Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tragedi Bintaro: Juned Kehilangan 4 Saudara dan Kaki Kirinya

Juneidi Wijaya murid kelas II SD kehilangan 4 saudara kandung dan kaki kirinya akibat Tragedi Bintaro, tabrakan dua kereta di Bintaro.

19 Oktober 2017 | 21.43 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bocah yang menjadi korban kecelakaan kereta api di Pondok Betung, Bintaro, Kebayoran Lama, Jakarta, 19 Oktober 1987. Dok.TEMPO/A. Muin Ahmad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini, tepat 30 tahun lalu terjadi kecelakaan kereta api yang dikenal sebagai Tragedi Bintaro. Tabrakan dua kereta api pada Senin, 19 Oktober 1987 itu menewaskan 153 orang dan 300 orang lainnya luka-luka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Musibah terburuk dalam sejarah perkeretaapian Indonesia itu terjadi di Bintaro, Pondok Betung, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Lokasi tabrakan di sebelah Utara SMUN 86 Bintaro dan tak jauh dari Pemakaman Tanah Kusir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Puluhan orang terjepit di antara badan kereta yang patah dan remuk. Salah seorang korban adalah Juned, yang ketika itu murid kelas II SDN Sukabumi Ilir 11 Pagi, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

Majalah Tempo terbitan 31 Oktober 1987 menulis kisah tentang Juneidi Wijaya yang selamat dari Tragedi Bintaro, namun kaki kirinya harus diamputasi dan empat saudara kandungnya tewas. Begini ceritanya:

Juneidi mengerang, "Emak,... haus,... lapar, Mak... " Ibunya, Lena, hanya bisa memandangi.  Sampai Minggu yang lalu, bocah tujuh tahun ini masih diinfus, belum boleh diberi makanan.

Kaki kanannya digips, tak bisa digerakkan. Kaki kirinya sudah diamputasi.  Juned, nama panggilan Juneidi Wijaya,  terbaring di RSCM Jakarta. Ia salah satu korban tabrakan kereta api yang masih dirawat.

Di pembaringan itu, berserakan mainan anak-anak. Termasuk dua game watch pemberian keluarga Eddie Nalapraya (Wakil Gubernur DKI Jakarta). Senin 19 Oktober 1987, Juned bersama empat saudara kandungnya, disertai neneknya, Minah, bermaksud mengunjungi Desa Tenjo, Serpong.

Ini desa kelahiran Nenek Minah.  Sejak ayah dan ibunya cerai, Juned bersaudara memang diasuh Nenek Minah itu.

Mereka naik kereta api nomor 220 dari Tanah Abang. Seperti yang terjadi, kereta api itu tak sampai di tujuan. Begitu pula Nenek Minah dan kelima cucunya.

Mereka, yang berada di gerbong terdepan, tergencet ketika tabrakan maut itu terjadi dan meninggal saat itu juga. Hanya Juned yang wajahnya tersembul di dinding reruntuhan gerbong.

Petugas penolong berjuang keras mengangkat tubuh Juned dari impitan baja. Setelah dua belas jam, tubuh bocah itu dapat diangkat. Ketika diangkat ke tandu, Juned mencoba tersenyum.

Padahal, kaki kirinya itu sudah remuk. Ia murid kelas II SDN Sukabumi Ilir 11 Pagi, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Ketika pembagian rapor Sabtu pekan lalu, Juned menduduki ranking ke-7 dari 17 murid. Ada angka merah (nilai 5) untuk pelajaran IPA. Tapi nilai rata-ratanya 6,3.

Untuk seorang Juned, yang pulang sekolah langsung harus mondar-mandir ke jalan berjualan koran, dan hampir membiayai sendiri sekolahnya -- malah kadang-kadang suka memberi uang untuk adiknya Astuti yang ikut jadi korban -- prestasinya lumayan.

Wagub DKI Jaya Eddie Nalapraya berkeinginan mengangkat Juned menjadi anak angkatnya. Namun, anak ini memilih tinggal dengan ibunya.

"Juned akan tetap saya pelihara, karena ia satu-satunya anak yang tersisa," kata Lena, yang melahirkan lima anak. Sabtu petang pekan lalu, seorang pria menjenguk Juned.

Ia berbicara panjang lebar dengan Lena, menjajaki kemungkinan mengasetkan kisah Juned. Imbalan untuk Juned: sebuah kaki palsu untuk korban Tragedi Bintaro.

Evan/ PDAT: Sumber Diolah Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus