Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Umar Kayam, Sebuah Perayaan tentang Hidup

Setelah 40 hari berumah di Karet, sosok budayawan Umar Kayam masih terasa di mana-mana: suaranya yang bergetar mencampur-baur kosakata Indonesia, Jawa, Inggris, dan Belanda dalam satu kalimat yang pas, gres, dan lucu; cerita-cerita pendeknya yang menggetarkan yang belum tertandingi penulis cerita pendek Indonesia mana pun; kegairahannya terhadap makanan, kesenian, kekeluargaan, dan persahabatan.

Seperti alter egonya yang bernama Ageng, Kayam menyusuri hidup tanpa rencana besar, tanpa ambisi yang berkobar, tanpa siasat atau strategi. Tapi sesungguhnya Kayam, maupun Ageng, adalah sosok yang merayakan “hidup”. Dengan segala kesulitan yang mencekik, Kayam menyusuri hidup dengan sikap yang relaks, penuh humor, tapi dengan kegairahan yang penuh. Ikuti laporan TEMPO tentang beberapa potong rekaman hidupnya; keterlibatannya dan sikapnya dalam dunia sastra, politik, film, teater, seni rupa, dan dunia akademis. Ikuti pula pemikiran Taufik Abdullah, Nirwan Dewanto, Bakdi Soemanto, Bambang Bujono, dan Laksmi Pamuntjak tentang sumbangan Umar Kayam untuk hidup yang dicintainya.

12 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

”... dan begitu saja anak muda itu mendekat dengan cepat dan memeluk Sri. Dan Sri begitu saja juga membalas pelukan itu dengan memeluk anak muda itu erat-erat. Mata Sri dipejamkan kuat-kuat dan beberapa titik air mata terasa menetes di pinggiran pipi Sri. Di tengah pelukan yang kuat itu, adalah dua makhluk manusia, se-orang perempuan dengan usia hampir lima puluh tahun, se-orang laki-laki hampir tiga puluh tahun, terlibat dalam percakapan sendiri di dalam bahasa mereka sendiri....”

(Sri Sumarah, hlm. 99, Umar Kayam)

Umar Kayam melahirkan seorang ibu bernama Sri Sumarah di sebuah masa, ketika tubuhnya masih tegap dan bicaranya masih lantang. Sri Sumarah ciptaannya adalah seorang istri yang setia kepada mendiang suaminya; ibu dari anak dan mantu yang dikejar-kejar tentara karena keterlibatannya dengan PKI, dan seorang pemijat yang memiliki 10 jari yang mampu menaklukkan tubuh muda yang perkasa milik anak le-laki berusia 30 tahun. Sri Sumarah, yang lahir pada awal cerita sebagai istri yang penuh bekti kepada suami itu, di akhir cerita lahir sebagai manusia biasa ketika ia bertemu dengan seorang pemuda tak bernama—yang usianya lebih kurang sama dengan usia putranya—yang bau tubuhnya menggairahkan dan menghidupkan segala indranya yang sudah lama tertidur; yang mendorong dirinya untuk menatap dirinya (kembali) di muka cermin dengan kutang yang sudah begitu tua. Mereka hanya tidur semalaman, berpelukan, kelonan, tanpa ”berbuat” apa-apa… begitu saja, seperti sepasang manusia biasa…. Umar Kayam melahirkan seorang bayi ber-nama: Cerita yang Luar Biasa.

Lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932, dan dikebumikan pada 16 Maret 2002 di Karet, Jakarta, Umar Kayam lahir sebagai sastrawan di usia yang sangat ”terlambat”. Tak seperti sastrawan di zamannya seperti Rendra atau Goenawan Mohamad, yang sudah dikenal publik ketika usianya masih di bawah 20 tahun, nama Kayam baru berkibar setelah cerita-cerita pendeknya lahir ketika dia sudah mencapai usia 30-an. ”Saya memang sastrawan telat,” katanya kepada TEMPO suatu siang di kantor TEMPO di kawasan Kuni-ngan, Jakarta Selatan, se-masa belum dibredel. Seperti biasa, sebelum ”sowan”, Kayam ”mengecek” menu apa gerangan yang akan disiapkan majalah ini untuk mewawancarainya. Karena siang itu TEMPO akan mewawancarai Kayam perihal komikus R.A. Kosasih untuk sebuah laporan panjang, makan siang harus mak nyus.

Menikmati hidup, penuh kegairahan dengan segala yang bersifat leisure, dan kritis terhadap ”kemalasan” anak-anak muda untuk membaca, di masa mudanya sesungguhnya Kayam adalah seorang sosok yang rigorous alias penuh vitalitas. Selama menjadi mahasiswa di Yogyakarta, ia sudah pelopor dalam berbagai kegiatan kesenian. ”Setiap kegiatan seni di Universitas Gadjah Mada, Kayam menjadi motornya,” demikian Koesnadi Hardjasoemantri mengenang. Dramawan Iman Sutrisno, 66 tahun, bahkan ingat bagaimana ia dipelonco Kayam ketika ia mahasiswa baru di Fakultas Sastra, Filsafat, dan Pedagogi UGM pada 1955. ”Saya tak berhasil mengumpulkan tanda tangan para senior dalam jumlah yang cukup. Lalu saya dihukum main drama.”

Tentu saja ”prestasi” Kayam dalam teater Indonesia yang sering dia ceritakan pada kawan-kawannya sembari berseloroh adalah menggarap Rendra—yang kelak menjadi dramawan terkemuka di Indonesia. ”Menggarap” dalam kalimat ini harus diartikan dalam arti sesungguhnya, karena hanya Kayam yang bisa mengancam Rendra untuk bersikap disiplin latihan. ”Kami ancam dia dengan memepetkannya ke tembok,” demikian tutur Kayam suatu kali, mengisahkan bagaimana Kayam menyutradai Rendra. Dalam acara Dies Natalis UGM tahun 1955 itu, Kayam menyutradarai Rendra dalam drama Hanya Satu Kali karya John Galsworthy (saduran Sitor Situmorang). Rendra tertawa mengenang peristiwa itu dan mengakui bahwa Kayam sangat berpengaruh dalam dirinya. ”Mas Kayam banyak membimbing dalam soal kedewasaan. Jadi, umpama saya ini daging yang alot, itu sudah diperlunak,” katanya. Rendra mengakui bahwa Kayam berjasa membuka matanya mengenai hal-hal sosial: ”Kami diajak pergi ke pasar, pergi ke desa, mengetahui kehidupan di desa itu seperti apa. Yang gitu-gitu lho. Dengan kata lain, diajari survei yang sosiologis,” tuturnya. Rendra mengakui betapa berbakatnya Kayam dalam bidang penyutradaraan, namun ”jalan hidupnya tidak di situ,” kata Rendra.

Kayam juga sempat menerbitkan koran mingguan bernama Minggu. Koran milik mahasiswa UGM itulah yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya kelompok penulis Yogyakarta. Pada masa ini, terlihat bagaimana per-gaulan Kayam yang encer kemudian menjadi awal dari terbentuknya poros Malioboro-Bulaksumur-Gampingan.

Saat itu Malioboro dipenuhi seniman bohemian seperti Kirjomulyo, Nasjah Jamin, Kusno Sujarwadi, Bagong Kussudiardjo, dan Motinggo Busje. Pergaulan Kayam dengan berbagai kelompok kesenian di Yogyakarta memberi kontribusi yang asyik dalam kesenian. ”Sewaktu menjadi mahasiswa, Kayam sering mampir ke Kantor Kesenian Departemen Kebudayaan di Terban,” tutur Bagong Kussudiardjo. Kantor itulah tempat berkumpulnya Kusbini, S.H. Mintaredja, dan Kusnadi. ”Suatu ketika Kayam mampir, kantor kami didemo oleh seniman kiri (Lekra), di antaranya pematung Amrus Natasya dan Sanggar Pelukis Rakyat. Mereka memprotes isi lukisan abstrak. Pakai orasi segala,” tutur Bagong. Menurut Bagong, Kayam berkata dengan santai, ”Diamkan saja. Ndak usah ditanggapi. Pokoknya, kita kan sudah tahulah siapa mereka,” katanya tenang. Bagong terkesan akan sikap Kayam yang tenang. ”Dia diplomatis. Tidak memihak pada kelompok Lekra maupun kelompok non-Lekra yang saat itu perseteruannya memang tajam,” kata Bagong.

Setelah tamat dari Fakultas Pedagogi, Kayam mendapat beasiswa ke AS. Sepanjang tahun 1961-1963, ia menyewa kamar murah di New York. ”Kami memiliki tetangga, anak perempuannya suka mabuk. Anaknya sering teriak-teriak I hate garlic… (saya benci bawang putih—Red.), sebab kami sering memasak menggunakan bawang putih,” cerita Roosliana Hanum, istri Kayam, yang lebih dikenal dengan nama Yus Kayam. Ibu perempuan itu, menurut Yus, adalah seorang janda tua yang suka mengetuk pintu kamar Kayam bila hari gerah dan meminta tolong Kayam untuk mengendurkan kutangnya.

Suasana kemelaratan, hiruk-pikuk New York yang gerah di musim panas itu, tampaknya malah membuat dunia imajinasi Kayam menggelegak. ”Kami tak mampu membeli alat pendingin, sehingga Bapak terpaksa membuka pintu kulkas, lalu ngetik cerpen di depannya, biar sejuk…,” tutur Yus mengenang. Dan cerpen-cerpen di hari gerah itulah yang kemudian meluncur ke panggung sastra Indonesia.

Tahun 1963, umur 31 tahun, Kayam meraih gelar M.A. di New York, lalu pindah ke Universitas Cornell, Ithaca, untuk mengambil gelar Ph.D. dalam bidang sosiologi. Di sana Kayam mengenal Ben Anderson, George T. Kahin, dan para Indonesianis lainnya yang kelak menjadi kawan berdebat. Pada saat itu pula Kayam menghasilkan cerita pendek Seribu Kunang-kunang di Manhattan.

Sepulang dari AS, Kayam dan keluarga tinggal di rumah kontrakan Departemen Penerangan di Jalan Tosari, Jakarta (sekarang jalan Dr. Kusumaatmaja). Rumah mereka terletak di belakang rumah Mayor Jenderal Sutoyo, yang terbunuh saat peristiwa 30 September 1965. Malam itu Yus ingat, Kayam mengantar temannya seorang Tionghoa dari Semarang. Kayam baru pulang larut. Keesokan harinya, mendengar berita radio tentang dewan revolusi, Kayam menggumam spontan, ”Pasti PKI ini,” kata Yus, menirukan ucapan suaminya.

”Sejak kejadian 30 September itu sampai pemakaman pahlawan revolusi, Bapak sering mengadakan pertemuan dengan Pak Mashuri, Pak Samiskum (pernah jadi Ketua DPR), Pak Gregorius Sugiarto. Sering Bapak pulang dini. Kalau sudah begitu, pasti loncat pagar,” tutur Yus Kayam lagi.

Pada masa awal-awal kekuasaan Soeharto, Kayam sempat dekat dengan kalangan lingkaran dalam Soeharto. Pada 1966, Kayam diangkat menjadi Dirjen Radio, Tele-visi, dan Film (RTF). Sebagai dirjen, ia memimpin Operasi Padang Bulan, yakni sebuah operasi penerangan melalui RRI dan TVRI. Semacam kampanye politik untuk masyarakat agar menerima kepemimpinan Orde Baru. Saat itu Kayam berusaha menghambat semua sisa kampanye Orde Lama di radio. Contohnya, ketika pidato Nawaksara Sukarno diwajibkan untuk disiarkan di radio, Kayam memerintahkan untuk ”mengganggu” siaran itu. ”Saya dengar juga siaran RRI waktu itu, siaran tersebut tidak enak didengar, storing, begitu istilahnya zaman dulu. Pidato Presiden menjadi terganggu,” tutur Salim Said. Kayam juga memerintahkan budayawan Wiratmo Sukito membuat pidato tandingan.

Meski ia mendukung berdirinya Orde Baru, toh hati nuraniya belakangan mulai terganggu ketika pemerintahan itu mulai menyimpang.

”Sewaktu ditunjuk sebagai dirjen, saya sudah merasa menjadi bagian dari dagelan,” kata Kayam beberapa tahun kemudian. Periode itu adalah periode Kayam dalam kebimbangan. Sebuah artikelnya di majalah Basis, 19 tahun silam, melukiskan bagaimana perasaannya saat itu: ”Tahun 1969 saya dipersilakan meninggalkan jabatan Dirjen RTF. Tahun-tahun itu adalah tahun yang penuh pesona petualangan, akan tetapi sekaligus juga kebingungan, ketegangan. Pada usia yang relatif masih muda, 34 tahun, saya telah mendapat beban kekuasaan yang besar. Dengan kegairahan seorang anak muda yang percaya kepada suatu komitmen terhadap datangnya suatu orde yang baru yang mesti menggantikan orde yang lapuk”.

”Akan tetapi, bersamaan dengan itu, saya juga melihat korban yang berjatuhan. Korban yang seharusnya menjadi korban. Korban yang seharusnya tidak menjadi korban. Siapakah yang menentukan ’harus’ dan ’tidak harus’ menjadi korban itu?… Musim Gugur Kembali di Connecticut dan Bawuk saya tulis dalam periode itu… Saya tidak tahu dengan pasti apakah dengan penulisan dua cerita itu saya telah memahami dengan baik masalah itu….”

Akhirnya Kayam diberhentikan sebagai Dirjen RTF. ”Waktu itu TVRI sering menampilkan Jenderal Nasution, sebagai Ketua MPR, Soeharto tidak suka itu, Bapak dianggap tidak nurut,” ujar Yus Kayam.

Setelah ”dipensiunkan”, Kayam menjauh dari politik. Ia kembali ke dunia lamanya: seni. Ia menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sampai 1972. ”DKJ yang sebelumnya dipimpin Trisno Sumardjo dianggap berwajah ’angker’ karena tempat itu seolah hanya layak untuk seni tinggi. Kesenian glenyengan seperti lenong dan ketoprak saat itu tak pernah tampil di sana. Begitu masuk, Kayam menggebrak, ia mengundang Koes Plus dan Srimulat manggung. Yon Koeswoyo, salah seorang personel Koes Plus, mengaku heran atas undangan itu. ”Saya juga bingung, kok bisa Koes Plus main di TIM, padahal katanya hanya untuk seni yang berat,” kata Yon kepada TEMPO.

Setelah setahun Kayam mengepalai Direktur Pusat Latihan Ilmu Sosial Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang, Yogyakarta menggapai memanggilnya. Sukadji Ranuwihardjo, Rektor UGM saat itu, meminta ia mengajar di kampus almamaternya. ”Kowe tak kandhangke wae dhisik. Mubeng wae ora karuan. Wis cukup kowe mubeng (Kamu saya tarik, daripada mutar-mutar ke mana saja. Sudah cukup—Red.),” kata Sukadji, seperti ditirukan Fauzi Rizal, Ketua Yayasan Hatta Yogya, yang saat itu menyaksikan percakapan Sukadji dan Kayam. Gebrakan per-tama Kayam di UGM adalah memprakarsai Pasar Seni Gadjah Mada pada 1978. Dalam pasar seni itu produk seni rakyat diberi ruang eksistensi besar, misalnya keramik Kasongan dan lukisan kaca. Semua yang aneh, ganjil, kretif, muncul dengan percaya diri berkat Kayam.

Kembali ke ”habitat”-nya, Kayam menjadi magnet bagi seniman. Rumahnya terbuka untuk begadang. Bahkan halaman rumahnya di Bulaksumur B-12 ditawarkan se-bagai tempat latihan teater. ”Kayam memiliki kepribadian yang hangat dan loma (murah hati). Ia menjadi perekat sosial, akomodatif bagi perbedaan pemikiran,” tutur dramawan Indra Tranggono. Dua anak emas Kayam saat itu adalah Linus Suryadi Agustinus dan Emha Ainun Nadjib. Begitu sayangnya Kayam kepada kedua penulis ini, mereka hampir dianggap seperti dua anak lelakinya dan rajin mendorong mereka berkreasi.

Dalam lingkaran seniman, Kayam dianggap sebagai stimulus kreativitas mereka. Adalah Kayam yang mendorong Butet Kartaredjasa untuk berani bermonolog. Pada 1997, Kayam meminta Butet membacakan cerpen Citraksa-Citraksi. ”Iki sing paling cocok kanggo kowe,” (Ini yang paling pas untukmu—Red.) kata Kayam. Di situ Butet menirukan suara Soeharto. Sukses. Belakangan dia dikenal sebagai Si Raja Monolog.

Dari Kayam, para seniman Yogya juga mewarisi kebiasaan petualangan mengejar masakan-masakan. Di tahun 1980-an, dengan mobil dinas UGM Kayam berupa Toyota hardtop butut, mereka suka ngeluyur berburu makanan. Di Yogyakarta warung yang sering disinggahi Kayam adalah warung Moro Lejar Pakem, Moro Seneng Jalan Solo, Rumah Makan Lijong, masakan Cina, Gudeg Bu Amat Beringharjo, Gudeg Yu Mul Pakualaman. Kayam menobatkan julukan tersendiri terhadap warung-warung itu, hingga nama itu lalu terus dipakai seniman Yogya. Warung bakmi goreng di Jalan Bhayangkara, Ketandan, dinamakan ”Bakmi Masih Sepuluh”. Penyebabnya, kalau pembeli sedang antre, bila ditanya, penjualnya selalu seenaknya bilang, tanpa menghitung, ”Masih sepuluh.” Warung gudeg di bilangan Serangan diberi nama Gudeg Ayu karena, menurut Kayam, ”Sing dodol ayu (penjualnya cantik),” kata Kayam.

Untuk urusan makan pula Kayam bersemangat memburu makanan ke Solo. Beberapa warung dan rumah makan di Solo yang disukainya antara lain: ayam goreng tim Bu Better di Palur, Sukoharjo, serabi Notokusuman, thengkleng Bu Hadi di Kadipiro, thengkleng Mbak Dewi di Solo Baru, gudeg cakar di Margoyudan, rumah makan Tio Ciu Fai Kie, nasi pecel tumpang Kleting Kuning. Bila makan di Solo, beberapa tahun terakhir ia paling senang mengajak dalang gemuk Slamet Gundono, yang bobotnya 150 kilogram itu. Kenapa? Karena Kayam suka melihat Gundono tampak lahap menyantap makanan dengan liur menetes-netes.

”Dia selalu meminta kami membawa glondhong pangareng-areng (upeti) berupa makanan seperti serabi Notokusuman, setiap datang ke Yogja,” kata Murtijono, Ketua Taman Budaya Surakarta (TBS). Bahkan, masih menurut Murtijono, bak seorang priayi, Kayam sering minta menghadirkan pesinden dengan baju lengkap. ”Mereka tidak disuruh menyanyi, tapi hanya diminta turut mengisi suasana dengan pakaian kejawen lengkap sembari makan,” tutur Murtijono. Bukan main kenesnya!

Tak mengherankan bila pada 1996 seniman Solo mengadakan acara tumbek ageng—delapan windu—ulang tahun Kayam ke-64 di TBS. Saat itu semua makanan kesukaan Pak Kayam dihidangkan oleh Murtijono.

Menjelang akhir hayatnya, Kayam mengalami banjir gila-gilaan di negeri ini. Rumahnya di kawasan Cipinang—seperti juga kawasan lain di seantero Jakarta—dikepung banjir. Kayam, yang sudah dalam keadaan lemah, setelah digempur stroke beberapa tahun sebelumnya, ditandu mengungsi bersama keluarganya ke Jalan Imam Bonjol, ke rumah salah se-orang keluarganya.

Hanya sehari sesudah Idul Adha, akhir Februari silam Kayam kembali ke Cipinang. Rumahnya masih dalam ke-adaan berantakan; AC mati, dan Kayam kemudian sering duduk di halaman, kipas-kipas. Hingga datanglah hari nahas itu. Saat ia kepanasan, ia berdiri dan tergelincir. Tulang pahanya patah dan terpaksa mengalami operasi di Rumah Sakit MMC.

Dengan semangat dan cintanya pada hidup, Kayam sempat membaik dan berlatih jalan sembari menggunakan kruk di MMC. Tertatih-tatih, dia sempat menyanyi, ”Jangan ditanya ke mana aku pergi….” Ternyata keesokan harinya, ia mengalami per-darahan yang hebat. Seluruh komplikasi penyakit yang dideritanya kambuh. Ambruk.

Pada 10 Maret, sesudah bleeding, Kayam mengumpulkan seluruh keluarga di sekeliling tempat tidurnya. Dia meminta maaf. ”Kepada saya juga dia bilang minta maaf,” kata Yus Kayam. ”Saya cuma tertawa ketika kemudian dia bilang, Iki tenan lho, Yus…,” kata Yus Kayam, menirukan ucapan mendiang suaminya. Suasana hari itu rileks dan penuh canda.

Bagi Kayam, yang mencintai kehidupan, toh kematian dihadapi dengan rileks. Dia mendapuk Dhunuk, istri Danarto, untuk bernyanyi. Maka Dhunuk pun menyanyi Ave Maria. Kayam tampak senang. Ia juga mendaulat Rendra membaca puisi. ”Will (nama panggilan Rendra—Red.), moco puisi….” Rendra lalu langsung mengumandangkan bait-baitnya yang terkenal ”Kemarin dan esok sama saja….”

Saat menjelang sakratul maut, Kayam sempat menggumam lirih, terputus-putus, campuran bahasa Jawa dan Indonesia yang merobek hati. ”Ampun Gusti. Aku ora iso ngaji. Aku ora kuat, aku ora iso. Barengan karo sedulur-sedulurku di Gadjah Mada, sedulurku Goenawan, tugasku memperindah kebudayaan yang bagus… kesenian yang tidak menguasai anggota-anggota. Dudu kekuasaan, nanging organisasi bebarengan, nanging gotong-royong…. Gusti, kekuatan Gusti Allah tak tompo.”

(Ampun Gusti, saya tak bisa mengaji. Saya tak kuat, saya tak bisa. Berkumpul bersama saudara-saudaraku di Gadjah Mada, saudaraku Goenawan [Mohamad], tugasku memperindah kebudayaan yang bagus, kesenian yang tidak menguasai anggota-anggota. Bukan kekuasaan, tapi upaya bersama secara gotong-royong. Gusti, kekuatan Gusti Allah saya terima—Red.).

Seno Joko Suyono/LSC, Andari Karina Anom, Gita W. Laksmini, Arief Kuswardono, Rian Suryalibrata (Jakarta), L.N. Idayanie, R. Fadjri, Heru C. Nugroho (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus