Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Utangku untuk Hutanku

Pemerintah menyiapkan mekanisme pengalihan utang untuk konservasi. Ancaman penyelewengan tetap ada.

7 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAYAR utang ke rekening sendiri. Cara itu mungkin terdengar aneh, tapi nyata adanya. Saat ini, pemerintah menyiapkan mekanisme pembayaran sebagian utang luar negeri untuk membiayai pelestarian sumber daya alam dan pembangunan sosial di Indonesia. Langkah pengalihan utang ini dikenal sebagai debt-for-nature & development swap (DNDS). Kepastian masuknya DNDS dalam negosiasi Menteri Keuangan kepada negara debitor (seperti Amerika Serikat dan Jerman) itulah yang pekan-pekan ini ditunggu Nabiel Makarim. "Saya berharap segera terealisasi," kata Menteri Negara Lingkungan Hidup tersebut. Sebab, tiga pekan lalu, usul ini disampaikan Makarim dan disepakati dalam rapat yang dipimpin Jusuf Kalla, Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Utang yang dikonversi itu akan dibayar dalam bentuk rupiah. Menurut Makarim, pembayaran utang dalam mata uang rupiah bisa menghemat devisa negara. Belum lagi investasi di bidang konservasi dan pembangunan yang akan terbuka. Dan yang terakhir tentunya keuntungan bagi desentralisasi proyek-proyek konservasi dan pembangunan. Meski menurut dia jumlah utang yang dikonversi tak terlalu besar, DNDS bisa mengurangi beban utang luar negeri Indonesia, yang kini mencapai US$ 145 miliar (sekitar Rp 1.435 triliun). Apalagi kondisi krisis saat ini mengakibatkan alokasi anggaran untuk pelestarian sumber daya alam sangat terbatas. Padahal, hidup sekitar 80 juta penduduk Indonesia masih bergantung pada hutan, yang tingkat kerusakannya mencapai 2 juta hektare per tahun. Makarim berharap pemerintah menyediakan dana pendamping 25-50 persen dari total utang yang dikonversi. Mekanisme yang sebelumnya disebut DNS atau debt-for-natural swap itu diusulkan oleh Komite Pengarah DNS, yang terdiri atas empat organisasi konservasi di Indonesia, yaitu Conservation Indonesia, Yayasan Kehati, The Natural Conservation, dan World Wildlife Fund (WWF) Indonesia. Mereka berkaca kepada hasil negosiasi DNS yang pertama kali terjadi pada 1987 di Bolivia. Saat itu, pola tersebut menghasilkan dana US$ 2 miliar (sekitar Rp 19,8 triliun) untuk kegiatan konservasi di lebih dari 30 negara. Utang yang dikonversi bisa berbentuk bilateral di antara dua negara. Kedua pihak sepakat menyisihkan sebagian utang untuk dipakai bagi tujuan tertentu. Utang bilateral ini biasanya dikembalikan senilai utang semula, tanpa diskon. Sementara itu, mekanisme lain dilakukan dengan melibatkan pihak ketiga. Caranya, sebuah organisasi konservasi membeli utang komersial Indonesia dengan harga diskon. Nantinya, Indonesia membayar dengan memberikan dukungan terhadap kegiatan konservasi. Contohnya Filipina, yang kini berhasil menghapuskan utang sebesar US$ 30 juta atau sekitar Rp 297 miliar. Delapan tahun lalu, Filipina melakukan DNS pertama kali dengan melibatkan pihak ketiga. Saat itu, WWF (organisasi penyayang binatang dunia) membeli utang komersial Fililipina sebesar US$ 19 juta (sekitar Rp 188 miliar) di pasar sekunder dengan harga US$ 13 juta (setara dengan Rp 128 miliar) dari Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID). Itu berarti WWF membeli utang tersebut seharga 68 persen dari nilai pinjaman. Nah, Filipina setuju membayar kembali utang tersebut dalam mata uang peso dan obligasi peso senilai US$ 17 juta (sekitar Rp 168 miliar) atau 90 persen dari nilai utang. Uang tersebut menjadi dana abadi yang dikelola The Foundation for Philippines Environment untuk melindungi keanekaragaman hayati di Filipina. Bagi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), masalah pelestarian lingkungan di Indonesia bukan pada kucuran dana. "Ini masalah kebijakan dan pelaksanaan di lapangan," kata Longgena Ginting dari organisasi pencinta lingkungan itu. Dia memberikan contoh Kosta Rika, Ekuador, Meksiko, dan Madagaskar. Di empat negara itu, meskipun taman nasionalnya mendapat dana lewat DNS, kondisinya tetap memprihatinkan. Sebab, penambangan dan penebangan ilegal serta penguasaan lahan oleh pendatang masih terus menggerogoti taman nasional. Menurut Longgena, selama paradigma pembangunan masih berorientasi pada ekonomi ekspor, tingkat eksploitasi sumber daya alam masih terus tinggi. Pada kondisi saat ini, lingkungan hidup dan kawasan konservasi tetap akan terancam. Agung Rulianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus