Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tuhan Padi menjadi Buku Sastra Pilihan Tempo 2021 Kategori Puisi.
Buku puisi Kiki Sulistyo memberi harga yang lebih kepada apa-apa yang selama ini dianggap kuno dan kampungan.
Tuhan Padi berhasil memberi alternatif penting bagi buku-buku puisi Indonesia yang terbit selama 2021.
MEMASUKI puisi-puisi Kiki Sulistyo, kita seperti mengembara ke dalam dunia lampau yang penuh mitos, dongeng, magi, dan kekuatan adikodrati, sebelum akhirnya terlempar ke dunia hari ini yang penuh masalah. Melalui buku puisi Tuhan Padi (Halaman Indonesia, Oktober 2021) penyair kelahiran Ampenan, Lombok, Nusa Tenggara Barat, 1978, itu mengajak kita memberi harga yang lebih kepada apa-apa yang selama ini telanjur dianggap kuno, kampungan, barbar, gagap, dan gelap. Semuanya berhimpun untuk memberi alternatif kepada puisi Indonesia yang berpretensi hendak melucu—atau sebaliknya: berpikir kelewat serius—menggugat keadaan, menggoreng perasaan pribadi, hingga mengusung warna lokal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai penyair yang bertumbuh dalam tradisi sastra nasional, Kiki mencoba bentuk-bentuk dominan puisi Indonesia, terutama yang lirik dan yang naratif. Ia mendayagunakan kembali model sajak empat seuntai yang sebisa mungkin mempertahankan musikalitas, permainan bunyi, pada setiap lariknya. Tapi, ternyata, itu hanyalah sementara, lantaran setelahnya ia melanggar semua konvensi untuk meraih kenikmatan puisi bebas. Karena itu, yang terasa berharga dalam puisi-puisi Kiki bukan pada perkara merawat musikalitas, melainkan pada pergulatannya menampilkan citraan-citraan metaforik yang mendukung pemosisian yang ia ambil sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Upaya semacam ini terlihat mustajab dalam jenis puisi suasana—yang bisa dibaca sebagai perluasan sampiran pantun. Puisi “Perahu Mentaram”, misalnya. Dalam puisi ini Kiki telah mengosongkan seluruh bangun puisi dari opini subyek lirik—yang pada puisi lain bisa menjadi sinis dan cerewet. Sebaliknya, ia menyusun himpunan citraan yang karena jukstaposisi tampak susul-menyusul, bersisian-beririsan, mengunci satu sama lain, menghasilkan lukisan—karena hampir seluruhnya dibangun dengan citraan visual—Kota Mentaram yang indah, tua, tapi juga murung dan mengenaskan.
Kiki Sulistyo, di rumahnya, di Lombok, Nusa Tenggara Barat, 5 Januari 2022. Fikri Norman Haekal
Dalam puisinya yang lain, sebutlah “Kijang Mentaram”, cara pemerian citraan seperti ini pada akhirnya tidak bisa lagi menahan si pengujar puisi untuk tidak mengatakan sesuatu. Itulah keadaan ketika si pengujar puisi keluar dari permainan citraan dan menyatakan pendapatnya tentang sesuatu yang tampak darurat. Misalnya, pembangunan kota, baik pada masa kolonial maupun masa kini, yang berlangsung dengan penuh risiko, pemiskinan warga, dan ironi. Termasuk menyusutnya populasi kijang yang menjadi ikon daerah tersebut: demam masih panjang, jembatan sudah hilang/ kijang-kijang mengeras di seragam dinas….
Begitulah, puisi-puisi Kiki Sulistyo telanjur mengambil posisi tertentu di tengah dunia hari ini yang penuh masalah. Karena itu, sekeras apa pun upayanya untuk menampilkan dunia imajiner yang terasa purba—bahkan upaya penyair dalam mengejar watak “puisi murni”—ia selalu terdorong ke sikap menyatakan sesuatu, yang lebih terang, menyaran, politis. Puisi-puisinya selalu mampu menjelma menjadi pernyataan protes—di tempat lain: ratapan—atas kekalahan budaya lokal dalam landaan modernitas. Dan dalam perlawanan itu yang tampak purba tidak serta-merta bisa berteriak lantang dan lancar. Sebaliknya, ia tetap mempertahankan separuh wataknya yang anakronistik sebagai yang tidak bisa ditaklukkan oleh berbagai kekuatan luar yang mengancam dirinya.
Penaklukan itu sendiri bisa jadi adalah proses Islamisasi yang menggerus paganisme lokal atau industri pariwisata yang menjadikan semuanya kehilangan aura, sekadar obyek keingintahuan artifisial para turis. Atau Kiki menggunakan semua kekuatan lokal yang tersisa—apakah itu Sembalun atau Bakarti atau Sekardiu—agar yang modern termaknai oleh mereka yang dianggap terbelakang: jadi kembalilah/ pada bilah-bilah api/ biarkan para kerani menata kawasan ini/ dengan lisan mereka/ dengan bahasa lama yang sudah dicabut/ dari lidah kita.
Menjadi penyair modern di tengah dunia yang penuh masalah—sebab, sejatinya si penyair tidak bisa memilih cara lain—telah membuat puisi-puisi Kiki berada dalam kegentingan. Dalam situasi seperti ini, mana yang lebih diutamakan penyair: menjadi penyair terlibat atau menjadi penyair pertapa? Keduanya telah dijalankan Kiki dengan risiko masing-masing. Marilah kita periksa puisi yang menunjukkan upaya Kiki sebagai penyair pertapa—sebagaimana kita dapatkan dalam puisi “Trubadur”.
Dalam puisi ini, Kiki menunjukkan sikapnya yang matang, wajar, dan cukup. Meskipun mengambil bentuk tipografi yang khas puisi lirik, puisi ini sebenarnya berwatak naratif. Subjek liriknya bukan orang yang cerewet, ingin memprotes semua ketidakadilan dalam dunia fana ini, melainkan ia yang “berjalan saja tanpa menyebut nama-nama” dan “berbicara di depan pohon-pohon”. Sekilas ia seperti sosok yang asyik sendiri, apolitis, tapi sebenarnya tidak. Ada yang politis di sini, itulah sikap “menjauhi kelaziman”, atau yang filosofis, yakni “berangkat dari telur dan angka nol” dan “pencarian ke dalam diri”.
Dalam menjelajahi puisi naratif, sesekali kita mendapatkan siasat Kiki memainkan kembali puisi balada. Misalnya, ia memasang tokoh seorang tuan guru bernama Jaelani dalam enam puisi berturut-turut—sebagaimana Heru Joni Putra memasang Badrul Mustafa—atau Padri Kobani dan Tuan Makelar. Yang muncul kemudian bukan melulu penghormatan, melainkan olok-olok berkepanjangan—yang juga bisa dibaca secara lain: kritik terhadap perilaku pemuka agama yang cenderung formalistik, keras, sekaligus korup.
Kiki Sulistyo di Desa Bonjeruk, Lombok, 5 Januari 2019. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Melalui model puisi balada, Kiki telah memberi ruang yang lebih luas kepada lelaku tokoh di tengah pengucapan puisi yang serba ringkas, patah-patah, dan tidak sepenuhnya terang. Atau ia kemudian memperluas apa-apa yang tampak ringkas, patah, dan gelap itu dalam bangunan surealisme. Namun surealisme yang tidak tertangani dengan baik membuat puisi kehilangan kejernihan dan kepaduannya. Puisi menjadi ajang permainan keajaiban, jungkir balik, yang tidak kepalang tanggung.
Dalam konteks puisi Kiki, puisi tidak lagi memiliki pusat—apakah ia tengah mengusung puisi pascamodernis? Setiap metafora dalam satu larik, misalnya, melahirkan metafora baru pada larik berikutnya, terus-menerus begitu. Jika ada satu obyek metaforik dalam puisi—sebutlah kucing kitti atau api—kita akan menemukan lukisan beruntun atau melompat-lompat tentang si kucing ataupun soal-soal di sekitarnya. Lantas jukstaposisi yang menimbulkan efek mengejutkan, tercerai-berai, dari setiap satuan puisi dalam bangunan yang tidak lagi memiliki pusat itu.
Namun puisi surealistik yang mengakomodasi kehidupan kota, apalagi yang menampilkan instalasi benda-benda, dalam tradisi puisi Indonesia modern sering kali menggiring penyair-penyair Indonesia hari ini—tak terkecuali Kiki Sulistyo—kepada model persajakan yang pernah mendominasi puisi Indonesia di masa sebelumnya. Dan kita tahu, sesungguhnya, keasyikan bermain-main dengan permajasan yang serba ajaib, non sequitur, telah mencapai tahap jenuh—jika bukan kelewat jenuh.
Untungnya, puisi-puisi Kiki yang berlanggam seperti ini tidaklah banyak. Dalam wataknya, yang terpenting puisi-puisinya berhasil memberi kita satu momen untuk—ya, itu tadi—memberi harga yang lebih kepada yang tampak purba dan kampungan. Jikapun kemudian ia bersuara sebagai juru bicara kaum marginal atau daerah yang dimiskinkan, kita masih bisa mendapatkan puisi-puisinya sebagai sebuah permainan metafora yang memberi harapan. Tuhan Padi telah memberi kita semua itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo