TIKUS mati di lumbung padi. Politisi ”terperosok’ di gudang Bulog. Di antara saratnya skandal dan korupsi di panggung politik Republik tahun ini, Badan Urusan Logistik sepanjang tahun menjadi headline. Lumbung Bulog itu tak henti-hentinya ”minta” korban. Presiden Abdurrahman Wahid dilengserkan MPR gara-gara duit Yanatera Bulog, sebuah yayasan di bawah Bulog. Sekarang ini ”calon korban” adalah Ketua Umum Partai Golkar, Akbar Tandjung, yang ironisnya dulu menjadi salah satu ujung tombak gerakan melengserkan Abdurrahman.
Akbar terkena imbas pengakuan Rahardi Ramelan—kini tersangka kasus ini—pada awal Oktober tahun lalu. Bekas Kepala Bulog itu saat diperiksa Kejaksaan Agung mengakui adanya dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 54,6 miliar yang dikeluarkan semasa ia memimpin lembaga ”basah” itu. Dari jumlah itu, Rahardi mengaku sebanyak Rp 40 miliar diserahkan kepada Menteri Sekretaris Negara Akbar Tandjung untuk keperluan program pengamanan pangan.
Pengakuan Rahardi itu seperti ”membakar” lagi ucapan bekas menteri Mahfud Md., seusai sidang kabinet pada 1 Februari 2000. Mahfud—yang mengaku mengutip Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli—mengatakan bahwa ada miliaran dana Bulog dipakai untuk kampanye Partai Golkar.
Maka, dikejarlah Akbar Tandjung, bos partai bentukan Orde Baru itu. Tapi Akbar jelas bukan politisi kemarin sore. Ia berkelit. Dikatakannya bahwa dana Rp 40 miliar itu sudah disalurkannya kepada Yayasan Raudatul Jannah atas rekomendasi Menko Haryono Suyono. Ternyata Haryono Suyono membantah. Ternyata yayasan yang disebut Akbar tak ada ”bekas-bekasnya”. Ternyata ditemukan kuitansi yang menjelaskan bahwa dana itu masuk ke kas Partai Golkar. Sebuah sumber yang sangat tepercaya memberikan dua lembar kuitansi yang diteken bendahara dan wakil bendahara Golkar itu kepada majalah ini.
Akbar dan sejumlah pengikutnya membantah keras dana Bulog sudah mengalir ke Slipi—markas Golkar. Dia jelas tahu bahwa, jika Golkar terbukti menerima dana di atas Rp 150 juta dari sebuah institusi, undang-undang pemilu bisa melarang partai ini ikut Pemilu 2004. Bahkan membubarkannya.
Akankah Akbar dan Golkar kena sanksi? Jawabannya bergantung pada kerja dua institusi penting: Kejaksaan Agung dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Setelah memeriksa sejumlah saksi—termasuk tokoh kunci mantan presiden B.J. Habibie di Hamburg—lembaga itu seharusnya menentukan status Akbar Tandjung: tersangka atau saksi? ”Vonis” kejaksaan itu akan sangat menentukan nasib Akbar dan Golkar. Juga nasib penegakan hukum di sini: sudahkah tiba era ketika hukum bebas dari pengaruh politik dan kekuasaan? Publik sangat mendambakan kembalinya kejaksaan sebagai motor penegakan hukum negeri ini.
Dewan Perwakilan Rakyat, yang digembar-gemborkan sebagai ujung tombak reformasi itu, juga akan mendapat cobaan berat. Akankah lembaga terhormat itu membentuk Panitia Khusus Buloggate jilid dua, seperti ketika mereka membentuknya untuk Presiden Abdurrahman dulu? Ataukah mereka di Senayan itu akan berbalik dan membela habis Ketua DPR ini dengan kata-kata canggih dan argumen yang ”selangit” untuk menutupi aib politik itu?
Tahun 2001 menyisakan banyak ujian di pentas politik. Akankah kita ”lulus” di tahun 2002?
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini