Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Herman bukan anggota keluarga santri. Bagi dia, menyimpan duit di bank syariah atau mengikuti asuransi syariah bukan suatu keharusan. Namun, setelah mengenal fulandi, keyakinannya berubah. Dengan kacamata barunya, produk asuransi PT Takaful Indonesia untuk dana pendidikan itu lebih menenteramkan hati. ”Akadnya jelas,” katanya.
Akad adalah salah satu hal yang digemborkan asuransi syariah. Menurut mereka, inilah yang membedakannya dengan asuransi konvensional. Dengan adanya akad, nasabah tahu persis ke mana dananya akan diinvestasikan dan berapa bagi hasilnya. Jika tidak ada klaim, sebagian premi juga bakal balik. Mantan karyawan Astra Rent a Car itu pun mempercayakan biaya pendidikan tiga anaknya ke Takaful.
Menurut Presiden Direktur PT Takaful Indonesia Saiful Yazan Ahmad, mereka yang berpikir seperti Herman tidak sedikit. Bila melihat penduduk Indonesia yang mencapai 230 juta dan sebagian besar muslim, ini potensi yang luar biasa. Terbukti, industri asuransi berhamburan ke jalur syariah. Dalam waktu singkat, jumlahnya membengkak.
Pada 2002, baru ada lima perusahaan asuransi berbasis syariah, sedangkan saat ini ada 41 perusahaan yang sudah mendapat rekomendasi Majelis Ulama Indonesia untuk membuka asuransi syariah. Dari jumlah itu, 36 perusahaan sudah mengantongi izin Departemen Keuangan (tiga perusahaan full-syariah, 31 unit syariah, dan dua reasuransi syariah). ”Pertumbuhannya 40 persen setiap tahun, sementara yang konvensional hanya 25 persen,” kata Saiful.
Sayangnya, tingkat pertumbuhan yang fantastis itu tidak dibarengi nilai premi dan aset. Pada akhir 2006, premi asuransi jiwa syariah hanya Rp 265 miliar. Bandingkan dengan premi asuransi jiwa konvensional, yang mencapai Rp 29 triliun. Asuransi umum syariah tak berbeda, baru mampu menggaet dana Rp 258 miliar atau 1,44 persen dari total premi Rp 17,9 triliun. Setali tiga uang, total aset pun demikian, hanya Rp 670 miliar, tidak ada apa-apanya dibanding aset asuransi biasa, yang menembus Rp 70,9 triliun.
Jawabannya, kata Saiful, asuransi konvensional sudah tumbuh puluhan tahun, seperti Asuransi Bumiputera yang sudah ada sejak 1912. Sedangkan asuransi syariah baru berdiri pada 1994. Jarak waktu ini membuat jurang yang lebar. Ini juga terjadi di Malaysia. Dalam sepuluh tahun pertama, asuransi syariah di Malaysia juga terseok-seok. ”Saat itu dimonopoli satu perusahaan,” kata perwakilan Takaful Malaysia itu. Dengan membaiknya regulasi dan persepsi masyarakat, barulah asuransi syariah tumbuh pesat.
Tak hanya itu. Rupanya, pemerintah juga dituding kurang perhatian. Muhammad Syakir Sula, Ketua Islamic Insurance Society, mengaku iri dengan perlakuan Bank Indonesia terhadap bank syariah. Sosialisasi dan pembinaan dilakukan secara intensif oleh bank sentral itu. Berkebalikan dengan Departemen Keuangan.
Selain itu, struktur permodalan asuransi ini begitu minim. Dalam Keputusan Nomor 426 Tahun 2003, Menteri Keuangan hanya mensyaratkan modal kerja perusahaan Rp 2 miliar. ”Sehingga banyak yang asal membuka cabang syariah,” kata Syakir. Praktis, dengan dana sekecil itu, perhitungan bisnisnya menjadi kurang masuk akal.
Dengan kondisi seperti itu, pelaku industri ini pontang-panting menarik nasabah. Selain bersaing dengan yang konvensional, mereka berebut kue yang se-emprit. Repotnya lagi, perusahaan asuransi syariah tetap saja memakai sentimen agama sebagai daya tarik dan alat untuk menghadapi persaingan.
Mestinya, kata Presiden Direktur PT Asuransi Takaful Keluarga Agus Edi Sumanto, perusahaan asuransi syariah meluaskan medan dengan membidik kelas nasabah rasional. Caranya dengan menciptakan produk dengan nilai lebih dan inovatif. Jangan cuma mengedepankan soal halal-haram.
Muchamad Nafi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo