Sore itu Rabu, 28 November 2001. Gerakan cepat tiga anggota reserse Kepo-lisian Daerah Metro Jaya membelah ketenangan sebuah rumah besar di Bintaro, Jakarta Selatan. Mereka menodongkan pistol ke kepala seorang laki-laki agak gemuk yang tidur sendirian di sebuah kamar. Dengan tangan terangkat, laki-laki yang tak lain adalah Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto itu menyerah, tanpa perlawanan.
Pelarian Tango 221—nama sandi polisi untuk Tommy—berawal 19 Oktober 2000 setelah permohonan grasi Tommy ditolak Presiden Abdurrahman Wahid. Putra kesayangan mantan presiden Soeharto itu terlibat tindak pidana kasus tukar guling tanah seluas 50 hektare di Kelapagading, Jakarta Utara, antara PT Goro dan Badan Urusan Logistik pada Februari 1996. Begitu Soeharto lengser, tukar guling itu diangkat Kejaksaan Agung pada November 1998. Berturut-turut status Tommy berubah dari saksi menjadi tersangka dan tahanan kota. Namun, 14 Oktober 1999, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mem-vonisnya bebas. Kejaksaan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
September 2000, majelis kasasi hakim agung yang diketuai M. Syafiuddin Kartasasmita memutus Tommy bersalah. Selain dihukum 18 bulan penjara, ayah dua anak itu didenda Rp 10 juta dan membayar Rp 30 miliar. Tommy memilih mengaku bersalah dan mengajukan grasi kepada Presiden Abdurrahman Wahid, tapi ditolak. Akhir Oktober, Tommy mengajukan PK, kemudian menghilang.
Tiba-tiba, 26 Juli 2001, Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita tewas di dalam mobilnya akibat diberondong empat tembakan saat menuju kantornya. Jajaran polisi mengendus kemungkinan keterlibatan Tommy. Dugaan menguat saat 6 Agustus tahun lalu sejumlah senjata api, bahan peledak, dan dinamit di-temukan di rumah di Jalan Alam Segar 23, Pondokindah, Jakarta Selatan. Menurut polisi, benda-benda itu milik orang suruhan Tommy. Polisi juga menemukan dokumen rencana membunuh tiga hakim agung, yakni almarhum Syafiuddin Kartasasmita, Paulus Effendy Lotulung, dan Sunu Wahadi. Sehari sebelumnya, polisi sukses menciduk orang suruhan Tommy, yakni Ferry Ukom, Dedi Yusuf, Noval Hadad, dan lainnya.
”Kami yakin bisa membuktikan Tommy bersalah,” kata Kepala Dinas Penerangan Polda Metro Jaya, Anton Bachrul Alam, usai gelar perkara Tommy bersama Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Rabu pekan lalu. Anton menyatakan bukti dan kesaksian telah cukup untuk menjerat Tommy dengan Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana serta Undang-Undang Darurat No. 12/1951 tentang Kepemilikan Senjata Api Ilegal.
Selama disidik, Tommy sering menyatakan tidak tahu. Namun, pengakuan Tommy tidaklah mutlak. Saksi Maulawarman, eksekutor Syafiuddin, mengaku pernah bersama Tommy ke rumah istri muda Syafiuddin. Saat itu, Tommy berniat menembak Syafiuddin menggunakan senapan berperedam. ”Sidik jari yang menempel di gagang senjata yang ditemukan di rumah Jalan Alam Segar akan sulit membuat Tommy mengelak,” kata seorang perwira Polda Metro Jaya. Jadi, habiskah Tommy?
Dwi Arjanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini