apalagi setelah UU TPKS disahkan.”
Kepedulian Anna terhadap pembelaan hak perempuan punya riwayat panjang. Saat menempuh studi sarjana di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, ia aktif menghidupkan forum pembelajaran advokasi perempuan.
Perannya makin menonjol setelah didaulat sebagai Ketua Korps Himpunan Mahasiswa Islam Wati Universitas Islam Negeri Sunan Ampel. Sejumlah riset ihwal efektivitas layanan hukum kasus kekerasan terhadap perempuan pernah ia lakoni.
Bergulat dengan dunia aktivis mengharuskan Ana meluangkan waktu lebih untuk berinteraksi dengan banyak lembaga negara. Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak acap menjadi tempat yang ia singgahi sepulang kuliah.
Ia juga rajin menyambangi ruangan penyidik Subdirektorat Perlindungan Perempuan dan Anak Kepolisian Daerah Jawa Timur. Letak UIN Sunan Ampel berdekatan dengan Markas Polda Jawa Timur. “Beberapa kali diminta menjaga selter korban trafficking,” tuturnya.
Ana Abdillah, bersama santriwati dalam sosialisasi perlindungan perempuan dan anak dari kekerasan seksualitas di Pondok Pesantren As Sa'idiyyah 2 Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur, 15 Desember 2022. TEMPO/Imam Sukamto
Pengalamannya sebagai pendamping memberinya inspirasi ketika merampungkan tugas akhir. Proposal skripsinya berjudul “Upaya Penanganan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga di Pusat Pelayanan Terpadu Provinsi Jawa Timur dalam Perspektif Maqashid al Syariah” langsung disetujui dosen pembimbing. Setelah menggondol gelar sarjana pada 2016, jebolan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel, Surabaya, itu tak ragu melanjutkan karier sebagai aktivis WCC Jombang.
Ibu dengan dua anak itu kini memimpin WCC Jombang sejak 2020. Kepercayaan para kolega terhadap Ana adalah buah dedikasinya memberikan layanan pendampingan terhadap para korban, baik di lingkungan keluarga maupun lembaga pendidikan, termasuk pesantren.
Kasus yang paling menantang bagi Ana adalah kekerasan seksual yang dilakukan Mochammad Subchi Azal Tsani, anak seorang pimpinan pesantren di Jombang. Subchi alias Bechi kini berstatus narapidana dalam kasus itu.
Dakwaan terhadap Bechi dibacakan pada 18 Juli lalu dan diputus pada 17 November lalu. Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan hukuman tujuh tahun penjara kepada Bechi.
Putusan itu jauh lebih ringan daripada tuntutan jaksa yang meminta hukuman bui 16 tahun. Merespons putusan hakim, jaksa dan kuasa hukum Bechi sama-sama mengajukan banding. Hingga kini permohonan banding kedua pihak belum diputus Pengadilan Tinggi Jawa Timur.
Bechi adalah putra Kiai Muchtar Mu’thi, pendiri sekaligus pengasuh Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah yang beralamat di Jalan Raya Ploso-Babat, Desa Losari, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang. Kiai Muchtar yang biasa dipanggil Kiai Tar juga pemimpin spiritual atau mursyid bagi jemaah Tarekat Shiddiqiyyah dan pendiri Organisasi Shiddiqiyyah. Organisasi ini memiliki banyak jaringan yang tersebar di Indonesia, Malaysia, hingga Singapura.
Organisasi Shiddiqiyyah tidak hanya bergerak di bidang keagamaan, tapi juga pemberdayaan ekonomi. Di dunia bisnis, keluarga Kiai Tar bersama para pengurus organisasi bahkan memiliki sejumlah aset berupa hotel berbintang tiga, rumah makan, perusahaan rokok, perusahaan air mineral, dan lain-lain. Kiai Tar merupakan seorang tokoh berpengaruh di Jombang.
Banyak pejabat, tokoh, dan politikus tingkat lokal ataupun nasional yang kerap sowan ke rumah kediaman Kiai Tar. Presiden Joko Widodo juga sempat beranjangsana ke rumah Kiai Tar saat menyiapkan diri mengikuti Pemilihan Umum 2014.
Nama besar dan pengaruh itu jugalah yang menjadi tantangan bagi Anna dan para koleganya ketika mendorong proses hukum terhadap Bechi. Mereka harus menghadapi tekanan dari ribuan anggota jemaah, baik dari dalam maupun luar lingkungan pesantren.
Sejumlah kalangan birokrat yang seharusnya berperan sebagai mitra kerja WCC rupanya ikut memperkeruh penanganan kasus. Mereka berupaya menggembosi upaya advokasi dan meminta Ana meredam penanganan kasus itu.
Mereka menganggap mencuatnya skandal asusila ke sejumlah media massa bakal merusak citra Jombang sebagai Kota Santri. “Sudahlah, kasus yang ditangani WCC kan banyak,” ujar Ana menirukan ucapan seorang pejabat kala itu.
Ana tak gentar menghadapi tekanan. Ia bersama aktivis lain berulang kali mendorong penyelesaian kasus lewat tangan penyidik. Tercatat tiga laporan pernah mereka buat di Kepolisian Resor Jombang.
Tapi tak satu pun berkas perkara itu yang selesai. Berkas penyidikan yang dilimpahkan polisi berulang kali mentah di tangan jaksa peneliti. Penyelesaian kasus yang bergejolak sejak 2017 itu baru menemukan titik terang setelah diambil alih Polda Jawa Timur.
Kasus Bechi terungkap dari laporan korban ke Kepolisian Resor Jombang. Korban yang sudah beranjak remaja itu mengaku kerap dipaksa meladeni nafsu berahi Bechi. Saat itu ia adalah santriwati 15 tahun yang masih menjalani studi tingkat menengah di Pesantren Shiddiqiyyah (cerita lengkap di artikel ini).
Bechi berjanji bakal menikahi perempuan korban. Tapi janji itu tak pernah ia tunaikan. “Alibi suka sama suka dalam kasus itu tidak dikenal dalam UU Perlindungan Anak,” ucap Ana.
Ana sempat geram karena polisi tak merespons aduan korban Bechi. Apalagi keberadaan korban belakangan sulit dideteksi meski sempat mendapatkan layanan dari WCC.
Sempat tiarap beberapa saat, skandal Bechi kembali mencuat lewat kesaksian lima korban lain pada 2018. Tapi berkas aduan itu mandek di tangan penyidik Polres Jombang karena alasan tak cukup bukti. “Padahal semua korban mengalami perlakuan yang tidak manusiawi,” tutur Ana.
Kekerasan seksual terjadi di lokasi dan waktu yang tidak bersamaan dalam area kompleks pesantren. Selain berjanji menikahi korban, Bechi memanfaatkan momen perekrutan tenaga klinik kesehatan yang ia rintis.
Para korban ia minta menjalani ritual tertentu, termasuk berendam di kolam dan mandi kembang dengan mengenakan kain jarik atau sewek yang melilit tubuh hingga bagian dada. Korban lalu diminta melepas sewek hingga telanjang.
Ana Abdillah (kanan), bersama kawan-kawan aktivis Women's Crisis Center (WCC), di Kantor WWC, Jombang, Jawa Timur, 16 Desember 2022. TEMPO/Imam Sukamto
Dalam keadaan tak berbusana, Bechi mewawancarai korban. Ia lalu melancarkan bujuk rayu. Beberapa korban yang teperdaya lalu ia setubuhi.
Ana dan sejumlah warga sipil lantas mengorganisasi gerakan Aliansi Kota Santri Lawan Kekerasan Seksual. Gigih mengadvokasi, mereka berhasil meyakinkan penyidik Polres Jombang untuk menyeret Bechi. Namun belakangan proses hukum laporan itu lagi-lagi mandek. Bechi tak kunjung diperiksa setelah ditetapkan sebagai tersangka pada November 2019.
Demonstrasi besar-besaran pun pecah. Ana dan sejumlah warga sipil berulang kali mendesak penyidik merampungkan berkas laporan para korban. Gerakan itu justru mendapat serangan balik dari para pendukung Bechi.
Mereka menggelar demonstrasi tandingan dan meniupkan narasi pembelaan yang menyebut tuduhan terhadap Bechi bermotif persaingan bisnis di balik kesuksesan rokok Sehat Tentrem dan imbas dari sengketa aset istri kedua Kiai Tar.
Polda Jawa Timur merespons gesekan kedua kubu dengan mengambil alih perkara. Sejumlah polisi sempat berupaya menjemput paksa Bechi dari rumahnya di kompleks Pondok Pesantren Majma’al Bahroini Pada 15 Februari 2022. Upaya itu gagal karena dihalangi massa. Bechi baru bisa ditangkap setelah Polda menurunkan ratusan personel pada 7 Juli 2022.
Proses hukum terhadap Bechi membuat para pendukungnya geram. Mereka menyerang Ana dan teman-temannya di media sosial. Ada yang mengirimkan ancaman lewat aplikasi WhatsApp. Sadar akan ancaman itu, Ana mengaku harus menutup kantor WCC Jombang beberapa saat. “Ketika kantor mulai aktif, kakak kandung saya bahkan merasa harus pakai layanan antar-jemput demi keselamatan diri,” ujarnya.
Salah satu mitra kerja Ana mengalami doxing, yaitu Syarif Abdurrahman. Mahasiswa Pesantren Tebuireng, Jombang, itu adalah Koordinator Aliansi Santri Lawan Kekerasan Seksual. “Doxing-nya luar biasa, akun media sosial saya diserang. Saya difitnah sana-sini sampai profiling. Bahkan media tempat kerja saya diserang, termasuk akun media sosial saya. Sejak itu saya tidak pernah menggunakan akun media sosial,” kata Ana.
Namun ancaman itu tak menyurutkan langkah Ana. Ia tetap menyambangi Polda Jawa Timur untuk mengawal proses hukum kasus Bechi. Saat gelar perkara pada awal 2021, ia dan sejumlah warga sipil menggelar aksi.
Momen itu nyaris bersamaan dengan konser yang digelar pendukung Bechi di Jombang. Ketika itu kondisinya tengah hamil besar. “Wartawan yang mau mewawancarai saya minta hanya menampilkan setengah badan saya,” katanya.
Aktivitas Ana dan teman-temannya memiliki risiko tinggi. Anggota Komisi Kepolisian Nasional, Poengky Indrawati, mengaku sempat meminta Polda Jawa Timur dan Polres Jombang melindungi Ana.
Ia khawatir program kerja Ana dan para koleganya memicu tindakan anarkistis para pendukung Bechi. “Saya hanya merespons permintaan. Ada potensi bahaya yang mereka hadapi,” ucapnya.*
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo