NARKOBA—yang tidak serius ditangani pemerintah selama ini—menjelma menjadi ”teroris’ terkemuka tahun ini. Korbannya terus bertambah. Siapa saja, dari kalangan mana saja. Dari gembel sampai keluarga bekas presiden pun kena. Merata. Polisi, atlet, artis sinetron, pelawak, anggota partai politik, pejabat. Tiba-tiba kita terkejut: empat juta manusia Indonesia sudah jadi junkies, pengidap madat gaya baru itu. Dan itu artinya satu dari 55 penduduk adalah pemadat.
Di balik bencana itu, kita tak sadar: banyak uang rakyat yang disedot para bandar barang laknat ini. Kalau seorang pecandu racikan ”surga” itu setiap hari menghabiskan Rp 200 ribu per hari, itu artinya Rp 800 miliar disuntikkan ke mulut bandar-bandar celaka itu. Rp 296 triliun setahun! Katakanlah angka itu keterlaluan. Bukankah separuhnya saja sudah Rp 148 triliun? Negeri ini kurus kerempeng diisapnya. Belanja seluruh Republik saja cuma Rp 315 triliun tahun ini.
Betapa luar biasa angka-angka itu. Bayangkan. Tiap kepala keluarga kita saja, menurut data Bank Indonesia, cuma berpenghasilan Rp 5,7 juta per tahun. Maka, keluarga yang terjangkit narkoba, secara ekonomi, sama parahnya dengan terjangkit ”virus miskin”: rumah mewah terjual, emas berlian di-”pasar”-kan, sawah digadaikan, mungkin harga diri pun harus dilelang.
Jadi, siapa bilang kita tak mampu membayar utang dalam negeri yang jumlahnya Rp 640 triliun? Atau utang luar negeri yang Rp 740 triliun? Atau cicilan pokok dan bunga seluruh utang yang tahun ini sekitar Rp 70 triliun? Kalaupun Tommy Soeharto kabur ribuan kali—dan biaya menangkapnya satu tahun sekitar Rp 3 miliar—kita pun selalu mampu mencari dana untuk memburunya, asal pemerintah dan kita semua mau memberantas narkoba, menangkapi bandar-bandarnya, menyeretnya dengan hukuman berat!
Berbagai operasi antinarkotik digelar hampir setiap hari sejak November lalu. Sebuah kerja terpuji, walau hasil nyatanya belum terasa banyak. Presiden Megawati bahkan sudah mengeluarkan perintah keras: hukum mati para pelaku tindak kejahatan narkoba! Kalau tidak, para bandar candu, para pemadat yang kebanyakan generasi produktif kita, akan makin bertambah jumlahnya dalam hitungan deret ukur yang merisaukan. Anda, kita semua, boleh menunggu di depan pintu dengan gelisah: kapan giliran keluargaku?
Dulu penyanyi dangdut Rhoma Irama berucap dalam salah satu syair lagunya: aku melarat karena judi, judi yang membawaku mati.
Bung, narkoba ini lebih mematikan karena dialah musuh di dalam selimut tidur kita. Bukankah syair itu harus diganti menjadi madat yang membawaku mati...?
Wicaksono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini