SAMPAH, tetap menjadi kasus tak terpecahkan di kota pariwisata,
Denpasar. Tak kalah rumitnya dengan kasus WTS yang kian hari
semakin gawat. Kalau WTS alasan satu-satunya tak ada ijin
lokalisasi dari pemerintah propinsi Bali, maka perkara sampah
kurangnya tenaga plus alat angkut merupakan alasan kuat.
Kordinator Kebersihan Kota Denpasar I Nyoman Manderi memang
paling pusing menangani kejorokan kota ini. Panjang jalan yang
mesti ditangani 40 km, 25 km jalan kabupaten dan 15 km jalan
propinsi. Jalan sepanjang itu cuma dioperasikan 4 truk sampah, 3
buah milik pemerintah -- sebuah lagi truk sewaan. I Nyoman
Manderi bercerita, kalau ingin Denpasar bersih, dalam teori satu
truk menempuh 10 km jalan. Tapi masalahnya jalan yang 10 km itu
tidak bisa sekali garap. Harus pulang balik lagi berkali-kali,
bahkan sampai 6 kali. Padahal jarak pembuangan 14 km dari kota
hingga sehari penuh non stop sebuah truk cuma bisa mondar-mandir
4 kali. Kemana sampah yang tersisa dibawa? "Yah terpaksa
menunggu giliran", ujarnya.
Pemda Badung menyediakan 9 cikar yang dalam teori dipakai
mengangkut sampah sisa truk. Namun dalam praktek cikar membawa
sampah ke bak yang terdekat dengan jalan besar. Sementara cikar
sudah sangat tidak sesuai untuk di jalan raya yang bisa-bisa
menghambat kerancaran lalu lintas yang juga semakin ruwet.
Kurangnya "kesadaran masyarakat" kota Denpasar akan kebersihan
lingkungan memang telah digugah oleh PU Badung dengan memberikan
uang insentif bagi tiap Banjar sebesar RP 5.000 per-bulan untuk
Banjar di kota Denpasar. Uang insentif ini diberikan sejak
Nopember tahun lalu. Mulanya positif, hukum adat sempat
dipakai "prisai untuk anggota masyarakat yang bandel atau malas
bergotong - royong. Tapi itu di beberapa tempat saja, yang
kebetulan Desa Adatnya masih kuat. Di RT-RT atau Banjar yang
penduduknya campuran, yang tidak memiliki hukum adat (awig-awig)
sukar juga menggerakkan kerja gotong royong. Maklumlah,
persoalan cari makan menuntut kerja tiap hari. Karena itu Camat
Denpasar Sang Made Muka BA sempat berkata, uang insentif akan
ditinjau, mana Banjar yang insentifnya diteruskan dan mana
dicabut.
Jenazah & Kompos
Sampah bukan cuma membuat kepala pusing melihat berceceran di
pelosok kota, juga tempat pembuangan sampah menjadi masalah yang
tak kalah rumitnya. Menurut Humas Pemda Badung, pembuangan
secara resmi ada di tiga tempat, yakni Sanggaran, Krandan dan
Padangsambian. Luas lokasi di Krandan tidak jelas, sehingga
sebagian tanah kuburan Badung dtimbun sampah. Tentu saja ada
protes dari masyarakat. "Jenazah jangan disamakan dengan
sampah", komentar orang ramai.
Tapi ir. Lodji, pimpinan Pabrik Kompos Denpasar mengatakan
kepada Putu Setia dari TEMPO, kalau pemerintah Badung membantu
memasarkan hasil kompos, banyak sampah akan diserap pabrik itu.
Diberikan beberapa angka sebagai perbandingan. Pabrik Kompos itu
kini berproduksi 400 kg sehari dan bisa ditingkatkan lagi. Untuk
produksi itu diperlukan sampah 800 kg yang menurut perhitungan
Desember lalu, sepertiga sampah kota Denpasar diserap. Tetapi
masalahnya, tidak setiap hari pabrik itu jalan, karena pemasaran
kompos sulit. "Kalau pemerintah Badung misalnya memantu
pemakaian kompos, kami setiap hari bisa bekerja sampah banyak
diserap. Toh pabrik kompos itu milik Pemerintah juga" tambah ir.
Lodji. Melihat banyaknya tetanaman pribadi dan tetanaman hotel,
ir. Lodji yakin pemasaran kompos masih bisa ditingkatkan kalau
promosinya digiatkan. Semuanya ini akan membantu mengatasi
problema pembuangan sampah yang menghantu setiap-hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini