DI Saint Francis Xavier, gereja misi Prancis yang terletak di Cholon - kampung Cina-nya Saigon - misa pada subuh itu baru saja merayakan Hari Para Arwah. Beberapa menit kemudian, setelah para jemaah bubar, dua laki-laki berjas abu-abu gelap tampak bergegas di bawah bayang-bayang pohon di halaman dan masuk ke gereja. Mereka adalah presiden Vietnam Selatan Ngo Dinh Diem dan saudaranya, Ngo Dinh Nhu. Kedua orang itu tampak kurus, dan mata mereka cekung karena kurang tidur. Demikian wartawan kawakan Stanley Karnow dalam majalah Esquire, Oktober 1983. Beberapa jam sebelumnya, tentara yang memberontak sudah menggempur sisa-sisa pengawal Nhu yang setia. Gereja yang terpencil itu merupakan tempat berlindung mereka yang terakhir. Mereka bersembahyang dan ikut dalam komuni yang merupakan sakramen mereka yang terakhir. Sebab, tak lama kemudian, mayat mereka yang kumuh sudah digeletakkan orang di dek mobil lapis baja yang meluncur di jalan-jalan raya Saigon, ketika rakyat merayakan kejatuhan mereka. Diem, meski seorang presiden yang penuh dedikasi, mendapat ganjaran karena sikap tinggi-hatinya yang kaku dan ambisi keluarganya yang tak terkendali. Tapi keambrukannya itu mungkin tak terjadi andai Amerika tak terlibat. Sejak 1955, ketika ia menjadi presiden, Amerika Serikat memberikan dukungan kepadanya. Tetapi Presiden Kennedy, yang kecewa dengan ketidakmampuan Diem untuk rujuk dengan kelompok-kelompok pembangkang - sementara tantangan kaum komunis makin besar - menyadari bahwa tokoh itu tidak akan bisa memenangkan perang Vietnam. Kennedy lalu menyerahkan kebijaksanaan menghadapi Diem kepada Henry Cabot Lodge, duta besar AS di Saigon. Dan pejabat inilah yang mengipasi para perwira senior Presiden Diem untuk melancarkan kudeta. Sayang, rencana itu berjalan di luar kontrol. Kennedy sendiri terkejut atas terbunuhnya presiden itu - tiga minggu sebelum presiden AS itu sendiri terbunuh. Rasa tanggung jawab Amerika atas kematian Diem kemudian sangat menghantui para pemimpin AS. Dan itu memaksa mereka memikul beban lebih berat di Vietnam. Sialnya, bila Diem seorang penguasa yang tak becus, para penggantinya lebih parah. Mereka lebih banyak cekcok, dan kekacauan kronis di Saigon akhirnya meremukkan harapan Amerika untuk mencapai kemajuan di medan pertempuran ketika kaum komunis meningkatkan ofensif mereka. Kematian Diem memang menandai tahap baru dalam konflik Vietnam. * * * Akhir rezim Diem dimulai dengan sengketa keagamaan yang mula-mula tampak sepele. Diem, seorang Katolik, mengandalkan dukungan dari ribuan umat yang seagama dengan dia, yang merupakan kaum pelarian ke selatan setelah konperensi internasional di Jenewa menyerahkan Vietnam Utara ke tangan kaum komunis, 1954. Diem memanjakan mereka dengan jabatan-jabatan kunci di bidang militer dan sipil serta berbagai proyek bisnis dan hak-hak istimewa pemilikan tanah, sering dengan merugikan ekonomi umat Budhis yang merupakan mayoritas penduduk. Ini mengingatkan pada kasus Filipina Selatan, wilayah Muslim yang juga menerima bondongan imigran Katolik dari Utara. Di Vietnam sendiri kaum Katolik berjumlah - menurut klaim mereka - sekitar 1.560.000 alias kurang lebih 8,5% penduduk, dan konon hampir 1.000.000 merupakan kaum imigran tadi. Toh, rasa tak senang umat Budhis mungkin akan tetap mereka telan saja seandainya pemerintah tak membuat kesalahan besar yang tampaknya sulit dihindarkan Diem, mengingat sifatnya yang keras kepala. Pada 8 Mei 1963, ketika para umat pribumi itu berkumpul di Hue untuk merayakan hari lahir Budha ke 2.527, wakil kepala daerah itu - juga seorang Katolik - memberlakukan sebuah peraturan lama yang provokatif ini: melarang jemaah besar itu mengibarkan bendera mereka yang terdiri dari berbagai warna. Beberapa ribu umat Budha melancarkan protes. Jawaban pemerintah adalah pengerahan pasukan tentara. Dan mereka itu melepaskan tembakan bukan hanya ke atas, tapi juga ke arah massa. Seorang wanita dan delapan anak tewas, baik tertembak maupun terhimpit massa. Minggu-minggu berikutnya, protes umat Budha makin meningkat, dan pasukan pemerintah malah memperburuk keadaan dengan menumpas mereka tanpa ampun, kadang-kadang dengan sangat keji. Frederick Nolting, duta besar AS sebelum Lodge, sudah mendesak Diem supaya mengambil sikap rukun dengan umat Budha. Tapi Diem mengalihkan kesalahan pada kaum komunis atas terjadinya insiden tadi. AS malah terang-terangan memperingatkan sang kepala negara bahwa rezimnya bisa kehilangan dukungan Amerika jika penindasan umat Budha terus berlangsung. Diem kemudian membentuk sebuah komisi untuk "mempelajari masalah yang dikeluhkan" umat Budha. Di pihak lain, sikap keras Amerika itu sebenarnya mencerminkan pergeseran di Departemen Luar Negeri di Washington. Diplomat kawakan Averell Harriman baru saja menduduki jabatan menteri muda luar negeri, sedangkan Roger Hilsman menjadi kepala biro Timur Jauh. Kedua orang ini memang lebih suka bersikap keras terhadap Ngo Dinh Diem. Di pihak Vietnam, karena Diem menunda-nunda penyelesaian, umat Budha meledakkan "bom" mereka. Pada 11 Juni pagi, iring-iringan mobil meluncurdi sebuah persimpangan jalan Saigon yang ramai. Dan seorang rahib Budha berusia lanjut keluar dari salah satu kendaraan itu. Ia duduk bersila di jalan aspal, sementara rahib dan biarawati lain mengelilinginya. Salah seorang dari mereka menyirami tubuhnya dengan bensin, yang lain menyalakan korek api. Ketika ambulans datang, bapak rahib sudah dalam posisi tergeletak, sementara api membakar seluruh dagingnya. Kaum Budhis militan memberitahu Malcolm Browne, koresponden kantor berita Associated Press, yang tiba di situ membawa kamera. Dan keesokan harinya foto yang mengerikan itu terpasang di halaman depan surat-surat kabar dunia. Kenyataannya, desakan Amerika yang berulang kali tak berhasil menggoyahkan sikap Diem, sekalipun sudah jatuh korban jiwa. Komisi penyelidik setempat malah mempertegas anggapan sang kepala negara bahwa kaum komunis-lah yang menjadi penyebab insiden Hue - dan kemudian makin banyak rahib Budha yang membakar diri. Sialnya keadaan kacau ini diperburuk oleh ipar perempuan Diem, istri Nhu, seorang wanita cantik dan galak. Ia mempertontonkan sikap intolerannya yang suka jengkel melihat tradisi kaum lain yang dianggapnya lebih rendah: ia menyebut pendeta yang membakar diri itu. sebagai "sate". Kepada seorang wartawan ia sesumbar, "Biarkan mereka membakar diri. Kami akan bertepuk tangan." Orang-orang pemerintah memang menempatkan diri dalam posisi musuh mayoritas. Mereka merasa kuat. * * * Pada usia 62 tahun, dengan banyak pengalaman di bidang pemerintahan, Henry Cabot Lodge sedang baik kesehatannya, penuh semangat, lagi pula menganggur. Ia mengesankan Menteri Luar Negeri Dean Rusk sebagai calon pengganti yang ideal bagi Duta Besar Nolting di Saigon. Gagasan penggantian ini membuat Presiden Kennedy tergoda. Dengan mengangkat Lodge, ia akan bisa menun jukkan sikap murah hati kepada musuh lama yang dikalahkannya dalam pemilihan senator di Massachussetts - dan sekali lagi dalam pemilihan presiden, sebagai pasangan Richard Nixon. Di samping itu hadirnya tokoh Partai Republik, saingan partai Kennedy, di Saigon, bisa merupakan kambing hitam yang baik seandainya nanti kebijaksanaannya di Vietnam gagal. Maka pada 27 Juni 1963 Kennedy mengangkat Lodge sebagai duta besarnya, direncanakan mulai September. Seminggu kemudian, sang presiden memanggil beberapa pembantunya ke Gedung Putih untuk membicarakan Vietnam. Di situ mereka sepakat mengenai satu hal: biang keladi kekacauan di Vietnam adalah Nhu, yang merupakan penasihat tunggal Diem. Tapi mereka pun berpendapat, Diem tak akan mungkin melepaskan saudaranya begitu saja. Dan, untuk pertama kalinya dalam rapat pemerintahan Kennedy, mereka kemudian berspekulasi tentang kemungkinan adanya kudeta terhadap Diem. Pada malam yang sama di Saigon, masalah yang sama dibicarakan pula oleh Jenderal Tran Van Don, komandan - tapi sesungguhnya hanya boneka tentara Vietnam Selatan, dan Letnan Kolonel Lucien Conein, agen kawakan CIA. Don dan Conein mengunjungi sebuah klub malam yang bising setelah menghadiri upacara perayaan Empat Juli (Hari Kemerdekaan AS) di kedutaan. Musik yang hingar diharapkan menyembunyikan pembicaraan mereka. Don, ketika itu menjelang 50-an, adalah seorang pria yang halus dan ganteng, tapi lebih merasa dirinya Prancis daripada Vietnam. Ia memang diahirkan di Bordeaux, tempat ayahnya - putra tuan tanah kaya di Delta Mekong - belajar ilmu kedokteran. Kembali ke Prancis sebagai mahasiswa, Don menjadi perwira tentara negeri Eropa itu ketika pecah Perang Dunia II. Kemudian pulang ke Vietnam, dan cepat naik pangkat dalam tentara negeri sendiri yang ditunjang Prancis. Kedudukannya makin meningkat di bawah pemerintahan Diem. Hanya, sedikit demi sedikit, timbul rasa tak senangnya setelah mengetahui kekurangan rezim itu. Ia pun mulai mendekati para perwira senior, bertukar pikiran dengan mereka. Tahap lebih lanjut, mereka membina seorang rekan yang juga kurang puas: Jenderal Duong Van Minh, orang Selatan bertubuh kekar. Jenderal Minh mula-mula membantu Diem mengkonsolidasikan kekuasaannya. Malah kemudian terlalu populer di kalangan pasukan Diem, yang beberapa tahun sebelumnya mengangkatnya sebagai "penasihat khusus", satu jabatan tanpa kekuasaan. Conein sendiri seorang agen rahasia profesional AS yang eksentrik. Kalau bicara suka riuh dan tak terkendali, tapi sangat peka. Ia menumbuhkan rasa aman di kalangan rekan-rekan Vietnamnya - yang berdasarkan kebiasaan Asia lebih menaruh kepercayaan pada hubungan pribadi daripada yang resmi. Conein dan Don tak hanya bertempur bersama, tapi juga suka minum dan main perempuan bersama. Antara mereka pun ada ikatan kultural yang ganjil. Kalau Don seorang Vietnam yang keprancisprancisan, Conein seorang Prancis yang keamerika-amerikaan. Dilahirkan di Paris, Lucien Conein disuruh pergi sendirian oleh ibunya yang janda untuk tinggal di Kansas City bersama kakaknya, istri seorang anggota pasukan infanteri Perang Dunia I. Ia besar di sana, berbicara dengan logat Missouri, tapi tetap mempertahankan kewarganegaraan Prancis-nya. Malah, seperti juga Don, ia masuk tentara Prancis pada Perang Dunia. II, dan berhasil melarikan diri ketika Prancis menyerah pada tahun 1940 - ke Amerika Serikat. Di sini, Dinas Kegiatan Strategis - badan rahasia AS sebelum CIA - merekrutnya untuk diterjunkan kembali di Prancis, kali ini dengan tugas berhubungan dengan gerakan perlawanan negeri itu. Ketika perang berakhir di Eropa, Conein dipindahkan ke Asia untuk bergabung dengan sebuah kompi pasukan komando Prancis dan Vietnam. Tujuannya mengganggu pos-pos militer Jepang di utara negeri Indocina itu. Ia masuk ke Hanoi setelah Jepang kalah dan kembali ke sana sembilan tahun kemudian dengan tugas rahasia menyabot sistem angkutan kaum komunis. Selama masa awalnya di Vietnam Conein banyak bersahabat dengan para perwira dan politisi muda negeri itu. Mereka itulah yang kemudian jadi informannya. Didinaskan kembali di Vietnam pada awal 1962, Conein menyamar sebagai penasihat kementerian dalam negeri Saigon - jabatan yang memungkinkannya menjelajah seluruh kawasan dan mengumpulkan keterangan inteligen terhadap persekongkolan melawan pemerintah. Tugas itu sangat sulit. Ia harus berhati-hati, agar laporannya mengenai kawankawan dekatnya sendiri, seperti Don, tidak dibocorkan kepada Diem dan Nhu oleh orang-orang Amerika yang bersimpati kepada rezim itu. Puluhan kelompok mulai muncul ketika itu, dan baru pada akhir 1963 mereka berhimpun menjadi satu. Karena seluruh situasinya belum jelas betul bagi Don, tak banyak yang bisa disampaikannya kepada Conein ketika mereka mengobrol di klub malam berisik itu. Ia hanya bisa mengisyaratkan kepada Conein bahwa suatu kudeta sedang direncanakan. Dan ia mempunyai satu pertanyaan penting: "Apa reaksi Amerika, jika kami jalan terus dengan rencana kudeta?" Pertanyaan ini mengungkapkan kesungguhan para pelaku rencana kudeta yang semakin meningkat. Tak berpengalaman di bidang politik, para pelaku itu adalah tokoh-tokoh muda yang mula-mula dibimbing orang-orang Prancis dan kemudian mengandalkan diri pada Diem. Mereka sangat mengharapkan diterima baik oleh Amerika - sebagian karena mereka sudah terbiasa menjalankan perintah, dan juga karena mereka akan memerlukan bantuan AS jika ikhtiar mereka berhasil. Di pihak AS sendiri, sementara tak ada seorang pejabat pun - dari tingkat mana saja - yang menganggap Diem pemimpin ideal, ada juga yang meramalkan akan terjadinya kekacauan tanpa Diem. Conein sendiri tak bisa mengisyaratkan petunjuk apa pun tentang sikap AS pada awal Juli itu - karena saat itu Kennedy masih berharap bahwa Diem bisa dibujuk berkompromi dengan mayoritas Budha. Sementara itu empat rahib Budha lagi - tiga pria dan seorang wanita - membakar diri selama pertengahan pertama Agustus, sementara Madame Nhu makin menyoraki mereka. Pada 20 Agustus, Don dan beberapa jenderal lain mengusulkan kepada Diem agar memaklumkan hukum darurat militer - sehingga mereka bisa melancarkan perang terhadap kaum komunis lebih efektif lagi, meskipun ada kekacauan politik. Maksud mereka sesungguhnya ialah ini: memperkukuh kedudukan untuk kudeta. Anehnya, Diem menerima begitu saja usul itu tapi untuk tujuan lain. Dengan memberlakukan hukum darurat, ia bermaksud melibatkan tentara dalam rencana yang sudah diatur Nhu: membasmi kaum Budhis, dengan pasukan Nhu sendiri yang maslh setia, yang akan menyamar sebagai tentara reguler. Dengan demikian, menurut perhitungannya, ia bisa mengadu domba umat Budha dan simpatisan mereka dengan tentara - demi keuntungan Diem sendiri. Maka pasukan brutal itu pun bergerak segera setelah tengah malam 21 Agustus. Dengan bersenjatakan senapan, senapan mesin, dan granat gas air mata, bertruk-truk anak buah Nhu menyusupi jalan-jalan Saigon yang sepi. Mereka mengepung kuil Xa Loi, pusat berkumpulnya pendeta Budha. Kemudian, tanpa memberi peringatan, mereka melancarkan serangan: mengobrak-abrik pagoda, dan menahan sekian ratus biarawan dan biarawati - di antaranya kepala pendeta Budha Vietnam yang berusia 80 tahun. Rakyat Vietnam segera menunjukkan reaksinya yang mencemaskan. Para pemuda kota, yang sebagian besar malah anak-anak keluarga menengah yang duduk dalam birokrasi pemerintahan dan pimpinan militer, turun ke jalan-jalan. Mereka memprotes Diem. Henry Cabot Lodge, yang dalam perjalanan ke Vietnam, sedang mengadakan rapat di Honolulu ketika terjadi penumpasan antaragama itu. Atas perintah dari Washington ia ngebut ke Saigon. Dan mendarat di sana 22 Agustus, hanya sehari setelah peristiwa itu. Sebuah telegram dari Departemen Luar Negeri AS sudah menunggunya di posnya - meminta laporan dan penilaiannya yang segera mengenai keadaan. Setelah diberi penjelasan singkat oleh stafnya, ia melaporkan: Nhu memang bermaksud menghantam umat Budhis, "mungkin dengan dukungan penuh" Presiden Diem. Ia juga menegaskan, para jenderal Vietnam menginginkan dukungan Amerika untuk kudeta terhadap kedua saudara itu, tetapi Lodge sendiri menyarankan kepada AS agar hati-hati. Tindakan terburu-buru bisa merupakan "tembakan nyasar". * * * Pemberitaan surat kabar dan televisi yang dramatis atas peristiwa pembasmian itu membuat ketegangan makin memuncak, sampai-sampai pemerintah Kennedy dipaksa memberikan tanggapan segera. Dan pada hari Sabtu 24 Agustus keputusan pemerintah Washington datang kepada Lodge - dan inilah yang pada tahun-tahun selanjutnya menjadi sasaran kontroversi dan saling tuduh. Roger Hilsman, Kepala Biro Timur Jauh Departemen Luar Negeri AS, sudah sejak lama mengecam rezim Saigon. Dan kini ia merasa sudah tiba saatnya untuk mendesakkan tekanan sebesar-besarnya kepada Diem. Dengan dalih bahwa Amerika Serikat "tak bisa mentolerir keadaan terpusatnya kekuasaan di tangan Nhu", Hilsman mengusulkan agar Diem "diberi kesempatan" menyingkirkan saudaranya itu. Jika sang presiden "tetap bandel dan menolak", demikian petunjuk Hilsman kepada Lodge, "kita harus menghadapi kemungkinan bahwa Diem sendiri tak bisa dipertahankan." Pesan itu selanjutnya menyarankan agar sang duta besar menyampaikan keputusan ini kepada para jenderal pembangkang sesungguhnya, untuk memberi kepastian kepadapara jenderal itu mengenai dukungan Amerika pada kudeta terhadap Diem, kecuali Diem mau menyingkirkan Nhu. Jadi, Hilsman menyarankan agar pemerintah Kennedy mendorong digulingkannya seorang sekutu AS yang tak bisa diajak bekerja sama. Berarti, paling tidak secara teoretis, Amerika akan menempati posisi pihak yang berhak menyetir suatu pemerintahan yang bergantung kepadanya tapi gagal menuruti kehendaknya. Hilsman menyusun telegram kepada Lodge itu dengan bantuan Averell Harriman dan Michael Forrestal, pembantu McGeorge Bundy, penasihat keamanan nasional presiden. Langkah mereka berikutnya, pada Sabtu siang yang panas di bulan Agustus, ialah memperoleh persetujuan atasan mereka. George Ball, menteri muda luar negeri, ketika itu sedang bermain golf di sebuah klub Washington. Harriman dan Hilsman menemuinya ketika ia baru saja menyelesaikan hole-nya yang kesembilan. Ball lalu mengajak mereka berdua ke rumahnya untuk mempelajari pesan itu. Ia menyukai nadanya yang tegas, tetapi meminta agar teks itu disahkan Presiden Kennedy - yang sedang berakhir minggu di tempat peristirahatannya di Hyannis Port, Cape Cod. Tak pernah jelas benar apakah Kennedy menerima konsep telegram itu melalui teleks, sebagaimana yang dikatakan Hilsman, ataukah hanya dibacakan "bagian-bagian yang penting saja" lewat telepon, sebagaimana yang diingat Ball. Yang jeias, waktu itu Kennedy bukannya mengira bahwa semua penasihatnya menyatakan persetujuan, sebagaimana yang diingat adiknya, Robert. Sebab, Kennedy hanya mau menyetujuinya dengan syarat Ball memperoleh persetujuan dari Menteri Luar Negeri Dean Rusk dan Roswell Gilpatric, wakil Menteri Pertahanan Robert McNamara yang sedang berlibur. Besar kemungkinan Kennedy tidak memberikan perhatian penuh pada detail kawat itu. Yang selanjutnya terjadi ialah serangkaian salah paham. Menteri Luar Negeri Rusk, yang ditelepon di New York karena sedang menghadiri sidang PBB, secara hati-hati memberikan kesepakatan atas kawat itu karena merasa Kennedy sudah setuju. Gilpatric juga membenarkannya, dengan anggapan Kennedy dan Rusk sudah okay. Tapi ia kemudian menelepon Maxwell Taylor, Ketua Gabungan Kepala Staf, untuk menyatakan kekhawatirannya. Taylor, yang sedang makan di restoran dan tak bisa ditemukan dengan segera, mengatakan kemudian: dari telepon Gilpatric itulah ia baru pertama kali tahu tentang hal itu. Tetapi salah seorang wakilnya rupanya telah memberikan persetujuan atas namanya, tanpa memberitahu dia. Pada tahun-tahun selanjutnya, Taylor mendamprat Ball, Harriman, Hilsman, dan Forrestal sebagai "aktivis anti-Diem" yang tindakannya telah membuat orang "terpojok". Tetapi, belakangan, McGeorge Bundy menarik pelajaran dari eristiwa itu. "Janganlah mengerjakan urusan negara pada akhir minggu," katanya. Semua orang yang terlibat lalu bertemu dengan Kennedy di Gedung Putih pada Senin pagi - hari pertama dari rapat penuh ketegangan selama empat hari. Sang presiden membuka pertemuan dengan mendamprat habis-habisan Ball, Harriman, Hilsman, dan Forrestal karena tindakan gegabah mereka. Dan segera mereka yang tersebut itu terlibat dalam pertengkaran dengan Taylor, McNamara, Wakil Presiden Lyndon ]ohnson, dan John McCone, Direktur CIA, yang semuanya menentang kudeta. Dean Rusk, sebagaimana biasa, cari selamat dengan berdiam diri. Eselon tertinggi pemerintahan terpecah-belah - dan itu tak pernah terjadi sebelumnya. "Masya Allah," kata Kennedy (tentu saja dalam bahasa Inggris) kepada seorang kawannya, "pemerintahan saya hampir berantakan!" Sementara pertengkaran sengit di Gedung Putih terus berlangsung, para pejabat AS mulai bertingkah sembunyi-sembunyian mirip para pelaku kudeta Vietnam. Taylor, dan Paul Harkins, komandan para penasihat militer AS - yang sama-sama menentang kudeta - diam-diam berhubungan satu sama lain melalui "saluran gelap" Pentagon antara Washington dan Saigon. Atas permintaan Lodge, Hilsman mengizinkan radio Suara Amerika menyiarkan laporan yang membebaskan tentara Vietnam Selatan dari tanggung jawab penyerbuan Nhu ke kuil-kuil. Tapi radio itu bertindak lebih jauh - mengutip spekulasi pers AS bahwa AS "mungkin akan mengurangi bantuannya dalam jumlah sangat besar" kepada Diem, kecuali-jika ia memecat orang yang mendalangi penyerbuan ke kuil Budha itu. Meskipun hal ini segera dibantah, siaran radio itu sesungguhnya mengisyaratkan kepada Diem bahwa pemerintah Kennedy berbalik menentangnya. Hal ini mencemaskan para penentang pemerintah di Saigon - yang khawatir rencana mereka tercemar jika dukungan AS diperlihatkan terlalu terang-terangan. Dalam pada itu Lodge, yang semula berhati-hati, kini memohon dengan sangat agar memberikan lampu hijau kepada para jenderal. Ia mengatakan kepada Washington, penundaan hanya akan memperkukuh Nhu dan melenyapkan kemungkinan kudeta yang efektif. Ia juga menyangsikan bahwa Diem bisa dibujuk untuk mencopot Nhu - kesan yang dipertegasnya pada 26 Agustus, ketika ia pertama kali menemui Diem untuk menyerahkan surat-surat kepercayaannya. Karena keduanya sama-sama tinggi hati, acara minum teh di istana presiden itu berlangsung kaku, tanpa salah seorang mau merendah. Seperti. yang dituturkan Lodge sendiri kepada Stanley Karnouw, penulis karangan ini, bertahun-tahun kemudian, "Saya melihat raut mukanya yang kecut ketika saya menyarankan agar ia menyingkirkan Nhu dan memperbaiki pemerintahannya. Ia menolak mentah-mentah membicarakan persoalan-persoalan yang dititipkan Presiden Kennedy kepada saya. Dan, terus-terang, ini membuat saya merasa terpukul. Ia mengalihkan pandangannya ke langit-langit, dan berbicara tentang hal-hal yang tak perlu. Saya merasa hal itu sungguh menjengkelkan saya." Di pihak lain, Harkins secara tersendiri memperingatkan Taylor tentang "persetujuan tergesa-gesa" pihak AS kepada para penentang pemerintah di Saigon, sambil menegaskan bahwa yang terakhir itu sebenarnya kekurangan pasukan untuk menghadapi kesatuan-kesatuan pro pemerintah. la juga merasa dan ternyata tepat- para anggota komplotan itu tidak akan bergerak tanpa isyarat AS. Harkins akan berusaha terus menggagalkan rencana kudeta, dan tentu saja berbentrokan dengan tindakan Lodge yang justru sebaliknya. Tapi sampai bulan Agustus para jenderal Vietnam belum memberitahukan rencana mereka kepada Conein dan agen-agen CIA lain. Mereka takut dikhianati. Mereka juga menginginkan bukti nyata adanya restu Amerika - misalnya dihentikannya bantuan ekonomi AS kepada Diem. Padahal Kennedy belum siap bertindak sekeras itu. Pada 29 Agustus,karena tak sabar akan sikap Washington, Lodge mengirim kawat meminta tindakan tegas: "Kita sedang menempuh jalan yang tak punya langkah mundur secara terhormat: penggulingan pemerintahan Diem .... Tak ada langkah mundur karena, menurut pendapat saya, di bawah pemerintahan Diem tak ada kemungkinan memenangkan Perang Vietnam ." Lodge mengusulkan agar bantuan AS kepada Diem dihentikan - isyarat yang ditunggu para jenderal. Dan dengan emosi yang di luar kebiasaannya, ia mendesakkan "upaya sepenuh tenaga" untuk memungkinkan para pemberontak "bertindak segera". Ditandaskannya, berhasilnya tindakan itu "setidak-tidaknya akan sangat tergantun pada kita" di samping pada mereka. Kalau tidak, la memperingatkan, rasa tidak puas terhadap rezim Diem akan meledak berupa kekerasan, yang akan memberi peluang pada "kaum politisi pro komunis atau sekurang-kurangnya kaum netralis". Investasi Amerika di Vietnam memberi hak Amerika untuk bertindak. "Bantuan kita kepada rezim itu pada masa lampau mau tak mau membebani kita dengan tanggung jawab yang tak dapat kita hindarkan." Kennedy menyetujui saran Lodge, memberikan keleluasaan penuh kepada Lodge untuk menghentikan bantuan AS kepada Diem. Dengan demikian Lodge diserahi mandat untuk melaksanakan kebijaksanaan Amerika di Vietnam. Dan kebijaksanaan itu, sebagaimana dirumuskan Lodge, ialah menggulingkan rezim Diem. Belakangan, Kennedy ternyata punya beberapa keberatan terhadap kudeta itu. Tapi pada 2 September, dalam wawancara televisi dengan Walter Cronkite, ia secara terbuka menyatakan dukungan atas kebijaksanaan duta besarnya itu. Mengulangi apa yang pernah diperingatkan Lodge kata demi kata, Kennedy menyatakan keraguannya bahwa perang melawan komunis bisa dimenangkan secara efektif, "kecuali pemerintah (Diem) berusaha lebih keras memperoleh dukungan rakyat." Secara blak-blakan bahkan Kennedy menambahkan, rezim itu "sudah kehilangan kontak dengan rakyat." la juga menyerukan agar diadakan perubahan di bidang politik dan personil, yang berarti bahwa Diem harus berdamai dengan umat Budhis dan menyingkirkan keluarga Nhu. Dari pernyataannya itu tak ada tanda-tanda bahwa ia bermaksud mundur dari Vietnam. "Saya tak setuju kepada mereka yang mengatakan kita harus mundur dari Vietnam. Itu merupakan kesalahan besar. Kita harus bersabar. Kita harus terus bertahan." Kendati begitu, Lodge, dengan segala ketegasan dan dinamismenya, ternyata juga tidak mampu membuat para pemberontak "bergerak cepat". Ia sendiri berpendapat, menyuruh mereka bergerak sama artinya dengan "menegakkan benang basah". Maka pada awal September, ketika para perwira pemberontak mendadak menunda rencana mereka di tengah berkecamuknya kecurigaan dan suasana tak menentu, ia kalang kabut. Sebagian menduga bahwa John Richardson, Kepala CIA di Saigon, memberikan informasi tentang mereka kepada Nhu yang memang merupakan kontak dekatnya. Yang lain mencurigai Harkins yang mengadukan mereka kepada Diem. Bagaimanapun, pada saat itu para perwira menyadari bahwa mereka kurang kuat untuk mulai bergerak. Tokoh-tokoh seperti Minh dan Don adalah tokohtokoh yang berwibawa. Tapi mereka sendiri tidak memimpin pasukan. Mereka mengatur batalyon infanteri di seluruh negeri, juga satuan-satuan angkatan udara dan angkatan laut. Tetapi kunci menuju sukses terletak di Saigon. Di sana Diem bisa mengandalkan pasukan khusus yang dipimpin Kolonel Le Quang Tung, seorang Katolik dari Vietnam Tengah yang dilatih CIA di Amerika. Untuk menghadapi Kolonel Tung, para pemberontak harus dapat menguasai Jenderal Ton That Dinh, komandan militer Saigon, seorang perwira terkemuka yang angkuh dan yang kesetiaannya kepada Diem saat itu diragukan. Harkins, yang senang karena Lodge kecewa, secara keliru mengutip Pujangga Kipling, dalam pernyataannya yang tajam pada Taylor: "Kita tak bisa menyuruh Timur bertindak cepat." Dalam pada itu, Nhu, yang oleh agen-agennya diberitahu tentang hubungan Amerika dengan kaum pemberontak, mulai mengadakan tindakan balasan ini: mengajukan tawaran tak langsung kepada kaum komunis. Salah seorang penghubung utamanya ialah Mieczyslaw Maneli, ketua delegasi Polandia di Komisi Pengawas Internasional (ICC), yang dibentuk berdasarkan Persetujuan Jenewa untuk memonitor pelanggaran terhadap perdamaian. Para anggota komisi yang terdiri atas wakil-wakil dari India, Kanada, dan Polandia bisa bepergian bebas di kedua wilayah Vietnam. Sebagai pejabat komunis, Maneli punya hubungan khusus dengan kalangan pemerintah Vietnam Utara. Ketika mula-mula ia tiba di Hanoi, awal 1963, Ho Chi Minh dan para kameradnya sedang mengamati dengan cermat ketegangan yang makin berkobar antara Diem dan orang-orang Amerika, sambil berharap timbulnya perpecahan antara mereka. Maneli,yang belakangan membelot ke Amerika, pada saat akhir mengisahkan kembali politik Hanoi ketika itu. "Musuh kami yang sebenarnya ialah Amerika. Enyahkan mereka, dan kami bisa mengurus Diem dan Nhu sesudah itu." Maneli, yang masih komunis, kembali ke Saigon dan secara diam-diam bertemu dengan Nhu di kantor istananya pada 2 September. Ia mengungkapkan isi pembicaraannya dengan para pimpinan di Hanoi. Nhu menyatakan tertarik. Maneli kembali ke Hanoi, dan kaum komunis menegaskan kembali bahwa musuh utama mereka ialah "imperialisme AS", bukan rezim Diem. Mereka bahkan memperkenankan Maneli memberitahu Nhu, bahwa Nhu bisa mengharapkan bantuan kaum komunis seandainya terjadi perselisihan dengan Amerika Serikat. Maneli tak pernah menyampaikan pesan itu. Diem dan Nhu sudah tewas ketika Maneli kembali ke Saigon. Tetapi Madame Nhu, yang kemudian membenarkan bahwa perundingan dengan Utara memang berlangsung, menyatakan pula bahwa la siap mengirimkan dua putranya yang tertua ke Hanoi sebagai "tanda persaudaraan". Di segi lain, kasak-kusuk Nhu ternyata dimaksudkan pula untuk memeras Amerika. Antara lain ia membocorkan berita itu kepada Kolomnis Joseph Alsop dengan tujuan yang jelas untuk menakut-nakuti Washington. Seperti kata Maneli, "ia memainkan beberapa instrumen sekaligus." Sialnya, bagi sebagian pejabat Amerika, rencana Nhu itu merupakan alasan tambahan untuk menyingkirkan Diem. Hilsman, dalam sebuah memorandum sangat rahasia kepada Rusk, menyarankan agar para jenderal pemberontak didorong "segera melancarkan kudeta" jika rezim Diem jadi berunding dengan Hanoi. Malahan juga agar AS melancarkan gerakan militer terhadap Vietnam Utara jika komunis mengirim tentara ke selatan untuk menyelamatkan Diem. Peluang untuk mempertemukan kedua Vietnam secara baik-baik mungkin telah hilang. Tetapi mengingat sikap AS waktu itu, penarikan mundur -Amerika dari Vietnam tidaklah terbayangkan. Robert Kennedy-lah yang melemparkan gagasan penarikan itu dalam pertemuan di Gedung Putih bulan September. Dengan lantang ia mempertanyakan apakah pengambilalihan kekuasaan oleh komunis "bisa dilawan secara berhasil oleh pemerintah mana pun" di Saigon, dan jika tidak, apakah barangkali "sekaranglah saatnya untuk keluar sama sekali dari Vietnam." Seperti dikisahkan kembali oleh Arthur Schlesinger, masalah spekulatif itu "melayang-layang untuk sesaat, kemudian lenyap suatu pikiran asing yang sia-sia mengenai hal yang masih belum pasti dan keyakinan yang berurat-akar." Gagasan itu ditampilkan pula pada sidang Dewan Keamanan Nasional, 31 Agustus, oleh Paul Kattenburg, seorang ahli Vietnam Departemen Luar Negeri yang cerdas. Ia baru kembali dari Saigon, dan di sana menemukan pendapat yang demikian bermusuhan terhadap Diem. Berdasarkan hal itu, ia meramalkan bahwa AS akan terpaksa angkat kaki dalam waktu enam bulan jika kebijaksanaannya tetap mendukung Diem. Maka, katanya, barangkali lebih baik sekarang saja "kita mengambil keputusan keluar secara terhormat." Pandangannya itu mengejutkan sidang. Rusk berkeras, "Kita tidak akan menarik diri sebelum perang dimenangkan." McNamara mempertegas lagi, "Kita sedang menuju kemenangan." Dan Lyndon Johnson menambahkan, "Kita harus menghentikan percekcokan ini dan berusaha memenangkan perang." Akibatnya, Kattenburg digeser - dan menjalani masa akhir karier pemerintahannya di kedutaan AS di Guyana yang terpencil, tak jauh dari Pulau Setan. Kennedy akhirnya memutuskan mengirim McNamara dan Taylor ke Vietnam pada bulan September itu. Taylor, yang berharap menerima langsung pandangan Jenderal Minh, mengundangnya main tenis di Circle Sportive, bekas klub Prancis yang digunakan kaum elite Saigon. Tempat itu penuh polisi rahasia Nhu, dan Minh dengan hati-hati menghindar bicara tentang persekongkolan mereka. Itu membuat Taylor mengira bahwa rencana itu dibatalkan. Dan berdasarkan dugaan itu Kennedy menelegram Lodge, 2 Oktober: "Tak boleh ada usaha memberikan dukungan tertutup kepada rencana kudeta. Tapi harus ditempuh upaya segera untuk mengenali dan membina kontak dengan bakal pengganti pimpinan bilamana mereka muncul." Tetapi tiga hari kemudian Lodge melapor kepada Kennedy - bahwa rencana kudeta yang timbul-tenggelam itu muncul lagi. Para jenderal secara diam-diam rupanya mengorganisasikan diri selama bulan lalu, dan kini siap bertukar pikiran dengan Amerika. Jenderal Don mengatur pertemuan antara Conein dan Minh, pagi 5 Oktober, di markas garnisun Saigon yang berupa serangkaian bungalo peninggalan Prancis. Conein merasa keberatan bertemu dengan Minh yang dianggapnya cuma "kopral tentara Prancis yang dimuliakan". Tapi Minh malah bicara dengan tangkas, lain dari biasanya. Bercakap dalam bahasa Prancis, ia mengatakan kepada Conein bahwa para jenderal sebenarnya bukan mengharapkan dukungan nyata Amerika terhadap kudeta. Hanya sekadar jaminan bahwa AS "tidak akan menghalangi". Mereka juga menginginkan janji diteruskannya bantuan militer dan ekonomi AS - yang ketika itu sudah mencapai US$ 500 jutasetahun - setelah mereka merebut kekuasaan. Pembicaraan Conein dengan Minh akhirnya memberikan landasan yang diinginkan Lodge untuk membantu komplotan tadi, tanpa keterlibatan Amerika secara terang-terangan. Ia lalu menyarankan kepada Kennedy agar mengatakan kepada Minh bahwa AS "tidak akan berusaha merintangi" kudeta. Kennedy menyetujui bahasa yang berbelit-belit itu sekadar memperingatkan bahwa Amerika harus menghindarkan keterlibatan langsung dalam rencana kudeta: "Kami akan menolak diajak membicarakan atau memberi saran mengenai rencana operasional, atau tindakan lain yang bisa menunjukkan keterlibatan AS terlalu dekat." Nah, Lodge kini punya dalih yang akan digunakannya secara terbuka pada tahun-tahun mendatang untuk menolak tanggung jawabnya atas kejatuhan Diem: bukan ia yang menganjurkan kudeta, ia hanya "tidak merintangi". Atau, sebagaimana komentarnya kepada New York Times 30 Juni 1964, delapan bulan setelah kejadian: "Penggulingan rezim Diem semata-mata urusan Vietnam. Kita tak pernah ikut serta dalam perencanaannya. Kita tak pernah memberikan saran. Kita tak ada urusan apapun dengannya." Tapi dalam kawat ke Washington, 6 November 1963, empat hari setelah Diem terbunuh, Lodge secara pribadi mengemukakan kepada Kennedy penilaian yang agak berbeda. "Kudeta itu," katanya, "merupakan kegiatan Vietnam yang tak bisa kita kendalikan atau hentikan setelah dimulai." Walau bagaimanapun, ia menambahkan, "Sama pastinya adalah, tanah tempat tumbuhnya rencana kudeta itu dengan subur disiapkan oleh kita, dan bahwa kudeta itu tak akan terjadi sebagaimana adanya tanpa persiapan kita." * * * Saigon tampaknya kacau balau selama minggu-minggu pertama Oktober 1963. Pengaruh Nhu sangat menonjol. Dan meskipun hukum darurat sudah dicabut, penindasan politik makin gencar setelah seorang pendeta Budha lagi membakar dirinya di dekat pasar pusat di siang hari 5 Oktober. Tak ada hari berlalu tanpa puluhan orang pembangkang ditangkap polisi rahasia Nhu. Di antara mereka terdapat anak-anak yang membagi-bagikan pamflet antipemerintah atau mencorat-coret tembok. Para birokrat diperintahkan memboikot penasihat Amerika mereka, sementara Nhu hampir setiap hari menyatakan kutukan terhadap AS, baik secara tertutup maupun di depan umum. Nhu menuduh para pejabat Amerika "menghancurkan semangat negeri kami" dan "memulai proses penghancuran", dan ia menggambarkan Lodge sebagai "orang yang tak punya moralitas". Ia berhasil memasang alat penyadap elektronik di kedutaan besar AS, dan karena itu bisa menyiarkan laporan yang sangat akurat tentang pembicaraan rahasia Amerika dalam korannya berbahasa Inggris, Times of Vietnam. Ia juga menyebarkan desas-desus tentang kontak tersembunyinya dengan kaum komunis, sambil mengatakan bahwa "Amerika berbuat segalanya untuk mendorong saya ke dalarn rangkulan mereka." Perwakilan AS di Saigon pun dikacaukan oleh sengketa intern - mengenai apakah para jenderal pemberontak harus dibantu untuk menggulingkan Diem. Lodge membesarkan hati para pembangkang Vietnam awal Oktober dengan mengirim pulang John Richardson, Kepala CIA, yang mulai menyatakan kesangsiannya tentang kudeta. Tapi Lodge masih harus berhadapan dengan Harkins, yang bukan hanya menentang komplotan itu, tapi juga menambah ruwet keadaan dengan tindakannya yang tak bijaksana. Pada malam menjelang 22 Oktober, di resepsi kedutaan besar Inggris, Harkins menarik Jenderal Don ke sebuah pojok, dan mengatakan bahwa ia mendengar rencana kudeta yang segera, dan bahwa hal itu dianggapnya keliru. Don, yang cemas, segera meninggalkan pesta itu - dan esok paginya meminta Conein datang ke tempat praktek dokter gigi, tempat mereka mengadakan pertemuan rahasia. Dengan kegelisahan luar biasa Don mengatakan kepada Conein: kudeta itu semula direncanakan tanggal 26 Oktober, Hari Angkatan Bersenjata, pada saat satuan-satuan militer pemberontak bisa dikerahkan di Saigon tanpa menarik perhatian. Tetapi ia dengan terburu-buru membatalkan rencana itu setelah mendengar apa yang dikatakan Harkins. Ia kemudian menghujani Conein dengan pertanyaan. Bagaimana Harkins bisa mendengar rencana itu, sedangkan semestinya hanya Lodge dan Conein yang tahu? Apakah Harkins bermaksud mengatakan bahwa pemberontakan itu tidak lagi bisa mengandalkan bantuan Amerika? Bagaimana sikap AS sebenarnya, sekarang? Sambil mereka bicara, Don sedikit demi sedikit mulai tenang: Conein meyakinkannya bahwa AS tetap "tidak akan menghalangi" kudeta. Ia menjamin bahwa baik ia maupun Lodge tidak pernah bicara dengan Harkins tentang kudeta, dan bahwa tak ada informasi komplotan itu yang bocor. "Saya mencintai kulit saya yang putih seperti halnya Anda mencintai kulit Anda yang kuning dan saya tidak akan ambil risiko apa pun. Mereka itu 'kan bisa membunuh saya dan menyatakan pembunuhan itu sebagai insiden Vietkong, dan tak ada yang akan tahu apa bedanya." Tapi Harkins masih tetap mendompleng di balik punggung Lodge. Dalam kontak pribadi, Harkins tetap memperingatkan Taylor bahwa usaha menghancurkan Diem akan memporakporandakan upaya perang melawan komunis. Taylor menyampaikan kekhawatiran Harkins itu kepada Kennedy yang lalu jadi gugup pada saat-saat terakhir. Kennedy teringat pada bencana Teluk Babi, yakni kekonyolan Amerika dalam usaha penyerbuannya ke Kuba, jika rencana kudeta itu gagal. McGeorge Bundy lalu menyampaikan kerisauan Presiden itu kepada Lodge, 25 Oktober: "Kita terutama sekali khawatir bahwa suatu kudeta yang tak berhasil, betapapun hati-hatinya kita menghindarkan keterlibatan langsung, akibatnya akan dilemparkan kepada kita oleh pendapat umum di mana-mana. Karena itu, sambil menyetujui pendapat Anda hahwa kita tak boleh menghambat kudeta, kita ingin mendapatkan kebebasan menilai dan memperingatkan setiap rencana yang sedikit kemungkinannya berhasil." Lodge menjawab segera - berusaha keras menenteramkan kekhawatiran Kennedy. Ia mengakui risikonya, tetapi menandaskan bahwa "tampaknya kemungkinannya sama berat, bahwa pemerintahan yang akan datang tidak akan seceroboh dan segegabah yang sekarang." Pada 28 Oktober pagi, seakan segala sesuatunya beres, Diem mengumpulkan para anggota korps diplomatik di lapangan terbang Saigon ia akan berangkat ke Dalat meresmikan instalasi tenaga atom di sana. Jenderal Don, anggota rombongannya, mernutuskan mengambil tindakan nekat: mendorong Lodge ke suatu pojok, dan menanyakan langsung - untuk pertama kalinya - sikap Amerika terhadap rencana mereka. Apakah Harkins atau Conein mencerminkan sikap resmi Amerika? Lodge mengatakan kepadanya: jangan menghiraukan Harkins, tapi dengarkanlah Conein. Jadi, secara tak langsung menegaskan, AS "tidak akan merintangi" kudeta. Kembali ke Saigon malam itu, Don bertemu lagi dengan Conein di tempat dokter gigi. Kali ini ia membeberkan kesatuan militer mana saja yang akan ikut dalam pemberontakan itu. Dan malam itu juga Lodge mengatakan kepada Washington bahwa suatu kudeta akan terjadi "sebentar lagi". Kudeta itu hanya bisa dihentikan dengan mengkhianati para perwira pemberontak dengan memberitahu Diem, suatu hal yang tak hisa disetujui. Ia hanya akan punya waktu empat jam sebelum ikhtiar perebutan kekuasaan itu dimulai, dan itu akan "melenyapkan kemungkinan saya menghubungi Anda" lebih dulu. Pendeknya, sudah tak ada lagi waktu untuk berpikir. Dia, Lodge seorang dirilah, yang kini mengendalikan kebijaksanaan AS di Vietnam. Tapi Gedung Putih masih berpikir-pikir pada keesokan harinya, 29 Oktober, ketika Kennedy minta Dewan Keamanan Nasional bersidang. Harkins mengirim semakin banyak pernyataan gusar kepada Taylor, yang membawanya ke sidang untuk memperkuat sikapnya sendiri yang keberatan terhadap tindakan Lodge. Taylor menantang penilaian buruk Lodge terhadap Diem, dan menandaskan sekali lagi, "kita sebenarnya memperoleh kemenangan dalam pertarungan melawan Vietkong." "Tampaknya ada perbedaan mendasar antara pendapat Duta Besar dan saya," kata Harkins, menjelaskan pendiriannya dengan emosi yang tak lazim pada seorang prajurit. "Di kalangan orang-orang yang saya hubungi di sini, saya tak melihat seorang pun yang berwatak kuat seperti Diem, setidak-tidaknya dalam memerangi komunis. Jelaslah", tak ada jenderal yang memenuhi syarat untuk mengambil alih pimpinan. Betapapun, salah atau benar, kita sudah mendukung Diem selama delapan tahun yang penuh kesulitan. Bagi saya rasanya tak pantas kita menyingkirkannya." Pembelaan Harkins mengejutkan Robert Kennedy. Ia lalu memperingatkan Dewan Keamanan Nasional bahwa suatu kudeta "risikonya terlalu besar." Presiden sendiri tiba-tiba berubah pendapat. McGeorge Bundy, yang berbicara atas nama Presiden, menyatakan kembali kekhawatirannya dalam kawat kepada Lodge. Presiden "sangat prihatin", karena Coneinlah sebenarnya satu-satunya penghubung dengan kaum pemberontak. Walau bagaimanapun, kata Bundy menjelaskan, Kennedy menyangsikan keberhasilan kudeta. Bundy memerintahkan Lodge agar menyuruh Conein memberitahu Don, "kita tidak melihat bahwa rencana yang diketahui sekarang ini mengandung kemungkinan yang jelas akan segera berhasil." Para jenderal akan diberitahu, paling tidak secara implisit, bahwa Amerika Serikat lebih menyukai kudeta itu ditunda kalau tidak dibatalkan. Tapi Lodge tak pernah menyampaikan perintah itu kepada Conein. Demikian pula Jenderal Don tak pernah diberitahu, lewat saluran mana pun. Para jenderal pemberontak tetap percaya, sebagaimana Lodge ingin mereka percaya, bahwa Amerika "tidak akan menghalangi" usaha yang sudah berjalan itu. Memberikan jawaban kepada Bundy pada hari yang sama, Lodge mengingkari perintah Presiden. Kudeta itu, katanya, bisa dihentikan hanya dengan membocorkannya kepada Diem. Ini "akan menjadikan kita semua pengkhianat," di samping mengorbankan "para pemimpin militer dan sipil yang diperlukan untuk melancarkan perang sampai berhasil." Sekali lagi Lodge mengingkari prinsipnya untuk tidak campur tangan. Ia akan memberikan suaka kepada Diem dan para pendukungnya sesudah kudeta terjadi, tapi tegas-tegas menolak bantuan apa pun kepada mereka untuk menghadapi para pemberontak. Malahan ia juga mengusulkan agar para jenderal pemberontak secara diam-diam diberi dana oleh AS - "untuk menundukkan kemungkinan oposisi" - dan berikutnya pemberian pengakuan segera dan bantuan lebih lanjut oleh AS setelah mereka menyingkirkan Diem. Lodge menandaskan, apa yang dikemukakannya itu sesuai dengan konsepnya tentang "pembinaan bangsa" (nation building). "Pendapat saya secara umum ialah, AS mencoba mengantarkan negeri abad pertengahan ini ke abad ke-20. Kita telah mencapai kemajuan besar di bidang militer dan ekonomi tapi untuk merebut kemenangan kita harus pula mengantarkan mereka ke abad ke-20 dalam pengertian politik - dan ini hahya bisa dicapai lewat perubahan saksama perangai pemerintah (Vietnam) yang sekarang atau pemerintah mana pun. Bundy sebaliknya berkeras. "Kita tak setuju menjadikan landasan kebijaksanaan AS bahwa kita tak punya kekuatan untuk menunda atau untuk tidak menganjurkan kudeta." Namun, sekali lagi, kekhawatiran pokok di Gedung Putih lebih bersifat pragmatis dan bukan etis. Yang jadi soal bukan apakah AS harus terlibat dalam kudeta. Melainkan apakah kudeta itu bisa berhasil. Tanpa mempertimbangkan gawatnya persoalan, Kennedy akhirnya menyerahkan penilaian kepada Lodge. Katanya, "Jika Anda berkesimpulan tak ada kemungkinan besar akan berhasil, Anda harus menyampaikan keragu-raguan ini kepada para jenderal secara cermat untuk membujuk mereka agar menghentikannya, setidak-tidaknya sampai ada peluang yang lebih baik. Tapi pada saat kudeta oleh pimpinan yang bertanggung jawab telah dimulai, jadi kepentingan pemerintah AS-lah agar ia sukses." Sudah jelas. Lodge tentu saja sudah sejak larna menentukan sikapnya. Kini terserahlah kepada para pemimpin pemberontak untuk memelihara kepercayaannya kepada mereka - sembari Lodge sendiri, dan para pembantunya, saat itu secara samar-samar menyadari adanya gerakan kacau-balau di kalangan berbagai kelompok pembangkang. Yang sulit ialah mendapatkan dukungan Jenderal Ton That Dinh, komandan militer Saigon. Tanpa kerja samanya, kudeta itu mustahil. Dalam usia sangat muda untuk jabatan jenderal Vietnam Selatan - baru 37 tahun ketika itu - Dinh cepat menanjak. Keberaniannya sebagai prajurit sesuai dengan ambisinya, kesombongannya, dan pembawaannya yang lebih memperturutkan kata hati daripada pikiran. Dengan lihai Jenderal Don memanfaatkan sifat-sifatnya ini untuk menyeretnya ke dalam komplotan. Memang, tak ada faktor yang lebih penting dalam rencana kudeta itu daripada pengubahan sikap Dinh. Dan ini sebenarnya mendramatisir bakatnya yang luar biasa untuk bermuka dua. Don melihat kesempatan menjerat Dinh dengan ego Dinh sendiri yang sangat besar itu. Para perwira senior Vietnam Selatan punya kebiasaan minumminum dan main perempuan bersama-sama, dan Don mengatur serangkaian acara pelesiran untuk Dinh, awal September. Bermalam-malam, setelah mengisi perut di restoran mewah dan memuaskan nafsu dengan para pelacur setempat, mereka ngobrol tak habis-habisnya sambil minum Scotch dan brendi Prancis. Don meyakinkan Dinh, ia sebenarnya seorang pahlawan nasional yang patut mendapat kekuasaan politik. Sanjungan ini berhasil. Dinh kini membayangkan dirinya sebagai anggota kabinet, dan juru ramal langganannya mengipasinya lagi dengan meramalkan peningkatan kedudukannya dalam waktu dekat. Tentu Dinh tidak tahu bahwa Don sudah menyodok si dukun. Karena egonya makin menggembung, Dinh lalu minta kepada Diem untuk mengangkatnya sebagai menteri dalam negeri. Dan, seperti yang diduga Don, Dlem bukan hanya menolak permintaannya dan menganggapnya gila-gilaan. Tapi mencaci-maki Dinh karena usulnya itu. Dinh berlalu dengan rasa dongkol, dan Don tampil menggunakan kesempatannya. Dibujuknya Dinh supaya ikut gerakan mereka, dengan janji jabatan menteri dalam negeri dalam pemerintahan mendatang. Meski begitu, para perwira pemberontak tetap meragukan Dinh. Mereka memperhitungkan ia akan bekerja sama hanya selama kudeta itu mengandung kemungkinan berhasil. Sebagai tindakan berjaga-jaga, mereka lalu menyiapkan satu regu tembak untuk membereskannya jika ia bertingkah nanti. Sementara itu, para jenderal itu harus juga "memegang" Huynh Van Cao, komandan Delta Mekong dan orang Diem yang setia. Tiga divisi pasukannya, yang ditempatkan dekat Saigon, bukan saja bisa memperkuat kedudukan Diem, tapi juga mengubah Saigon jadi medan pertumpahan darah. Untuk mencegah kemungkinan itu Don dan Dinh mengatur muslihat: wakil Dinh, Kolonel Nguyen Huu Co, akan memimpin divisi yang ditempatkan paling dekat Saigon - di Mytho, sebuah kota di Sungai Mekong. Kolonel Co akan menggunakan pasukan ini untuk mencegah pasukan Jenderal Cao masuk ke Saigon menyelamatkan Diem. Tetapi, sial, rencana ini sampai ke telinga Nhu lewat seorang mata-matanya, dan terjadilah hal yang sangat menentukan. Nhu memanggil Jenderal Dinh ke kantornya di istana presiden, dan membeberkan apa yang diketahuinya tentang penugasan Kolonel Co itu. Dinh, yang tahu ini untuk mengujinya, bersandiwara sebaik-baiknya: Pura-pura kaget akan pembelotan wakilnya, ia berteriak berang: "Si pengkhianat kecil! Akan saya penggal kepalanya!" Tindakan ini ternyata meyakinkan Nhu akan kesetiaan Dinh. Karena itu ia bercerita tentang rencana para jenderal untuk menggulingkan dia dan saudaranya. Tapi ia tidak akan menangkap mereka, katanya. Satu rencana lain telah disusunnya - dan tampaknya dengan persetujuan Diem. Ia akan lebih dulu melancarkan "kudeta", menundukkan para pemberontak, sambil memperkuat ikatan Amerika dengan rezimnya. "Kudeta", kata Nhu kepada Dinh, "seperti telur harus dipecahkan lebih dulu sebelum pecah sendiri." Kesalahan besar intrik Nhu yang ganjil itu adalah ia percaya kepada Dinh - yang segera menyampaikan rencana itu secara terperinci kepada Don dan para jenderal pemberontak lain. Toh, sejauh itu, mereka tetap tak mempercayai Dinh - khawatir ia mengkhianati mereka seperti ia mengkhianati Nhu. Walau demikian mereka berusaha mengejar waktu. Jika Nhu merencanakan mendahului mereka, maka mereka harus mendahului "pendahuluan" Nhu itu. Semula mereka sudah menetapkan kudeta itu tanggal 26 Oktober. Kemudian menundanya sampai 31 Oktober, karena kesembronoan Harkins. Lalu, karena diperingatkan seorang dukun, mereka mengubahnya lagi ke saat yang dianggap lebih menguntungkan: pukul 13.30, 1 November. * * * Pada pukul 10.00, pagi 1 November, Duta Besar Lodge mengadakan kunjungan kehormatan kepada Diem. Ia didampingi Laks,amana Harry E. Felt, komandan pasukan AS di Psifik. Acara itu sama saja dengan yang lainnya: mereka duduk di kursi tamu berlapis kain brokat, di salon istana yang penuh hiasan, dan dengan jemu mendengarkan Diem yang terus bicara tanpa memberi kesempatan kepada tamunya. Diem menyebut desas-desus kudeta terhadapnya, tapi ia tampaknya tak gentar - mungkin karena mengharapkan kudeta tandingan Nhu akan berhasil. Barangkali juga ia berharap rencana musykil Nhu akan mengembalikannya ke posisi kesayangan Amerika. Ketika pembicaraan dua jam itu berakhir, ia menyarankan kepada Lodge untuk segera bertemu kembali guna menyelesaikan perbedaan-perbedaan mereka. Para jenderal dan perwira senior lainnya, tak semua dari mereka terlibat dalam rencana kudeta, sejak tengah hari berkumpul di klub mereka di Markas Besar Staf dekat lapangan terbang Saigon. Di antara mereka terdapat Kolonel Tung, komandan pasukan khusus, yang diberitahu agar melapor pada pertemuan yang digambarkan sebagai rutin. Conein juga dipanggil ke Markas Besar. Mengenakan pakaian seragam, pistol magnum 375 bergagang gading terselip di pinggangnya, Conein membawa tas berisi 3 juta piaster (mata uang Vietnam, dan nilainya sama dengan US$ 40.000). Uang itu disediakan kedutaan AS untuk diberikan kepada para pemberontak seandainya mereka perlu dana. Para jenderal pemberontak sebaliknya melengkapi Conein dengan dua telepon, satu dihubungkan ke kantor CIA dan satu lagi ke vilanya yang sudah dijaga satu regu pasukan Baret Hijau Amerika - untuk melindungi anak dan istrinya. Dalam jipnya terdapat pula radio. Ketika ia naik mobil ke Markas Besar, ia menyampaikan kepada atasannya lewat radio sandi yang sudah disiapkan sebelumnya: "Sembilan, sembilan, sembilan, sembilan, sembilan, sembilan." Artinya: kudeta dimulai. Pukul 13.30 itu satuan-satuan pemberontak mulai bergerak di Saigon. Sebagian mengepung istana Diem dan asrama pengawalnya, yang lain segera merebut markas besar polisi dan stasiun radio. Di sini seorang perwira pemberontak segera menyiarkan rekaman yang menyatakan dimulainya "revolusi". Jenderal Don mengumumkan kepada para perwira yang berkumpul di Markas Besar Staf bahwa suatu dewan militer revolusioner merebut kekuasaan, dan mengajak mereka bersumpah setia kepada badan baru itu. Banyak yang tidak tahu tentang kudeta itu kini hampir semuanya menyambut dengan tepuk tangan. Kecuali Kolonel Tung, yang nasibnya sudah ditentukan lebih dulu. Pengawal Minh, Kapten Nguyen Van Nhung, membawanya ke ruangan lain di gedung itu. Abang Tung, Mayor Le Quang Trieu, ditangkap belakangan hari itu pula. Malam harinya Kapten Nhung membawa mereka ke sebuah tempat di luar pekarangan markas besar, dan menembak mereka. Salah seorang perwira yang hadir di halaman itu kemudian menceritakan bagaimana Tung menyumpah-serapah ketika dibawa Nhung pergi. Ia mengutuk para jenderal yang mengkhianati Diem dan berteriak, "Ingatlah siapa yang memberimu bintang-bintang itu!" Pada saat itu Diem dan Nhu berlindung di ruang bawah tanah istana yang dilengkapi air conditioner dan nyaman. Tempat itu sudah menyelamatkan mereka dari beberapa ancaman sebelumnya. Reaksi mereka pertama-tama terhadap kejadian di luar adalah tenang-tenang saja. Mereka yakin, keributan itu adalah gerakan Jenderal Dinh mendahului kudeta untuk kepentingan mereka. Tetapi dalam waktu kurang lebih satu jam, mereka mulai menyadari ada sesuatu yang tak beres. Mereka tak bisa menghubungi Jenderal Dinh! Dan sambil mengingkari kemungkinan ia berkhianat, mereka menduga Dinh mungkin sudah tertangkap oleh para pemberontak. Tetapi mereka menolak seruan para jenderal agar menyerah. Sekitar pukul 15.00, Diem mencoba bicara dengan para pemberontak. Ia menelepon Jenderal Don. Diem: Kenapa kita tak bertemu saja dan membicarakannya bersama-sama? Kita bisa membicarakan kekuatan dan kelemahan pemerintah, dan mencari cara perbaikannya. Don: Mungkin sudah terlambat. Diem: Tak ada yang terlambat. Dengan ini saya mengundang Anda ke istana untuk membahas persoalan bersama-sama, dan menemukan pemecahan yang dapat diterima kedua pihak. Don: Baiklah, saya tanya dulu pendapat yang lain. Para jenderal lain, yang tak bisa melupakan kepandaian Diem membujuk orang, menampik tawaran itu. Hanya mereka itu, yang sebelumnya sudah sepakat untuk menyelamatkan jiwa Diem, tidak menyuruh mengarahkan tembakan meriam mereka ke istana. Sebaliknya mereka menembaki asrama pengawal Presiden di dekatnya. Pukul 16.30 Diem menelepon Lodge. Ia masih saja terlalu angkuh untuk memohon pertolongan Amerika. Diem: Beberapa kesatuan memberontak, dan saya ingin tahu sikap Amerika Serikat. Lodge: Saya merasa tak mendapat informasi cukup untuk menjawab pertanyaan Anda. Saya mendengar tembakan-tembakan, tapi tidak mengetahui semua keadaan. Lagi pula, sekarang ini pukul 04.30 di Washington, dan tak mungkin untuk mengetahui sikap pemerintah AS. Diem: Tapi Anda tentu punya gambaran umum. Betapapun, saya ini kepala negara. Saya sudah berusaha melakukan tugas saya. Saya kini mau melakukan apa yang diharuskan oleh tugas dan demi kebaikan. Yang terpenting, saya percaya pada tugas. Lodge: Anda tentu saja telah melaksanakan tugas Anda. Seperti saya katakan kepada Anda tadi pagi, saya menghargai keberanian Anda dan sumbangan Anda yang besar untuk negeri Anda. Tak seorang dapat meniadakan jasa Anda. Kini saya khawatir akan keselamatan fisik Anda. Saya mendapat laporan, mereka yang memimpin kegiatan sekarang ini menawarkan kepada Anda untuk pergi ke luar negeri dengan selamat jika Anda mengundurkan diri. Apakah Anda dengar tentang hal ini? Diem: Tidak. (Kemudian, setelah berhenti sebentar): Anda punya nomor telepon saya. Lodge: Ya. Jika ada yang bisa saya lakukan untuk keselamatan fisik Anda, harap telepon saya. Diem: Saya berusaha memulihkan ketertiban. Tak lama sesudah itu para jenderal sendiri menelepon Diem, berjanji mengizinkan dia dan Nhu meninggalkan negeri itu tanpa diapa-apakan jika mereka menyerah. Kalau tidak, mereka memperingatkan, mereka akan menyerbu Istana. Tetapi Diem tetap berkepala batu. Dan ini diperkuat lagi oleh Nhu. Mereka tak mau menyerah. Dengan menggunakan pemancar pribadinya, Diem berhubungan dengan para gubernur yang diangkatnya untuk minta bantuan. Ia bahkan minta bantuan kepada organisasi pemuda dan wanita yang disponsorinya. Tak ada yang menjawab. Menyadari bahwa mereka tak bisa bertahan lama, Diem dan Nhu akhirnya berusaha menyelamatkan diri. Sekitar pukul 20.00, didampingi dua pembantu, mereka menyelinap keluar Istana menuju jalan terdekat. Di sana mereka masuk ke dalam Land Rover yang sudah menunggu, dan pergi ke Cholon, perkampungan Cina Saigon, lalu pindah ke sedan hitam Citroen. Jam malam sudah dinyatakan berlaku, dan mobil mereka jalan berkelak-kelok di kota yang sepi, menghindar dari pasukan patroli. Akhirnya mereka berhenti di sebuah vila besar milik seorang saudagar Cina kaya, Ma Tuyen, yang selama bertahun-tahun membiayai jaringan politik gelap mereka. Para agen Nhu telah melengkapi rumah Ma untuk keadaan darurat seperti ini. Salah satu teleponnya dihubungkan dengan sistem komunikasi Istana, sehingga para jenderal pemberontak tidak tahu bahwa Dien sudah lolos dari kepungan mereka ketika mereka kemudian berbicara dengannya malam itu. Para jenderal juga tidak menyadari, ketika mengeluarkan perintah menyerbu Istana pada pukul 09.00, bahwa mereka akan menyerbu gedung yang kosong. Celakanya, para pengawal Presiden pun masih mengira bahwa mereka melindungi Diem. Mereka ini tewas sia-sia. Para pemberontak memulai serangan dengan berondongan tembakan meriam, tapi tak berhasil menghancurkan batalyon pengawal Presiden. Sementara tembak-menembak berlangsung, Diem dan Nhu dengan tabah meneruskan upayanya menghubungi Jenderal Dinh yang masih mereka anggap setia. Sampai saat tengah malam, ketika untuk pertama kalinya mereka berhasil membuat kontak. Dikelilingi para jenderal lain, ketika ia mengangkat telepon di Markas Besar Staf, Dinh tak bisa lagi menyembunyikan keterlibatannya dalam gerakan. Ia mencaci-maki Diem dengan kata-kata kotor dalam bahasa Vietnam: "Saya sudah berkali-kali menyelamatkan, maknyadirodok, tapi tidak kali ini, anak haram jadah. Kamu tai, diancuk! Kamu sudah tamat." Ternyata belum. Pada-pukul 03.00, 2 November para jenderal menerima telepon salah seorang dari kedua ajudan yang meninggalkan Istana bersama Diem dan Nhu. Memutuskan untuk berpihak kepada yang menang, ajudan ini membisikkan bahwa kedua bersaudara itu ada di Cholon. Tapi ia tak bersedia mengatakan di mana persisnya. Para jenderal, meski ragu-ragu untuk mempercayai laporan itu, mengirimkan regu pencari ke permukiman orang Cina - suatu daerah yang ruwet, yang bisa jadi tempat berlindung pelarian selama berminggu-minggu, kecuali ia dikhianati. Beberapa jam kemudian, pasukan pemberontak menduduki Istana dan merampoki isinya termasuk pakaian mewah Madame Nhu dan wiski milik Nhu. Di kamar Diem berserakan tumpukan majalah Amerika. Di meja Nhu, anehnya, terdapat beberapa buah buku yang sama, novel tegang berjudul Shoot to Kill (Menembak untuk Membunuh). Seorang ajudan memberitahukan, kedua bersaudara itu sudah pergi. Pukul 06.00 Diem menelepon Minh, suaranya serak karena lelah. Ia menyatakan mau mengundurkan diri hanya dengan syarat jika kekuasaan diserahkan kepada Wakil Presiden atau Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, sesuai dengan Konstitusi. Para jenderal, yang buru-buru berunding di tengah botol bir kosong dan puntung rokok yang berserakan di ruang markas besar itu, menolak. Mereka khawatir ini hanya siasat Diem. Pukul 06.30, ketika Diem menelepon kembali, Don menyampaikan penolakan itu. Ia menyarankan, sebaiknya Diem dan Nhu pergi saja ke luar negeri. Diem menghentikan pembicaraan, tetapi beberapa menit kemudian menelepon Don lagi. Dikatakannya, ia dan Nhu bisa dijemput di Saint Francis Xavier, gereja Prancis di Cholon. Jenderal Don cemas. Ia telah memberi jaminan atas keselamatan Diem. Kini ia harus memenuhi janjinya itu. Pemerintahan Kennedy, yang takut akan kemungkinan propaganda buruk di AS, tidak mau memberi suaka kepada Diem dan Nhu. Menemukan tempat suaka lain akan memakan waktu untuk penjajakan diplomatik. Jadi, sekarang para jenderal harus menghindarkan kedua bersaudara itu dari ancaman bahaya sampai mereka bisa dikeluarkan dari negeri itu. Prioritas mereka yang pertama: mengawal kedua Ngo itu dari Cholon ke Markas Besar Staf di Saigon. Mereka mempercayakan tugas itu kepada Jenderal Mai Hun Xuan. Xuan ini punya reputasi jelek. Ia pernah bekerja sebagai polisi rahasia Prancis, kemudian bekerja lagi untuk Diem dalam jabatan yang sama. Para jenderal melengkapi Xuan dengan sebuah mobil lapis baja M-113 pengangkut personil dan empat jip berisi beberapa serdadu - di antaranya perwira kavaleri, Mayor Duong Huu Nghia, dan pengawal pribadi Minh, Kapten Nhung, yang malam sebelumnya menembak mati Tung Bersaudara. Sebelum mereka meninggalkan Markas Besar, Minh memberi tanda kepada Nhung dengan mengangkat dua jari tangan kanannya - isyarat untuk membunuh. Di gereja, Diem dan Nhu dengan ramah menyambut kedatangan "penyelamat" mereka. Mereka berjabat tangan dengan Jenderal Xuan. Diem tampak kecewa, karena yang dikirimkan bukan mobil limusin mewah, sesuai dengan kedudukannya. Tapi Xuan menjelaskan, sengaja dipilih kendaraan lapis baja demi melindungi mereka dari "kaum ekstremis". Tanpa membantah, Diem dan Nhu masuk ke mobil. Mengenai apa yang terjadi selanjutnya terdapat berbagai versi. Tapi sebagian besar faktanya cocok. Konvoi itu menuju ke arah Saigon, dan berhenti di sebuah pintu kereta api. Di sanalah, berdasarkan laporan-laporan, pembunuhan itu terjadi. Nghia menembak langsung kedua bersaudara itu dari menara tank dengan senapan otomatis, sementara Nung menghujani mereka dengan peluru, kemudian berulang kall menikam tubuh mereka dengan pisau. Don dan para perwira lainnya sangat terkejut ketika kedua mayat tiha di Markas Besar. Don buru-buru menemui Minh di kamar kerjanya, minta penjelasan. Minh mencoba mengelak, sementara Don terus mendesak. Pada saat itu pintu terbuka. Xuan masuk. Tanpa menyadari Don ada di situ, ia berdiri dalam sikap sempurna, dan melapor kepada Minh: "Tugas selesai." Laporan kematian Diem dengan cepat sampai di Washington. Kennedy terlompat dari tempat duduknya - dan, seperti diceritakan Taylor kemudian, "buru-buru keluar ruangan dengan wajah kaget dan cemas." Segera sesudah itu Gedung Putih minta informasi lebih lanjut dari Lodge, yang segera memerintahkan Conein menemui Minh. Conein yang sudah sempat pulang ke rumah untuk tidur, kembali ke Markas Besar - bukan untuk mengumpulkan informasi, tapi mencaci-maki Minh karena tak bisa memberikan dalih yang kuat. Minh: Dia bunuh diri. Conein: Ini memang urusan Anda. Tapi sebagai orang Katolik, Anda harus mendengarkan saya. Jika pastor mengadakan misa malam ini untuk jenazah Diem, semua orang akan tahu bahwa dia tidak bunuh diri. * * * Pembunuhan Kennedy, yang terjadi hanya tiga minggu sesudah itu, cermat diselidiki oleh berbagai komisi resmi. Tapi tentang kematian Diem, baik pemerintah Amerika maupun pemerintah Vietnam Selatan tak pernah mengusahakan penyelidikan secara terbuka. Pada saat itu, Saigon menyambut baik kejatuhannya. Massa rakyat menghancurkan potret Diem dan slogan-slogannya. Para tahanan politik, banyak yang tubuhnya penuh bekas luka dan siksaan, mulai keluar dari penjara. Dengan perasaan gembira dan tanpa sesal, Lodge mengundang para jenderal pemberontak ke Kedutaan. Dia mengucapkan selamat atas kemenangan mereka, yang juga kemenangannya. Beberapa hari kemudian, ia mengirim kawat kepada Kennedy: "Prospek yang ada kini ialah perang (Vietnam) yang lebih singkat." Tapi betulkah?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini