Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Wanita saudi: perubahan dibalik ...

Wanita arab saudi mengalami perubahan ke arah modernisasi seiring dengan melimpahnya petro dolar. berbagai lapangan kerja terbuka bagi wanita. mereka mengikuti mode, fitness-lentre, peragaan busana, dst.

28 November 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASIHKAH wanita Arab hidup seperti dahulu? Terasing dari ramai dunia lelaki? Hanya menjadi penjaga setia rumah? Yang seluruh tubuh dan wajahnya selalu terselubung hitamnya abaya dan cadar, tabu memperlihatkan wajahnya kepada orang luar? Betapa pun cantik dia? Sementara itu, kini pohon kurma hanya tinggal di pedalaman, di oase, di antara gurun-gurun dan di permukiman Badui. Sementara itu, pencakar langit yang gemerlap menggantikan gedung tembok sederhana. Unta telah dipensiun, tugasnya diambil alih oleh limousine atau Mercy. Dan ribuan neon telah memadamkan temaramnya pelita minyak zaitun. Syahdan pada 1930-an, Raja Abdul Azis berharap bisa memperoleh air dari perut bumi, untuk membasahi negerinya yang kerontang. Harapannya terkabul memang, tapi tak secara langsung. Bukan air yang memancar dari gurun tanah kelahiran Nabi itu, melainkan minyak. Dan itu berarti uang, petro dolar kata orang kemudian. Dengan menjual konsesi pengeboran minyak, Kerajaan Arab Saudi memperoleh US$ 250 ribu, waktu itu. Inilah awal bagi Saudi, bukan saja lalu bisa membangun instalasi untuk membuat air laut jadi tawar, tapi perlahan-lahan minyak membawa Negeri Ka'bah ini memasuki zaman baru. Juga bagi para wanitanya. Getaran boom minyak itu pun merayap dan menelusup di cadar mereka, siap mengungkap wajah yang berada di baliknya. Secara sederhana getaran petro dolar di cadar-cadar itu kronologisnya begini. Minyak mempertebal saku hampir tiap keluarga. Akibatnya, mereka punya uang untuk menggaji pembantu rumah tangga. Para ibu jadi punya waktu tersisa, tak tersungkup oleh kegiatan mencuci, memasak, membersihkan rumah, atau mengurus anak. Waktu jadi terasa panjang. Kemudian apalagi yang akan mereka lakukan kalau tidak ikut membuka pintu, keluar rumah. Sementara itu, bagai kisah Seribu Satu Malam, Arab Saudi segera mempertontonkan wajah baru: modernisasi, industrialisasi. Dan itu berarti tuntutan bagi penduduk Arab Saudi untuk beradaptasi dan terus-menerus belajar, juga bagi para wanitanya. Sampai ada pernyataan yang dikutip oleh Marianne Alireza di majalah National Geographic, "Islam tak pernah menyatakan agar wanita tidak belajar. Quran malah mewajibkan belajar bagi laki-laki dan wanita." Sebuah pernyataan yang mustahil terdengar dua puluhan tahun lalu. Sekolah-sekolah pun berdiri, di negeri yang 14 abad lalu disebut negeri zahilliyah itu. Tiga puluh tahun lalu, 1957, berdirilah universitas pertama. Mula-mula cuma 50 mahasiswa, semuanya laki-laki, yang kuliah. Tiga tahun kemudian, untuk pertama kalinya pintu pendidikan resmi bagi kaum hawa dibuka. Sebuah sekolah khusus putri didirikan. Bola modernisasi pun terus menggelinding. Tiga belas tahun kemudian lulusan sekolah putri itu pun masuk perguruan tinggi setempat walaupun yang mau menjadi mahasiswi, saat itu, tak lebih dari selusin orang. Dengarlah Fatmah, termasuk wanita Saudi pertama yang melangkah keluar dari batas pintu rumahnya. "Ayahku selalu mendorong kami semua, anak-anaknya, untuk sekolah. Sebab, banyak yang yang telah berpikiran seperti kami, dan akan lebih banyak lagi nanti," tuturnya. Langkah Fatmah tak percuma. Ia dibutuhkan oleh negara, diangkat menjadi kepala personalia rumah sakit Universitas Raja Abdul Azis. Memang, untuk apa belajar bila tak untuk bekerja? Berbagai lapangan kerja lalu terbuka bagi wanita. Guru, juru rawat, pengelola bank, ahli komputer, teknikus laboratorium, penyiar radio, bahkan menjadi instruktor physicalfitness. Adalah Maha Bukhari, wanita Saudi berpendidikan Amerika, begitu kembali ke Jeddah, membuka senam aerobik untuk wanita di lembaga yang disebut Al-Faisaliyah. Dan mungkin ini hanya di Saudi: bank khusus wanita. Di kantor uang yang ini baik nasabahnya maupun karyawan banknya semuanya bercadar. Misalnya Bank Saudi Amerika, Bank Arab Nasional, dan Bank Saudi Kairo. Dengan karyawan dan nasabah yang berkostum rapat dari ujung kaki sampai rambut itu, sebuah bank wanita memang mengundang sensasi. Umpamanya lalu masuk seorang berhitam-hitam seluruh tubuhnya dan menodongkan pistol kepada kasir. Untunglah, selain kemakmuran relatif merata, hukuman gaya Arab rupanya mencegah kriminalitas merajalela. Tentu, kehadiran dokter wanita kian diharapkan. Terutama dokter kandungan dan kelahiran. Tak terkecuali, para dokter wanita tetap juga berkerudung, misalnya Dokter Hanan Ali di Dhahran, yang aktif di rumah sakit militer. Tak cuma sampai di situ. Seolah mengikuti Aisyah -- istri termuda Nabi Muhammad saw., yang pernah memimpin sejumlah laskar lelaki dalam perang yang disebut Perang Unta -- kini tak sedikit wanita Arab yang menjadi pemimpin perusahaan, misalnya menjadi manajer perusahaan kontraktor. Salah seorang di antaranya adalah Huda Awad, di Jeddah, yang mempekerjakan 40 pria. Kehidupan di Saudi memang tak lagi cuma gurun kering dan cadar hitam. Lebih-lebih di kota Jeddah, penghubung negeri Arab Saudi dengan dunia luar. Kota ini bukan lagi kota nenek-nenek (kata "jeddah" berarti "nenek", dan di sinilah diyakini telah dikuburkan nenek para manusia, yakni Siti Hawa). Hotel-hotel mewah, gedung-gedung pencakar langit, bermunculan. Inilah kota yang mungkin bisa disebut paling terang di seluruh dunia bila malam tiba: hampir tiap jengkal jalannya diguyur sinar terang dari lampu-lampu besar. Umpama kata generasi nenek-nenek para remaja sekarang berjalan-jalan di Jeddah, mungkin tak cuma astagfirullah berkali-kali yang bakal diucapkan. Mungkin justru sama sekali tak mengucapkan apa pun saking kagetnya. Lihat saja, butik bertaburan di seantero kota, memamerkan berbagai model dan merk gaun yang berasal dari pusat-pusat mode dunia. Salon -- solun, kata orang Arab -- juga menjamur, siap memoles wajah para gadis dan ibu rumah tangga. Dan ini dia, suasana fitness-centre pun tak berbeda dengan yang ada di lain negeri tanpa cadar. Dibalut pakaian senam ketat yang mau tak mau lalu mempertontonkan bentuk tubuh, diiringi entakan irama musik, para wanita itu meliuk-liukkan tubuh, mengikuti petunjuk instruktor, berharap menjadi segar dan langsing. Peragaan busana pun bukan lagi peristiwa ajaib. Dan sesudah semua itu tentulah ada acara yang disebut pesta. Toh tidak lucu untuk, misalnya, memakai baju made in butik cuma untuk duduk-duduk bengong di depan jendela di kamar sepi atau nonton televisi. Kini para wanita Saudi pun mengenal acara pesta dan hura-hura. Di situlah kesempatan untuk -- biasa, sebagaimana wajarnya wanita -- pamer gebyar dan mahalnya sesobek gaun. Di hari libur, para ibu dan anak-anak gadisnya kini pun biasa bersama para bapak dan anak-anak lelaki berpiknik. Pergi ke pantai, umpamanya. Tapi lalu jangan diharapkan gadis-gadis itu kemudian melepaskan semua pakaian butiknya, cuma berbikini lalu, byuurr..., terjun ke laut. Yang begitu itu belum sampai. Bahkan bahwa piknik ini budaya baru masih bisa dilihat. Di pantai, eh, ternyata hura-hura pun terpisah berkelompok: yang pria dengan pria, yang hawa dengan wanita -- meski tanpa dipisahkan oleh tabir. Bagi mereka yang lebih suka mendekam di dalam rumah, antena parabola siap menghubungkan mereka dengan sudut dunia mana pun. Selain itu, kaset video dari segala jenis biasanya juga tersedia. Dari film kartun sampai Muppet Show, dari Star War sampai triple-x -- tentunya jenis yang terakhir itu tak masuk secara legal. Seorang janda, ibu 7 anak, begitu bahagia sempat mengalami perubahan yang terjadi di negaranya. Atas nama kaum wanita ia mengucapkan syukur berkali-kali, "Terima kasih, Tuhan. Segala sesuatu bagi kami telah berubah." Ia kini berkesempatan belajar membaca dan menulis di lembaga pendidikan untuk orang dewasa. Sudahkah minyak mencuci masa lalu wanita Saudi -- ketika bayi-bayi perempuan dianggap membawa sial, lalu dibunuhi? "Belum sepenuhnya," ujar M. Baharun, wartawan TEMPO yang mengamati perubahan ini. Tetap saja wanita terselubung abaya dan cadar hitam, bila keluar rumah. Tua-muda, kaya-miskin, cantik-jelek, semua hampir serupa, terbungkus dalam sosok hitam berharga sekitar 80 rial (sekitar Rp 40.000). Sebab, begitulah peraturan negara mengharuskan wanita menutup sekujur tubuhnya, kecuali wajah. Lebih-lebih di dua kota suci yang hanya boleh dimasuki oleh orang Islam, Mekah dan Madinah. Hanya di Jeddah, terutama di kawasan pelabuhan udara, tampak wanita rok pendek. Cuma, dia bukan wanita Saudi, dia orang asing. Di tempat-tempat umum, laki-laki dan perempuan selalu terpisah. Juga di perguruan tingginya. Dosen laki-laki yang memberi kuliah di kelas wanita tak berhadapan langsung dengan mahasiswinya. Ia cuma bisa dilihat dalam TV monitor, dan ia tak bisa melihat wajah-wajah yang ia kuliahi. Dalam upacara perkawinan pun jadwal sudah diatur: hingga tamu laki-laki dan perempuan tak bertemu. Akad nikah hanya dihadiri pengantin laki-laki, wali pengantin perempuan, keluarga, dan para undangan yang semuanya laki-laki. Dan bila Anda sempat datang, jangan mencari-cari pengantin perempuan. Ia termasuk yang dilarang hadir pada acara ini. Pada saat pestanya, sebaliknya, hanya wanita yang hadir. Memang, banyak tempat dengan tulisan takhsis lil-mar'ah, khusus wanita: butik, salon, dan yang sudah disebutkan, bank. Jangan sekali-kali laki-laki melongok ke situ. Sebab, kata Baharun, itu berbahaya. Biasanya mereka langsung menelepon polisi, urusan bisa jadi panjang. Itu sama halnya dengan memotret, mengambil gambar apa saja di luar rumah. Biarpun kamera ada hampir di setiap rumah, orang selalu berteriak melarang bila ada orang membidikkan kamera di luar rumah, tanpa izin. Memotret bangunan pun sudah bisa dipersoalkan. Walau ketentuan resminya hanya instalasi militer yang tak boleh dijepret. Kalau begitu, yang disebut pacaran tetap saja sulit, dong, tanya Anda. Ya, memang. Dalam memilih pasangan hidup, remaja Saudi tetap belum bebas. Orangtua tetap berperan. Walaupun telepon mulai jadi penghubung gelap antara Fatimah dan Abdullah, misalnya. Cuma, perkawinan tidak lagi sesulit dulu. Dulu, banyak rumah terpaksa menyimpan perawan tua. Bukan lantaran ia tak pernah bertemu perjaka. Tapi karena ia (dan keluarganya) pasang tarip mas kawin kelewat mahal. Tapi bukannya mereka mata duitan, itu dilakukan semata untuk menunjukkan martabat. "Dulu kalau belum punya rumah pribadi, tak ada pemuda Saudi yang berani kawin," tutur seorang lelaki bernama Nashar. Sekarang, ibarat cuma punya selembar permadani, asal punya pekerjaan tetap (dan punya nyali), tanpa komando pun seorang jejaka sudah berani melayangkan pinangan. Sebagaimana di negeri mana pun, wanita pedesaan Saudi lebih banyak menghirup udara di luar rumah dibandingkan wanita kotanya. Mereka itulah suku Badui, yang umumnya masih tinggal di tenda-tenda. Di sini budaya nomaden belum sepenuhnya hilang, meski parfum modernisasi menyentuh mereka juga. Misalnya, pesawat televisi bukan lagi barang asing di tenda Badui. Lalu, pemandangan unta-unta berbaris antre mengambil air di sebuah mata air jangan lagi diharapkan. Yang tampak kini truk-truk Mercy hilir mudik mengangkut keperluan suku bertenda itu. Banyak Badawiyyat, wanita Badui, terbiasa mengemudikan truk. Saudi memang terus berubah. Juga para wanitanya. Meski di luar rumah yang tampak masih yang itu-itu juga: baju gombrong dan panjang seperti daster yang disebut abaya. Lalu untuk apa semua mode-modean itu? Cobalah bila Anda punya nyali -- Anda singkapkan abaya hitam itu. Maka, akan terlihat gaun model Paris atau Roma. Memang, modernisasi wanita Saudi masih malu-malu. Kata Fatmah, yang staf rumah sakit itu, yang pernah tinggal di Yordania dengan kehidupan wanitanya lebih bebas, "Hidup terlalu bebas tak menyenangkan." May Yamani, putri bekas Menteri Perminyakan Syeikh Ahmad Zaki Yamani, yang belajar antropologi di Oxford, Inggris, dan memakai pakaian Barat bila di Eropa, juga tak menanggalkan abaya, kerudung, cadar, dan sarung tangan tipisnya bila pulang ke Saudi. "Saya wanita Saudi," kata May. "Saya menyukai semua ini." Modernisasi jalan terus, kerudung dan cadar juga jalan terus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus