Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UMAAAAAARRR! Geraman membahana itu membuka lagu yang sejak awal langsung mengentak lewat pukulan drum dan kibasan gitar yang berkejaran rapat. Ilustrasi video yang mendampingi lagu menampakkan cuplikan adegan perang kolosal di suatu gurun pasir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di antara dentum drum dan raungan gitar, deru vokal yang parau kembali terdengar, melanjutkan nyanyian tentang hikayat Umar bin Khattab, khalifah penerus kepemimpinan Rasulullah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia Al Faruq, insan yang memisahkan kebenaran dan kebatilan
Khalifah paling mengimbas sepanjang sejarah
Pada masanya ia merenggut wilayah kekaisaran Romawi Timur
Juluki laksana singa padang pasir
Jika larik demi larik itu dibaca biasa, orang dapat mengiranya sebagai bagian dari sebuah tulisan tentang sejarah Islam. Tapi tidak. Lirik itu dilagukan oleh M. Aldi Arifin bersama gitaris sekaligus pemetik bas Bagus Kuncoro Adi dengan gaya cadas dan musik pengiring yang melecut sangar. Kedua pemuda asal Pasuruan, Jawa Timur, ini sejak awal meniatkan diri menjadi grup musik brutal death metal yang mendakwahkan ajaran Islam dalam liriknya. Hysteroctomy, begitu mereka menamai band ini.
Hysteroctomy lahir pada 2015, mulanya beranggotakan tiga orang. Rilisan perdana mereka adalah dua lagu berjudul “Saladin/Salahudin Al Ayubi” dan “Jahiliyah”. Belakangan, hanya Aldi dan Bagus—keduanya bersaudara—yang terus berjalan.
Mereka mengisi kekosongan posisi penggebuk drum dengan memanfaatkan perangkat lunak drum MIDI. “Umar” adalah lagu terbaru mereka yang dirilis pada Juni 2020. “Awalnya kami memikirkan bagaimana berdakwah dengan cara berbeda,” kata Aldi, 22 tahun, lewat pesan tertulis pada Kamis, 26 Agustus lalu. “Karena kami sudah punya basic di musik cadas, saya mencoba menggabungkan musik metal dengan unsur keislaman.”
Bounty dan Lutfi, personil band Purgatory, saat tampil di suatu acara. Dok. Pribadi
Karena meniatkan diri untuk berdakwah, Aldi memastikan lirik lagunya selalu mengacu pada Al-Quran dan buku-buku sejarah Islam. Penulisan lagu biasanya dikerjakan bersama oleh Aldi dan Bagus, yang saat ini kuliah di Malang, Jawa Timur. Selain itu, meski masih menggunakan geraman dan auman layaknya band metal, mereka berupaya menonjolkan karakter vokal agar lirik-lirik yang mengisahkan sejarah Islam masa lalu dan masa kini itu dapat ditangkap dengan jelas.
Aldi dan Bagus adalah alumnus Pondok Pesantren Bahriyatul Maghfiroh Nurul Karomah, yang lebih dikenal dengan nama BMNK, di Pasuruan. Semasa di sekolah, mereka sudah bermain musik. Nama awal kelompok mereka adalah Treathell alias ancaman neraka, yang lantas diganti karena dinilai terlalu seram. Sejumlah band metal yang mereka jadikan panutan adalah Nile, Dying Fetus, Cannibal Corpse, dan House of Penance. Selain itu, mereka menggemari musikus aliran lain seperti Rhoma Irama dan Nike Ardilla.
Menurut Aldi, sebelumnya ada grup bernama Berisik yang juga band metal bernuansa islami di daerah yang dikenal sebagai kota santri itu. Kini tinggal Hysteroctomy yang masih aktif mengusung gaya ini.
Perpaduan tak biasa antara musik metal dan syiar Islam ternyata sempat memancing caci-maki orang. Namun suara keras itu tak menghentikan Hysteroctomy. “Biarpun banyak yang menganggap kami salah, bodo amat,” tutur Aldi. “Yang penting kami tetap ada niat baik untuk berdakwah meski dengan cara berbeda.”
Lebih dari satu dekade sebelum Hysteroctomy, Purgatory menjadi salah satu band pertama yang membahas ajaran dan sejarah Islam lewat musik metal. Berdiri pada 1994, formasi awal band ini terdiri atas Hendrie (vokal dan bas), Lutfi (gitar), Arief (gitar), dan Al (drum). Saat lahir, Purgatory beraliran crossover dan thrash metal karena Hendrie amat terinspirasi oleh Dave Mustaine dari Megadeth, sementara Lutfi dan Al banyak terpengaruh Obituary dan Sepultura.
Anggy, vokalis band Purgatory, saat tampil di suatu acara. Dok. Pribadi
Dalam perjalanannya, Purgatory mengalami beberapa fase pergantian personel, juga perubahan gaya bermusik. Mereka pernah bereksperimen dengan death metal, lalu nu metal. Dalam aksi pertunjukan, band ini diingat lewat ciri mengenakan topeng saat tampil di panggung. Selain itu, alih-alih menggunakan salam metal yang menunjukkan jempol, telunjuk, dan kelingking, Purgatory memperkenalkan salam satu jari, yaitu telunjuk mengarah ke udara yang bermakna keesaan Tuhan.
Topik kematian dan kepunahan manusia menarik perhatian mereka. Dalam rilisan album mini (EP) pertama mereka yang berjudul Abyss Call, terdapat enam lagu yang kebanyakan bercerita tentang kematian. Pada 1997, lewat album kompilasi Metalik Klinik 1, Purgatory merilis lagu “Sakaratul Maut” yang menandai kemasyhuran nama band ini di jagat lebih luas.
Lagu itu mengangkat perihal kematian dalam sudut pandang Islam. Bagaimana tatkala ajal datang, barulah terbit penyesalan manusia yang telah menyia-nyiakan waktu ketika masih hidup. Menurut Al, penggebuk drum Purgatory, “Sakaratul Maut” lahir saat para personel memikirkan topik-topik mengerikan yang umum muncul dalam lagu band death metal ataupun black metal. “Band black metal bangga banget dengan kengerian dan satanisme mereka, tapi kami punya Allah dan ketetapan-Nya bahwa semua makhluk akan mati. Kurang ngeri apa coba? Siapa makhluk yang enggak takut mati? Siapa makhluk yang siap menghadapi sakratulmaut?” ucap Al pada Kamis, 26 Agustus lalu.
Badar, gitaris band Purgatory, saat tampil di suatu acara. Dok. Pribadi
Purgatory kemudian juga banyak menulis lagu yang mengkritik kebobrokan politik dan moral manusia serta kejahatan perang dalam album-album berikutnya, yaitu Ambang Kepunahan (1999) dan 7:172 (2003) serta yang terakhir Beauty Lies Beneath (2006).
Dalam 7:172 (diambil dari Surat Al-A’raf ayat ke-172 dalam Al-Quran), terdapat lagu berjudul “M.O.G.S.A.W.” yang merupakan akronim Messenger of God Sallallahu Alayhi Wassalam, merujuk pada Nabi Muhammad. Dari lagu ini, Purgatory kemudian menyebut kelompok penggemarnya dengan nama Mogers yang dapat juga diartikan sebagai orang-orang pencinta Rasulullah.
Lirik-lirik mereka terinspirasi kisah-kisah dalam Kitab Suci, seperti dalam lagu “Angerball”, “Jonah”, “55:13”, dan “Downfall: The Battle of Uhud”. Terkadang mereka mengimbau orang-orang agar mengingat kembali nilai-nilai Islam. Di lain waktu, lagu mereka adalah refleksi diri untuk memohon ampunan. Dalam “Hipocrishit”, misalnya, mereka melagukan larik ini:
Tuhan jangan biarkan aku jatuh jauh ke lembah nista yang semakin dalam
Jangan biarkan aku terkurung dalam kehinaan dan kemunafikan
Aku hina dan kotor serta tak pantas masuk ke dalam surga-Mu
Ku juga lemah dan tak tahan akan panasnya api neraka-Mu
Meski begitu, Purgatory tidak hendak menyebut mereka berdakwah lewat lagu. Bagi Al, gaya bermusik yang dipilih Purgatory adalah sesuatu yang berjalan alami karena setiap personelnya lahir dan besar dalam keluarga Islam sehingga otomatis menerapkan ajaran agama tersebut.
Al, drummer band Purgatory, saat tampil di suatu acara. Dok. Pribadi
Al mengatakan musikus yang benar-benar berdakwah dengan lirik dan musik antara lain Bimbo, Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf, dan Hadad Alwi. Sedangkan Purgatory tidak dengan sengaja menargetkan ramuan musik metal dan keislaman mereka untuk berdakwah. “Purgatory hanya musisi biasa yang main musik sekadar hobi, yang takut melanggar batas-batas Allah,” kata Al.
Sama seperti yang dialami Hysteroctomy, Purgatory tak jarang mendapat reaksi yang mempermasalahkan kombinasi musik metal dengan ideologi Islam. Walau begitu, Al memilih lebih mengingat reaksi orang-orang yang berkata bahwa mereka justru terpacu untuk mengingat Allah setelah mendengarkan lagu-lagu Purgatory.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Berdakwah dengan Musik Cadas"