Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA, menjelang 1965. Pulang dari Amerika Serikat, Kayam bekerja di sebuah penerbitan buku. Di kala senggang, ia bergaul dengan ”lingkaran Yogya”, orang-orang bekas TRIP yang kuliah di Universitas Gadjah Mada dan kemudian terdampar di Jakarta. Mereka sering kongko-kongko di bangunan samping kantor Menteri Ekonomi, Sultan Hamengku Buwono IX, di Merdeka Selatan. Di paviliun yang adem itu, Kayam ber-temu dengan Mashuri, Sulistyo, dan Jatmiko, seorang pengusaha.
Pergaulannya dengan Mashuri membawa Kayam masuk ke lingkaran dalam Soeharto, Ketua Presidium Kabinet Ampera waktu itu. Awal 1967, ketika tensi politik di dalam negeri mereda, Soeharto merintis kembali hubungan luar negeri, dengan salah satu target terpenting: AS. Ini bukan perkara mudah karena Jakarta ternyata tak punya akses langsung ke Washington. Di sinilah Kayam mulai punya peran dalam peta politik Orde Baru. Melalui salah seorang kawannya, ia berhasil menjalin kontak dengan Gedung Putih.
Maka dikirimlah satu delegasi kecil, yang antara lain terdiri atas Kayam, Probosutedjo, Soedjono Hoemardhani, dan Bob Hasan, ke Wa-shington. Delegasi ini diberi mandat untuk berhubungan dengan Presiden AS. Di depan Gedung Putih, kata Kayam suatu kali, Soedjono sempat unjuk ”kesaktian”. Dengan dua tangan di belakang punggung, tiba-tiba ia berbisik, ”Mas, Mas, kidul pundi (mana arah selatan)?” Kayam bingung.
Ternyata Soedjono menggenggam sekepal tanah yang dibawanya dari Jakarta. Tanah itu disebar di empat penjuru Gedung Putih—urut dengan petunjuk arah yang diberikan Kayam. Bukan itu saja, ia bahkan melempar sebagian gumpalan ke arah genting. Rupanya, orang Solo yang suka klenik itu ditugasi Soeharto menaklukkan Gedung Putih secara kejawen.
Barangkali karena sawab ”siram lumpur” itu pulalah ”lingkaran Washington” mendapat hadiah posisi penting. Sepulang dari Amerika, Soedjono didapuk menjadi asisten pribadi Soeharto bidang ekonomi dan perdagangan, sedangkan Kayam diangkat sebagai Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film. Sementara itu, Mashuri menduduki pos Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, sedangkan Sulistyo mendapat jatah Wakil Ketua DPR. Probo dan Bob meneruskan hobi dan peruntungannya di bidang bisnis.
Pada separuh terakhir 1960-an, muncul gairah untuk membangun partai modern—partai yang tidak berdasarkan aliran atau ideologi, tapi berlandaskan program-program. Semangat ini menyala karena partai-partai yang ada ribut melulu. Partai Nasiobal Indonesia (PNI), misalnya, pecah menjadi PNI Ali-Surachman (Asu) dan PNI Osa-Usep. ”Ada alergi terhadap partai partisan,” kata Marsilam Simanjuntak.
Selain itu, para aktivis mulai menyadari ”gerakan” seperti kesatuan aksi tak lagi solid. Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) mulai retak lantaran berpijak pada ideologi masing-masing. Menurut Fikri Jufri, wartawan Harian Kami waktu itu, tiap kali ada peristiwa politik, sikap mahasiswa mendua. Ketika terjadi pembakaran gereja Makassar pada 1967, misalnya, Fahmi Idris menggelar rapat di Markas Laskar Arief Rahman Hakim. Ketika itu, ”Terasa betul agama sudah masuk untuk menyatakan like or dislike,” kata Fikri.
”Tekanan” seperti ini membuat gagasan partai modern yang independen kian mantap. Semangat ini sampai pula ke telinga Adam Malik, Menteri Presidium Urusan Politik dan Luar Negeri kala itu. Melalui kurirnya, Adam mengontak pentolan seperti Adnan Buyung Nasution (Ketua Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia atau KASI), Marsilam Simanjuntak (Ketua KAMI Jakarta), dan Yozar Anwar (Ketua KAMI Pusat) untuk bertemu. Ajakan ini disambut baik.
Pertemuan pertama digelar di rumah Adnan Buyung Nasution. Rapat yang antara lain dihadiri Adam Malik, Fikri Jufri, Yozar Anwar, dan Harjono Tjitrosubono itu tak berjalan mulus. Para pendukung partai partisan meneror mereka dengan pelbagai tuduhan miring. ”Saya masih ingat,” kata Buyung mengenang, ”pagi-pagi rumah saya ditulisi ‘Awas Neo-PSI, Neo-Masyumi’.”
Selain itu, Adam Malik, yang merupakan motor terpenting Golkar, berkesan enggan sejak pertemuan pertama. ”Ia menjaga jarak,” kata Marsilam. Ia melihat Bung Kancil ini mau mengail keuntungan politik. Rupanya, politisi yang sering disindir sebagai ”Adam molak-malik” karena licinnya itu ingin menguji arah angin: apakah kelompok ini punya peluang. ”Kasarnya,” kata Marsilam, ”dia hanya mau ikut kalau jelas-jelas menguntungkan.”
Rapat kedua berlangsung di rumah Marsilam. Waktu itu, Moerdianto, salah satu pentolan yang akrab dengan Soedjatmoko, diajak. Atas usul aktivis yang dekat dengan Partai Sosialis ini, Kayam mulai dilibatkan. ”Saya tahu Kayam dari Soedjatmoko,” kata Moerdianto, kini 80 tahun, mengenang. Setelah pertemuan itu, Moerdianto bertandang ke rumah Kayam di Jalan Tosari (kini Jalan Mochtar Kusumaatmadja). ”Karena saya mewakili Soedjatmoko,” kata Moerdianto, ”semuanya lancar.”
Kayam mulai terlibat pada pertemuan ketiga di rumah Fuad Hasan. Setelah beberapa kali rapat, ”priayi” Ngawi itu terpilih sebagai ketua dan Yozar Anwar sekretarisnya. Dalam pemilihan itu, hadir pula Midian Sirait, utusan Jenderal Soemitro sekaligus Ali Moertopo. Rapat yang dihadiri banyak kepentingan ini berjalan alot. Menurut Moerdianto, Buyung juga berambisi menjadi pemimpin. Bekas jaksa yang dekat dengan Adam Malik ini meng-ajukan diri sebagai ketua. Tapi para aktivis juga tahu Buyung punya hubungan intim dengan tentara. ”Kami ogah diatur ABRI,” kata Moerdianto, ”Mahasiswa saja sudah sering bentrok dengan tentara.”
Hasil pemilihan itu, kata Marsilam, mengecewakan Buyung dan kawan-kawan. Akhirnya, Buyung bersama Bob Yahya, Muslimin Nasution, Dedi Kresna, dan Mashuri memilih keluar dari kelompok ini. ”Begini,” kata Buyung mencoba memberikan penjelasan, ”waktu itu, saya ingin agar yang memimpin betul-betul independen agar kelompok ini kompak.” Kalau Kayam yang memimpin, katanya, kelompok Soemitro kurang ikhlas. ”Mengapa tiba-tiba lingkaran Yogya yang menonjol? Saya sendiri menyesal kenapa soal itu tak bisa diatasi,” ujarnya.
Kelompok Kayam yang tak pernah diproklamasikan secara resmi itu kemudian sering menggelar rapat di Tosari. Gagasan yang sering digodok atau didiskusikan panjang-lebar adalah soal partai. Kayam ingin ada partai sipil yang mendukung Orde Baru tapi independen dari ABRI. Partai ini akan menjadi partner ABRI. Dua-duanya akan merupakan kekuatan Orde Baru.
Tapi Ali Moertopo ingin kelompok ini tunduk pada kemauannya. Kepada Fauzi Rizal, Ketua Yayasan Hatta Yogya, Kayam pernah bercerita, setiap hari ia didatangi kurir Opsus (Operasi Khusus—badan intelijen yang dipimpin Ali) untuk memberikan analisis politik. Hal ini, kata aktivis Rahman Tolleng, dilakukan Ali untuk memberikan tekanan kepada Kayam. Tokoh-tokoh HMI kabarnya juga mempersoalkan keberadaan kelompok berdaulat ini dalam pertemuan KAMI dengan Soeharto.
Suatu pagi, demo antikelompok independen meledak di Cikini. Pelbagai spanduk dan corat-coret berbunyi ”Independent Group Antek Amerika, Independent Group Neo-PSI” muncul di mana-mana. Menurut Buyung, demo ini dirancang Opsus untuk meredam perkembangan kelompok merdeka itu. ”Nah,” katanya, ”Opsus memakai teman-teman kelompok Islam.”
Tapi ”geng” Kayam jalan terus. Selain mengadakan rapat dan diskusi, mereka mencoba menggalang kekuatan kelompok bawah lewat proyek pertanian. Waktu itu, pusat penelitian padi Filipina baru menemukan padi unggul. Bekerja sama dengan para pedagang padi, kelompok Kayam menanam bibit unggul itu di Cibinong dan desa-desa sekitar Bandung. ”Yang mimpin Kayam, tapi yang jalan mahasiswa Bandung dan Jakarta,” kata Moerdianto.
Menjelang Sidang Umum MPRGR 1968, bersama Fikri Jufri dan Dan Jahja (bekas Gubernur Militer Jakarta), Kayam mengemukakan sikap golongan independen terhadap Soeharto. Menghadapi sikap kritis ini, Ali Moertopo mencoba menekuknya dengan mengarahkan kelompok independen menjadi kelompok induk organisasi (kino) ke-9 Golkar. ”Upaya ini gagal karena Kayam menolak,” kata Tolleng.
Soedjono dan Mashuri menilai Kayam mbalelo. Mereka menganggap justru Oder Barulah yang membesarkan Kayam. Sejak saat itu, Ki Ageng dari Yogya ini seperti membuat jarak dengan kekuasaan.
Pada 1971, Kayam ikut merencanakan tirakatan se-malam suntuk yang akan digelar Komite Anti Korupsi. Kala itu terembus kabar bahwa tentara akan menyikat siapa pun yang ikut tirakatan. Para aktivis tegang: berani terus atau batal. Waktu itu, Fauzi Rizal dari Front Anti Korupsi Yogya menelepon Kayam. Budayawan ini memberikan pemecahan alternatif. Tak ada acara besar-besaran kecuali tirakatan sekelompok seniman di Bundaran HI. Alternatif ini akhirnya diterima semua pihak. Akhirnya, rombongan seniman Yogya, seperti Rendra, Rujito, Azwar A.N., dan Umbu Landu Paranggi, nekat menggelar tirakatan.
Bertahun-tahun kemudian, keterlibatan Kayam dalam politik tak tampak sisa-sisanya. Tapi sikap independennya rupanya tetap konsisten. Salah satu bukti kuat kedaulatan Kayam tampak ketika ia menolak gelar doktor yang akan diberikan UGM untuk Menteri Ginandjar Kartasasmita. ”Mengapa Ginandjar? Mengapa bukan puncaknya saja? (maksudnya Soeharto),” ujar Kayam, menyindir, yang ditirukan seorang dosen.
Setelah mendapat gelar, Ginandjar memberikan se-macam ”tanda terima kasih” untuk sejumlah dosen. Tapi Kayam menampik. Ichlasul Amal, Rektor UGM, sampai datang ke rumahnya di Bulaksumur untuk memberikan amplop titipan Ginandjar sebesar Rp 3 juta. Amplop itu ditolak. ”Akhirnya,” kata Ichlasul, ”uang itu saya serahkan kepada yatim piatu.”
Ki Ageng penulis Sri Sumarah dan Bawuk tetap tak bisa dibeli, dengan uang ataupun kekuasaan.
Seno Joko Suyono, Arief Kuswardono, Dewi Rina Cahyani (Jakarta), Heru C. Nugroho (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo