Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perjalanan Voice of Baceprot hingga manggung di Jerman bersama Limp Bizkit.
Bagaimana mereka mendobrak tabu dengan mengusung musik metal.
Bermula dari pertemanan di madrasah tsanawiyah Garut.
BERTUBI-TUBI pesan masuk ke akun Instagram tiga personel band metal Voice of Baceprot, Firdda Kurnia, 21 tahun, Widi Rahmawati (20), dan Euis Siti Aisah (21), pada 26 Juni lalu. Hampir semua pesan dari kawan dan penggemar itu membombardir mereka dengan ucapan selamat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak sedikit pula yang menyampaikan kekaguman via panggilan telepon. Salah satunya Cep Ersa Eka Susila Satia. Guru bimbingan konseling Madrasah Tsanawiyah Baqiyatussolihat itu serta-merta "mengumpati" ketiga mantan anak didiknya tersebut dengan campuran bahasa Sunda dan Inggris serta sekelumit kosakata gaul. “Anjrit, edun, lah, maraneh! Der, lah, adu-gabrutkeun, girls! (Gila, kalian! Ayo, kita ramaikan!)," ujar Cep Ersa, yang akrab disapa Abah Ersa, kepada Tempo, Sabtu, 21 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hujan pujian itu menyusul kabar yang diumumkan panitia Wacken Open Air di akun media sosial mereka. Pada poster yang diunggah Wacken, terpampang sederet nama pengisi perhelatan akbar untuk para metalhead itu. Di antaranya Judas Priest, Slipknot, As I Lay Dying, Limp Bizkit, dan Voice of Baceprot. Mereka bakal berpentas bareng dalam festival tahunan yang rencananya dihelat pada 4-6 Agustus 2022 di Wacken, Schleswig-Holstein, Jerman. Bagi para penggila musik cadas, Wacken Open Air adalah momen sakral. "Haji"-nya pencinta ataupun pemain musik rock dan metal.
Voice of Baceprot usai penapilan mereka di Ancol, Jakarta, September 2019. @guguhteguh
Sejak Wacken Open Air digelar 31 tahun lalu, baru segelintir musikus Indonesia yang manggung dalam perhelatan akbar musik metal itu. Voice of Baceprot alias VoB menjadi yang kelima, menyusul Burgerkill, Beside, Down for Life, dan Jasad. “Manggung di Wacken penting banget buat kami karena ini kan mimpi lama, dan pastinya jadi idaman buat musikus metal mana pun. Harapannya, Wacken membuka jalan bagi VoB untuk makin dikenal dan diterima lebih banyak kalangan,” kata Widi, pencabik bas Voice of Baceprot dalam wawancara via Zoom dengan Tempo, 5 Agustus lalu.
Walau sudah dipastikan tampil di Wacken, VoB belum mendapat informasi tentang durasi pentas mereka. Namun, menurut Marsya—panggilan akrab Firdda Kurnia—mereka bakal membawakan nomor orisinal VoB, seperti “School Revolution” dan “God Allow Me (Please) to Play Music” yang baru dirilis resmi pada 17 Agustus lalu. Dua lagu itu sangat mewakili warna sosiokultural yang melingkari ketiga personel grup tersebut baik dulu saat masih tinggal di Garut maupun kini ketika sudah berdomisili di Ibu Kota. Seperti penggalan lirik “God Allow Me (Please) to Play Music”:
I'm not the criminal, I'm not the enemy
I just wanna sing a song to show my soul
I'm not the corruptor, I'm not the enemy
I just wanna sing a song to show my soul
God, allow me please to play music…
Lirik itu selaras dengan imaji akan VoB yang sulit dilepaskan dari atribusi gender dan agama. Musikalitas VoB, sejak awal band ini terbentuk, dihantui sejumlah stigma negatif, baik soal pilihan perempuan untuk bermusik maupun relasi hijab dengan citra musik metal yang dianggap "musik setan". Hijab sebagai simbol ketaatan kerap dibenturkan dengan musik metal yang merepresentasikan perlawanan. Walau demikian, justru kontradiksi inilah yang membuat VoB mulai membubung dan menemukan bentuknya.
Voice of Baceprot saat tampil di Garut, pada 2017. REUTERS
VoB mulai diperhitungkan metalhead sejak viral empat tahun lalu. Pada tahun yang sama, mereka mengisi acara musik Synchronize Fest dan Ubud Writers & Readers Festival 2017. Di tengah banjir pujian terhadap kualitas bermusik VoB, tersempil banyak pertanyaan yang mengaitkan hijab yang dikenakan personel band tersebut dengan pilihan genre mereka. Hal ini disadari sejak awal oleh VoB. "Selama ini banyak yang menuduh cewek berhijab main musik karena ingin cari kontroversi. Tapi kami memilih mengabaikan pendapat semacam itu dan berfokus membuktikan diri," ujar Marsya. "Kritik justru memprovokasi kami untuk melawan, bahkan lebih blakblakan."
Pengamat musik cadas, Yuka Dian Narendra, mengatakan, walau bisa jadi banyak musikus punya kesempatan sama untuk masuk ke ranah metal, tak bisa dimungkiri VoB memiliki atribusi yang membuat mereka mendapat atensi lebih, termasuk dari dunia Barat. "Bahwa mereka band yang personelnya perempuan semua, dan datang dari Asia Tenggara, tentu ini menjadi perhatian khusus. Walau memang ada faktor lain yang juga mendukung tampilnya VoB di Wacken, yakni kinerja manajemen yang baik," tutur Yuka melalui sambungan telepon, Sabtu, 21 Agustus lalu.
Meski sudah ada band cadas lain yang semua anggotanya perempuan, seperti Annabelle Thrash (Bandung) dan Geger (Jakarta), VoB dianggap Yuka membawa dimensi musik dan sosiokultural berbeda. Hal itu ditambah lirik lagu yang menjadi faktor kuat dalam melejitnya VoB. Lirik itu tak hanya membuka kembali pembahasan stereotipifikasi gender, tapi juga pilihan perempuan bermain musik metal yang kerap dianggap kurang lumrah.
“God Allow Me (Please) to Play Music” pun sejatinya tak hanya berkubang dalam perkara pilihan bermusik, tapi lebih jauh: menyoal problem remaja di Indonesia yang tak bebas menentukan jalan hidupnya. "VoB bicara dari perspektif yang universal, bahwa anak muda seperti mereka kebanyakan sulit menjadi diri sendiri," ujar Yuka. Hal ini bagus karena mereka dapat menyerap apa yang terjadi di sekeliling mereka dan mematangkannya dalam lirik yang menarik.
Personil band Voice of Baceprot saat bersepeda di kompleks Gelora Bung Karno, Jakarta, pada akhir 2020. Rian Kartini
Lirik yang tajam memang menjadi kekhasan VoB. Bagi mereka sendiri, “God Allow Me (Please) to Play Music” menjadi bentuk kerinduan terhadap toleransi. Marsya menjelaskan, lagu ini berakar dari respons Abah Ersa terhadap curahan isi hati mereka. "Saat kami cerita kalau ingin melawan pendapat orang, Abah bertanya, apakah kami masih percaya Tuhan? Kalau percaya, ya sudah, minta tolong langsung saja ke Tuhan," ucapnya. "Kami ingin mereka yang mendengar lagu ini bisa lebih toleran pada orang lain."
•••
PERJALANAN Voice of Baceprot berawal dari Ciudian, desa di pelosok Kecamatan Singajaya, Garut, Jawa Barat, empat-lima jam perjalanan dari Bandung, cukup jauh dari ingar-bingar kota besar. Awalnya, mereka adalah murid Madrasah Tsanawiyah Baqiyatussolihat yang senang menulis di majalah dinding sekolah. Namun ketiganya pernah membuat kegaduhan hingga akhirnya berurusan dengan guru bimbingan konseling, Cep Ersa Eka Susila Satia. Pendekatan ala Abah Ersa rupanya nyeleneh dibanding cara guru kebanyakan. Ia berinisiatif mengajak murid-murid bermasalah bermain teater.
Alasan Ersa, melalui teaterlah ia merasa leluasa mengajak anak didiknya mengenali dan mengadili (masalah) diri tanpa merasa dinasihati, digurui, ataupun diintimidasi dengan doktrin dan agama. "Saya juga merasa seni peran akrab dengan jiwa narsisistik remaja milenial seperti mereka," tuturnya.
Voice of Baceprot. Anton Ismael
Namun ternyata tak semua murid menyukai seni peran. Marsya, Widi, Siti, dan sejumlah murid lain tak tertarik mendalaminya. Terang-terangan Marsya menyebut aktingnya jelek. Widi dan Siti pun mengaku tak bisa berakting. Walhasil, Ersa mengeplot 15 "aktor gagal" di bawah naungannya sebagai pemain musik dalam drama musikal yang mereka persiapkan. Proses ini pada akhirnya menjadi semacam seleksi alam: dari 15 siswa, lebih dari separuhnya tak mendapat restu dari orang tua mereka untuk bermain musik.
Marsya, Siti, dan Widi sejatinya bernasib sama. "Orang tua enggak mengizinkan, tapi kami tetap maksa," ujar Marsya. Walhasil, mereka pun kucing-kucingan dengan orang tua saat hendak berlatih serampung jam sekolah. Muncul persoalan saat ketiganya kadang terpaksa menjinjing alat musik untuk berlatih di rumah. Aksi itu sering berbuntut omelan dari orang tua, dan tak jarang menjadi sasaran gibah tetangga. Ucapan usil dan godaan dengan kalimat seksis biasa ditelan personel VoB sejak remaja. "Tapi kami sejak awal belajar menulikan diri," ujar Marsya, lalu tertawa.
Ersa-lah yang membuatkan nama Voice of Baceprot untuk ketiga muridnya itu. Dalam bahasa Sunda, baceprot berarti “berisik”, tapi juga bisa diartikan “bawel”, persis karakter Marsya dan kawan-kawan yang banyak polah dan cerewet. Pilihan alat musik ditentukan sendiri oleh mereka bertiga. Marsya menjadi vokalis sekaligus gitaris karena mengaku malu bila bernyanyi diiringi orang lain. Sedangkan Widi memilih gitar bas karena instrumen inilah yang bisa mengatrol kepercayaan dirinya, selain lantaran ia naksir berat permainan basis Red Hot Chili Peppers, Flea. Adapun Siti sejak awal memang mengincar posisi penggebuk drum.
Ersa menyebut VoB bukan "band murid" pertama yang pernah ia dampingi. Namun kebanyakan band itu tak benar-benar serius bermusik dan memilih jalur lain. Lain halnya dengan VoB, yang rela “backstreet” dari keluarga demi bisa bermusik dan berpentas dalam sejumlah festival. Bahkan pernah satu kali Siti dan kawan-kawan naik panggung dengan kostum seragam cokelat. Sebab, saat itu mereka mengaku kepada orang tua masing-masing bakal pulang terlambat lantaran mengikuti lomba pramuka. "Saya merasa VoB terbentuk oleh hubungan perkawanan kami. Sebagai teman, saya dan VoB santuy melupakan perbedaan jarak usia. Selain kami memang saling mendengarkan kegelisahan," ucap Ersa.
Genre metal menjadi keputusan bersama VoB yang diklaim Ersa lepas dari campur tangannya. Semula para personel VoB punya kecenderungan genre musik masing-masing. Marsya menyenangi hip-hop, sementara Widi penggemar musik funky. Sedangkan Siti memang metalhead sejak awal. Namun metal adalah genre yang bisa diterima ketiganya. Meski demikian, dalam perkembangannya, musik VoB dipengaruhi ragam melodi yang mereka senangi. Sesuka-suka mereka. Atau seperti nama band Ersa dulu, kumaha aing wae.
Personil band Voice of Baceprot di Jakarta, 2018. DETIKHOT/Asep Syaifullah
Ersa sendiri pendengar musik rock alternatif sejak muda. Ia penggemar berat grup Radiohead dengan segala kemisteriusan yang kerap muncul dalam lirik dan bebunyian dalam lagu-lagu Thom Yorke cs. Namun Ersa tak hanya memperdengarkan musik genre itu kepada para muridnya. Sembari belajar bermain alat musik, mereka meresapi dentuman garang dari Slipknot, Gojira, Lamb of God, System of A Down, Rage Against the Machine, Seringai, dan band cadas lain.
Lagu dari grup-grup itu, menurut Widi, mereka dengarkan dari YouTube, kadang dari laptop Ersa. Dari semua lagu, “Toxicity” dari System of A Down-lah yang membikin mereka kecanduan musik metal. Permainan drum John Dolmayan dalam lagu itu mereka cermati dan pelajari secara otodidaktik. Tutorial memainkan riff gitar dan teknik slap bass mereka serap dari YouTube, selain menguliknya dengan Ersa.
Dari Ersa pula ketiga personel VoB belajar menulis lirik yang kritis. Marsya mengaku senang membaca fiksi dan roman sejarah. Ia menggilai karya Pramoedya Ananta Toer, terutama Gadis Pantai dan tetralogi Bumi Manusia, Perempuan di Titik Nol dari Nawal El Saadawi, juga Harry Potter karya J.K. Rowling.
Satu per satu melodi lagu metal mulai dikunyah VoB di studio Ersa, Rumah Ramah Musik Studio. Mereka sesekali memainkan ulang lagu-lagu itu di tengah berlatih membawakan lagu yang diciptakan Ersa. Pada 2015, lahir lagu pertama VoB, “School Revolution”, yang berawal dari curahan isi hati Marsya dan kawan-kawan. "Kami biasa curhat kejadian yang dialami ke Abah Ersa, dan beliaulah yang kemudian mengolahnya menjadi lirik. Kalau musik kami ulik bareng-bareng," kata Siti.
Lirik “School Revolution” lantang meneriakkan keresahan VoB terhadap sistem pendidikan formal di negeri ini. Sistem yang membuat para personel VoB merasa seperti robot yang berangkat pagi, menelan pelajaran di buku, menjalani ujian, dan lain-lain. Sistem yang menurut mereka dalam lagu tersebut kerap dijuluki penjara paling indah. Sekolah jarang mengeksplorasi lebih lanjut minat dan bakat siswa seperti mereka. Soal ini pernah dituangkan Marsya di majalah dinding madrasahnya. "Tapi tulisan saya di mading disobek, he-he-he…," ujarnya. Karena itu, ia kembali melempar protes, tapi kali ini lewat lagu yang lebih monumental. "Dan lagu itu kami bawakan saat pernah ada pentas di sekolah."
Di balik tembok isi kepala seakan digembok
Selaksa dogma ditimpa hingga bongkok
Bila teriak merdeka bersiaplah ditabok atau dikatain
and my soul is empty
And my dream was dying
My soul fall in the dark side
And I lose my life…
Dari panggung ke panggung di daerah, nama VoB mulai dikenal. Mereka pun mulai berpentas di kota lain hingga terlibat dalam festival musik akbar. Nama mereka kian melambung saat personel Red Hot Chili Peppers, Flea, mencuit ulang unggahan sebuah akun di Twitter berisi video VoB yang membawakan “The Other Side of Metalism”. Akun itu menulis, "Di desa konservatif di Indonesia, perempuan muda ini terus mengubah stigma gender dan agama lewat band metal yang mereka bentuk." Sejumlah media luar negeri juga mulai mewawancarai VoB, dari The New York Times, BBC, The Guardian, hingga Metal Hammer.
Penampilan band Voice of Baceprot di Synchronize Fest, Arena PRJ Kemayoran, pada 2017. Azcha Tobing
Akhir tahun lalu, VoB melangkah ke Jakarta. Band ini meninggalkan Ciudian dan bernaung di bawah manajemen 12wired yang dinakhodai Nadia Yustina. Manajer VoB, Henry Bangun, menjelaskan, pada 2017 atau saat Siti dan kawan-kawan masih duduk di bangku sekolah menengah atas, Ersa mulai berkomunikasi dengan Nadia. Saat itu Nadia, yang aktif di Amity Asia Agency, bertandang ke Garut. "Namun baru pada 2020 ada kerja sama bisnis," tutur Henry. Walau keputusan besar ini merentangkan jarak dengan geng VoB, Ersa memberikan dukungan. "Kepindahan mereka adalah bentuk paling masuk akal untuk mengenali dan mengadili diri," ujarnya.
Setelah tinggal di Jakarta, Voice of Baceprot digembleng langsung oleh sejumlah mentor, seperti Stevi Item, Alan Musyfia, Andyan Gorust, Gusti Hendy, dan produser Stephan Santoso. Sesekali di kamar kos mereka juga berlatih sendiri, mengkondisikan diri sedang berada di studio. "Pandemi membatasi ruang gerak, tapi kami tetap harus belajar dan belajar," kata Siti. Hasilnya adalah sejumlah single yang matang dan ganas, menunjukkan betapa Widi, Marsya, dan Siti sudah berevolusi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Metal Madrasah: Dari Garut ke Wacken Open Air"