MUSIK adalah milik massa. Dan musik rock, "itulah musik sepenuh perasaan," kata Mick Box si pemimpin Uriah Heep. Si "hidung besar", demikian ia dipanggil oleh kawan-kawannya, tampaknya puas dengan dua malam pertunjukan grupnya di Bandung, Selasa dan Rabu pekan lalu. Pada malam pertama sekitar 15.000 penonton berteriak histeris bersama Penyanyi Peter Goalby. Pada malam kedua, sekitar 10.000 pengunjung ikut berjingkrak. Selama 90 menit penonton diguyur pekikan Goalby dan dentuman drum dan lengkingan gitar dan dengungan keyboard. Dari hit lama The Wizard, yang agak merayu dibanding lagu rock yang lain, hingga gemuruhnya Easy Living atau Stay on Top, Uriah Heep tcrus mencoba memancing emosi pcnonton di Stadion Siliwangi, Bandung. Tapi dari keseluruhan 24 lagu, yang mendapat sambutan penonton terutama lagu lama. The Other Side of Midnite, baru saja disebutkan judulnya oleh Goalby, tepuk tangan langsung pecah. Nomor ini dibuka dengan lengkingan gitar Box, ditimpa dentuman drum Lec Kcrslakc, dan setelah bas Boldcr memberikan sentuhan, bergabunglah dengung kilboard Sinclair. Lalu, giliran Goalby berkaok-kaok. Juga July Morning dan Gipsy - dua lagu lama - disambut jeritan-jeritan dan tepuk tangan ramai. Hanya Lonely Nights, di antara yang baru dari Uriah Heep, yang menghanyutkan penonton. Bahkan untuk lagu ini beberapa pengunjung ikut bersenandung mengikuti Goalby: Oh, Sayang, bagaimana tak bisa tahan di malam-malam yang sepi . . ." Ah, ya, menurut Goalby, lagu yang iramanya dipimpin pukulan drum Kerslake ini konon dinyanyikan tak kurang dari 60 juta orang. Percaya? Tapi lagu-lagu baru Uriah Heep menurut Musikus Harry Roesli memang "melodius, dan liriknya imajinatif". Ketika Uriah Heep lahir di panggung London, 1969, banyak yang mencibir. Di tengah dunia musik yang dirajai The Beatles, kemudian grup rock Led Zeppelin, kok si Mick Box bersama empat temannya berani nongol. Waktu itu grup-grup rock yang muncul, bagaimanapun, kalau tidak berkiblat pada si John Lennon dan kawan-kawannya, ya, kepada Led Zeppelin. Dan Uriah Heep (menurut Box, nama ini diambilkan dari nama salah satu tokoh dalam cerita anak-anak Charles Dickens) ikut pula mengekor, apa boleh buat. Sejibun kritik pun dilemparkan ketika album pertamanya, Very 'eavy . . . Very 'umble muncul 1970. "Jika grup ini nanti punya nama, saya akan bunuh diri," tulis seorang kritikus Amerika. Tak jelas adakah sang kritikus jadi bunuh diri. Yang pasti, dengan pelan Uriah Heep merangkak. Album keduanya, Salisbury, boleh dibilang sukses. Juga di Indonesia kaset rekaman Salisbury termasuk larls, sekitar 1972. Dua lagu dalam rekaman ini, The Park dan Lady in Black, memang punya warna khas. Mengalir tenang dengan alunan keyboards yang ditingkah sentuhan pelan pada drum dan permainan bas pada saat penyanyi diam - dekat dengan warna country. Munculnya rekaman berikutnya, Uriah Heep Live, 1973, di luar dugaan menyebabkan grup Ini langsung mendapat pengakuan: album piringan emas diperolehnya dari AS. Maka, pada pertengahan 1970-an itu, si pengekor Led Zeppclin punya cap sendiri sudah - meski masih di bawah grup Genesis atau Queen, apalagi grup raja rock Rolling Stones dengan Mick Jagger-nya. Cap itu dicapai, menurut para pengamat musik di Eropa, berkat paduan Mick Box dan pemegang keyboards (waktu itu) Ken Hensley. Tapi warna lama itu memang tak muncul di Bandung. Grup ini pecah setelah membuat rekaman High and Mighty, 1976. Tinggal si Box (yang memang pendiri) bersama pemukul drum Lee Kerslake. Toh Uriah Heep tetap bertahan dengan orang-orang baru, bahkan terus membuat rekaman dan tetap tak tenggelam. Total, kini ada 16 album dengan omset keseluruhan 30 juta kopi. Maka, Salisbury yang populer itu, misalnya, dengan keyboards Hensley yang monoton yang membentuk warna lagu itu, tak dimunculkan. Bukannya Sinclair tak bisa seperti Henslcy, tapi si Box tahu diri untuk tak nebeng kebolehan bekas partnernya. Dan Box memang orang yang, seperti salah satu judul lagunya, Easy Living, gampangan. Yang penting bagi dia "menyenangkan penonton", titik. Baginya musik rock yang "sepenuh perasaan" itu hanya berlaku bagi diri sendiri. Bila ia sudah di panggung, yang terpenting adalah menghibur penonton yang sudah membeli karcis (di Bandung harganya antara Rp 3.000 dan Rp 10.000). Maka, itulah, meski kontrak main cuma satu jam tiap malam, prakteknya Uriah Heep tampil dua kali sekitar 90 menit. Box, yang main musik sejak 14 tahun tampaknya memang rendah hati. Si "hidung besar" ini cukup tahu menilai kekuatan sendiri. Misalnya, ia sangat mengakui Rolling Stones sebagai grup yang punya ciri khas. "Sejak dulu tak satu pun grup rock bisa menyamai mereka," katanya sehabis pertunjkan malam kedua di Bandung itu. Agaknya, mereka punya resep sendiri untuk bertahan, meski tak dikatakan terang-terangan. Yakni, Uriah Heep sengaja menghindarkan grupnya dari ketergantungan pada seorang atau beberapa bintang. Kensley, pemegang keyboards-nya dulu, memang sukses. Cuma popularitas musikus satu itu, yang memang sempat bikin album solo, tak sampai membayangi grup tempat dia bergabung, apalagi berdiri di hadapannya. Dengan cara seperti itulah agaknya Box mengelola kelompoknya. Akibatnya, memang, boleh dikata bahwa Uriah Heep mencuat tidak tinggi, tapi dilupakan juga tidak. Tapi Box mungkin juga sedang menunggu kesempatan untuk mencuat. Coba dengarkan sebuah lagunya yang kalem, tentang seorang yang bijaksana, Wise Man. Selalulah terjaga, tunggu kesempatan untukmu/ Itulah jalan mencapai cita-cita/ Jika kamu ingin meraih mimpimu/ Pastikanlah, bahwa kamu tak terlalu cepat terbangun. Apa komentarnya? Ia hanya tertawa Pokoknya, "saya akan main terus sampai tua, meski nanti cuma 50 pendengar mengerumuni saya," kata suami yang beristrikan seorang perempuan Indian dan punya dua rumah - satu di London, satu di New Mexico - itu. Dan, meski Wise Man-nya pun bertutur tentang "banyak sekali jalan menuju cita-cita," Box agaknya cuma melihat satu jalan saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini