KEBEBASAN itu dihadiahkan Mahkamah Agung kepada Tommy Soeharto ketika mayoritas penduduk negeri ini beranggapan bahwa buron terhormat itu seharusnya berada dalam penjara, menjalani hukumannya. Tommy, yang divonis bersalah pada tingkat kasasi—yang berarti mempunyai kekuatan hukum tetap—ternyata dibebaskan di tingkat peninjauan kembali (PK), Senin pekan silam. Masyarakat terguncang karena, dari sisi hukum, PK itu sendiri masih merupakan produk yang kontroversial. Sedangkan dari sisi penegakan hukum, ada yang berpendapat akan sangat bijak jika keputusan PK dikeluarkan ketika terpidana Tommy telah menanggalkan status buron dan menyerahkan diri ke polisi.
Masih banyak alasan lain yang dikemukakan, misalnya bagaimana Mahkamah Agung sebagai institusi yudikatif tertinggi di negeri ini mengeluarkan keputusan yang berbeda atas kasus yang sama (kasus Tommy dalam ruilslag Goro-Bulog). Bukti baru alias novum, yang disebut-sebut menjadi dasar yang kuat untuk PK Mahkamah Agung tersebut, juga dinilai tidak layak karena semua bukti sudah tercantum dalam berkas dakwaan yang diajukan kejaksaan. Singkat kata, PK itu sendiri menciptakan suatu ketidakpastian dalam opini masyarakat tentang apa yang disebut kepastian hukum dan keadilan. Mungkin karena itu pula, Kejaksaan Agung memutuskan melakukan PK atas PK yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung.
Sementara masyarakat dibingungkan, dalam acara bincang-bincang di sebuah televisi swasta, pengacara Tommy, Elza Syarief, menyatakan bahwa kliennya itu akan menyerahkan diri ke polisi akhir bulan ini. Tak ada penjelasan mengapa harus menunggu tiga minggu lagi. Yang pasti, kendati PK telah memberinya kebebasan, Tommy tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Karena itu pula, kejaksaan menyatakan Tommy wajib datang pada penandatanganan eksekusi PK, Senin pekan ini. Jika tidak, status terpidananya tak akan dicabut.
Keterlibatan Tommy dalam kasus Bulog-Goro bermula dari ruilslag tanah seluas 23 hektare di Kelapagading antara Goro dan Bulog pada tahun 1995. Disepakati, untuk tukar-menukar itu Bulog menyerahkan tanah di Kelapagading, sedangkan Goro meng-gantinya dengan lahan seluas 63 hektare di Marunda, Jakarta Utara. Ternyata lahan yang disodorkan Goro itu masih berstatus tanah adat. Pembebasan tanah itu dan biayanya malah diserahkan ke Bulog—keanehan yang hanya mungkin terjadi tak lain karena Badan Urusan Logistik itu berhadapan dengan Tommy, putra kesayangan Presiden Soeharto.
Selain itu, untuk mendapatkan kredit dari Bukopin, uang Bulog sebesar Rp 20 miliar kembali dikucurkan ke Goro—lagi-lagi di-lakukan demi Tommy—sebagai jaminan. Tak aneh, Tommy, yang kemudian berstatus komisaris Goro, akhirnya digiring ke pengadilan. Aneh bin ajaib, baik di pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi, Tommy dinyatakan menang. Barulah di tingkat kasasi ia dinyatakan kalah.
Sejak divonis bersalah dan harus mendekam di penjara 18 bulan serta membayar ganti rugi Rp 30 miliar, November tahun lalu Tommy menghilang tak tentu rimbanya. Pihak kejaksaan waktu itu tampak sangat gusar. Soalnya, tanggung jawab atas dijebloskannya terpidana ke penjara ada pada instansi ini. Tommy lalu dinyatakan buron. Upaya mencari pria yang selalu tampil necis itu segera dilakukan. Berbagai tempat yang diyakini menjadi sarang persembunyian Tommy digeledah. Rumah Soeharto dan anak-anaknya tak luput dari pemeriksaan. Hasilnya nihil.
Pencarian Tommy juga dilakukan pihak kepolisian. Kepolisian Daerah Metro Jaya mengerahkan 1.200 petugas untuk mengejarnya. Selain itu, dibentuk pula tim pemburu, antara lain ”Tim Lima”, yang dipimpin Kepala Korps Reserse Mabes Polri, Irjen Engkesman Hilep. Ratusan rumah di Bogor dan Jakarta digeledah. Hasilnya sama saja, nol besar.
Bagaimana nasib Tommy, yang berstatus buron, setelah diputus bebas? Menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Bambang Widjojanto, Tommy tetap dapat dikenai sanksi hukum sesuai dengan Pasal 216 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana karena menolak pidana penjara. Berdasarkan pasal itu saja, Tommy dapat diganjar pidana penjara maksimum empat bulan dua minggu.
Sekretaris Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, Rifqi Sjarief Assegaf, justru menyatakan sulit meminta pertanggungjawaban hukum akibat buronnya Tommy setelah PK keluar. Hal serupa dilontarkan Kapolda Metro Jaya, Irjen Sofjan Jacoeb, yang menyatakan tak ada lagi persoalan hukum bagi Tommy.
Dengan PK dari Makhamah Agung, apakah hidup Tommy akan kembali normal? Tampaknya belum akan ada pesta bagi Tommy dalam waktu dekat. Ia akan dituntut untuk tindak kejahatan lainnya. Pertama, Tommy diduga menjadi otak penembakan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita. Kedua, pria berusia 40 tahun itu ditengarai mendalangi aksi pengeboman yang menjamur beberapa waktu belakangan ini dan dipersoalkan memiliki senjata api ilegal. ”Semua indikasi kuat mengarah pada Tommy. Dia telah dijadikan tersangka dan terus kita kejar,” tutur Sofjan Jacoeb, tegas.
Seperti diketahui, Syafiuddin Kartasasmita—hakim agung yang memutus perkara Tommy di tingkat kasasi—tewas ditembak Agustus lalu di sebuah jalan yang ramai di Jakarta. Tudingan lantas ditujukan pada Tommy. Motifnya, bos Humpuss ini membalas dendam terhadap hakim agung yang telah menjatuhkan hukuman pada dirinya itu.
Polisi kemudian resmi menyatakan Tommy sebagai tersangka pembunuhan Syafiuddin setelah pelaku penembakan bisa diciduk polisi. Dari hasil penyelidikan polisi, ditangkaplah Fery Hukom. Lelaki kelahiran Ambon ini kerap tampak mengawal Tommy selama pemeriksaan di Kejaksaan Agung dan Mabes Polri.
Fery tak lain adalah kawan Tommy semasa bersekolah di STM Penerbangan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dari tangan Fery, ditemukan setumpuk dokumen berisi denah alamat dan foto rumah-rumah tiga hakim agung yang memutus kasasi Tommy: Syafiuddin, Sunu Wahadi, dan Paulus Lotulung. Di-dapati pula kartu tanda penduduk (KTP) Tommy yang baru. Di KTP itu, wajah Tommy tampak berubah: berewok dan berpipi tembam.
Fery mengaku dokumen itu dipesan oleh Deddy S. Yusuf. Dari Deddy, polisi mengetahui bahwa Tommylah yang meminta untuk melakukan survei atas rumah Syafiuddin. Hasil survei diserahkan kepada Heti Siti Hartika. Heti, yang selama ini berhubungan dengan Tommy, tinggal di Apertemen Cemara, Menteng, Jakarta Pusat. Deddy juga menyebutkan nama Dodi Hardjito, teman Tommy sejak kecil. Setelah Dodi dibekuk, Dodi ”bernyanyi” bahwa Tommy menaruh dendam pada Syafiuddin dan mengajak dirinya menghabisi nyawa sang Hakim. Dodi menolak dengan alasan tak mahir mengendarai sepeda motor RX King yang baru dibeli Tommy. Untuk itu, dicarikan orang yang dapat dipercaya dan ditemukanlah Maulawarman alias Mola.
Mola menyanggupi pesanan itu dan mengajak rekannya, Noval Haddad. Kepada keduanya, Tommy membayar US$ 10 ribu. Tommy juga membekali dengan senjata dan denah hasil survei. Setelah sukses membunuh Syafiuddin, Tommy—menurut pengakuan Mola—menawarkan order lain, yakni menghabisi Sunu Wahadi dan Paulus Effendy Lotulung. Informasi tentang keterlibatan Tommy ini—dalam kasus pembunuhan Syafiuddin—disangkal keras oleh saudara-saudaranya. ”Apa alasan Tommy melakukan itu?” ujar Titiek, kakak Tommy.
Dugaan bahwa Tommy menjadi dalang peledakan bom mencuat setelah polisi meng-geledah dua tempat: Apartemen Cemara, tempat tinggal Heti, dan sebuah rumah kontrakan di Jalan Alam Segar, Pondokindah, Jakarta Selatan. Polisi meyakini Tommy pernah menjadikan dua tempat itu sebagai lubang persembunyiannya. Di sana ditemukan berbagai rupa senjata berat, ratusan butir peluru, bermacam bahan peledak, dan segepok lembaran dolar Amerika.
Lebih mencengangkan lagi, ada selembar surat yang menyebutkan persekutuan Tommy dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Surat yang ditujukan untuk Tommy itu ditanda-tangani seseorang bernama Gombloh bin Mohammad Karim. Tulisan dalam surat itu ada yang menggunakan bahasa sandi. Antara lain, dituliskan: ”Titik kerja sembilan petak harus diisi empat RCD (explosive device)”. Juga ada tulisan: ”Skenario operasi: operator total kewarganegaraan asing. Copy fax penawaran terlampir melibatkan teman-teman dan tentara dari GAM. Mereka hanya kita beri instruksi untuk membuat sedikit kemelut pada radius 3 sampai 4 km lingkaran proyek.”
Atas temuan itu, kontan saja Tommy dinyatakan sebagai tersangka pelaku pengeboman. Tapi, soal berkomplotnya Tommy dengan GAM langsung dibantah oleh Panglima Operasi GAM Komando Pusat, Teungku Amri Abdul Wahab. Ia balik menuding bahwa berbagai temuan itu hanya bagian dari usaha polisi untuk menyudutkan GAM. ”Mana mungkin GAM bisa bekerja sama dengan anak pembunuh bangsa Aceh seperti Tommy,” ujar Wahab. Namun, Sofjan Jacoeb tetap yakin bahwa Tommy berhubungan dengan GAM. ”Kami memiliki bukti Tommy mempunyai jalur ke GAM,” katanya.
Sebelum resmi dijadikan tersangka pengeboman, Agustus lalu nama Tommy memang kerap dikaitkan dengan aksi peledakan bom. Ia, misalnya, dituding mendalangi peledakan Kantor Kejaksaan Agung di Jakarta Selatan, Juli tahun lampau. Tommy juga disebut bekerja sama dengan Elize Maria Tuwahatu, yang kepergok menenteng bom di Taman Mini. Bahkan, oleh Presiden Abdurrahman Wahid waktu itu, Tommy disebut sebagai otak pe-ledakan bom di Bursa Efek Jakarta.
Nudirman Munir, kuasa hukum Tommy, menampik tudingan kliennya terlibat dalam aksi pengeboman. ”Tidak ada hubungannya, Elize saja sudah mengakui tidak ada hubungannya dengan Tommy,” ujar Nudirman. Terhadap bantahan itu, sekali lagi Sofjan menyatakan pihaknya memiliki bukti-bukti kuat. ”Kalau tudingan itu tidak benar, Tommy datang pada saya dan menyerahkan diri. Akan kita lakukan pemeriksaan dan pembuktian di pengadilan.”
Terbetik berita bahwa Tommy siap menyerahkan diri asalkan beberapa syarat dipenuhi, termasuk ada jaminan dari polisi untuk pengamanan dirinya. Polisi bersedia memberi jaminan, tapi Tommy rupanya belum yakin akan hal itu. Atau, Tommy punya rencana lain?
Wallahualam.
Hendriko L. Wiremmer, Setiyardi, Agus Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini