Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Setelah abaya digantungkan

Pesta pernikahan suatu kesempatan bagi wanita untuk melepaskan cadar lalu berhura-hura sambil memamerkan berbagai busana terkenal dan berajojing. bagi ibu-ibu dijadikan kesempatan untuk memilih mantu.

28 November 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MALAM itu malam Jumat. Di Arab Saudi, itulah malam panjang. Dan sebuah sedan panjang, dengan kursi bersaf tiga, terlihat meluncur meninggalkan garasinya. Ketika itu menjelang tengah malam. Mercy-1000 berkaca gelap itu menyusur jalanan. Memang jelas berkaca gelap, karena jalanan yang mulus dan lebar itu begitu terang, seterang tengah hari. Ribuan neon berjajar rapat sepanjang jalan, menyiramkan sinarnya. Maklum, ini negeri kelebihan minyak. Mercy menuju gedung Baitul Abyath atau Balai Putih, yang disebut juga Baitul Afrah atau Balai Gembira. Di situ tampaknya memang ada kegembiraan: sedang ada perhelatan perkawinan. Sedan berhenti, beberapa yang turun wanita semua. "Ini pesta hanya buat wanita. Haram buat laki-laki," kata M. Baharun, orang TEMPO yang membuat laporan ini. Harap maklum, bung wartawan sebenarnya tak berada di sekitar gedung di kota Jeddah itu, apalagi masuk ke dalamnya, karena ia laki-laki. Laporan ini sebagian besar ia susun berdasarkan mata dan telinga istrinya, yang sempat mengikuti jalannya pesta. * * * Undangan sudah lama diedarkan, diantarkan ke rumah-rumah, begitulah ceritanya. Amirah, begitu nama pengantin wanita, dinikahi Abdul Jawad. Lelaki itu berumah di Riyadh, membuka usaha katering. Sebelum pesta malam itu di rumah mempelai perempuan, mereka telah akad nikah -- sebuah upacara bersuami-istri yang di sana hanya dihadiri para lelaki. Bahkan pengantin wanita pun tak dimunculkan. Jadi, kalau kini diadakan pesta khusus untuk wanita, inilah adil namanya. Alkisah, para wanita pun jadi sibuk -- yakni yang menerima undangan. Pertama-tama mereka sibuk memikirkan kado. Kado itu, tak seperti lainnya di Indonesia, bukan untuk dibawa ketika mereka menghadiri pestanya. Tapi jauh hari sebelum tanggal di undangan tiba, kado telah diantarkan ke rumah mempelai. Kesibukan kedua para penerima undangan, memilih gaun. Bisa dimaklumi, ini 'kan boleh dikata satu-satunya pesta bagi wanita di sana, dan belum tentu sekali dalam sebulan ada undangan kawin. Jadi, kapan lagi? Maka, pergi ke toko-toko kosmetik dan butik menjadi acara penting. Banyak juga yang merasa perlu mempercantik diri dahulu, lalu pergi ke solun, yaitu salon kecantikan. Pada hari "D"-nya, para wanita yang diundang, dari berbagai lapisan sosial, pun berdatangan. Pada pesta di Gedung Gembira itu sebagian besar tamu adalah kaum muda -- dan menurut kata orang sono, memang begitulah biasanya. Bagi yang gadis, inilah saatnya untuk bersukaria. Menyanyi, menari, tertawa, dan bergaya. Untuk siapa? Bukankah tak ada jejaka di sekitar mereka? Benar, tetapi di situ ada wakil para jejaka, yakni ibu-ibu mereka alias calon mertua, kalau cocok. Siapa tahu, ada seorang ibu yang jatuh hati padanya, lalu menjadikannya menantu. Dan memang, bagi mereka yang menyimpan jejaka di rumah, inilah kesempatan untuk nontoni, melihat-lihat, barangkali ada yang kira-kira pantas dipinang buat anak laki-lakinya. Di depan pintu balai, keluarga mempelai wanita dan mempelai pria, yang hanya diwakili ibu, tante -- pokoknya wanita -- menyambut tetamu. Mereka tersenyum, saling mengucapkan salam, lalu, "Mabruk... mabruk," -- selamat... selamat. Sampai di situ pemandangan masih monoton, dan pesta belum benar-benar meriah. Maksudnya, para tamu masih ber-abaya yang biasanya hitam. Baru setelah melewati acara bersalaman itu para hadirat satu per satu membuka hitam-hitamnya, menggantungkannya di dinding yang memang disediakan untuk itu. Atau bagi yang takut salah ambil nantinya -- memasukkannya ke dalam tas. Barulah kemudian pesta jadi terasa pesta. Beragam macam model bahan, dan wama, adu meriah. Ah, ya, ternyata masih juga ada peraturan yang tak boleh dilanggar: semuanya saja gaun itu panjang sampai ke mata kaki. Sebagian, konon, hasil desain sendiri. Yang pasti, tampaknya hampir semua gaun impor, dan kebanyakan dari Paris. Hambal menghampar meriah. Tirai berlapis-lapis, mengkilap. Lampu pun berpendar-pendar. Tapi tengok kanan tengok kiri mana pengantinnya? Di depan ada panggung. Di situ pun pengantin tak ada. Yang ada sejumlah wanita berkulit hitam yang memainkan gendang dan tamborin. Mereka menyanyi dan bergoyang. "Itu Gambus Al-Hana dari Kuwait," kata Budur seorang tamu. "Pemainnya orang Sudan dan Somalia." Lagu demi lagu terus meluncur. Bahkan lagu gambus yang pernah populer di Indonesia Ya Habibi (Oh, kekasih -- artinya) pun dikumandangkan. Panggung makin panas, musik makin bergoyang, dan ruang Gedung Gembira pun makin meriah. Dengan spontan seorang wanita naik ke panggung. Ia bergoyang, melenggak-lenggokkan badan, menggerai-geraikan rambutnya yang terurai lepas, mengikuti irama para musikus hitam. Tak lama kemudian, dua-tiga undangan menyusul serta. Suasana jadi ingar, mengingatkan acara ajojing di negeri kita. Yang di panggung tak puas joget sendiri, ia turun dan naik lagi sambil menyeret kawannya. Lalu, "Ouii. . . ouiii," orang-orang yang biasanya cuma bisa dilihat sebagai sosok-sosok hitam di tempat umum itu menjerit-jerit gembira melengking-lengking, melepaskan emosi. Bahkan. . ., "Wo-wo-wo," mereka meraung sambil memukul-mukulkan telapak tangannya, bak prajurit Indian menyerbu musuh. Tiba-tiba salah seorang wanita dari Mercy-1000 yang mengenakan rok hitam berkembang-kembang mengkilap naik pentas. Langsung perhatian pesta ke arah dia. "Itu keluarga emir," seru seorang yang mengaku bernama Nabila. Emir itulah pangeran. Mula-mula wanita itu tampak tersipu-sipu. Ia bergoyang perlahan-lahan sambil mengayunkan tas tangan Piere Cardin-nya yang dari kulit buaya, mengikuti irama musik. Lama-kelamaan rasa malu tak lagi tampak di wajahnya. Ia pun bergoyang keras sambil membuka tas. Tiba-tiba, huppp, ia melompat seraya menaburkan lembaran uang ratusan rial ke arah oud atau gambusiwati hitam itu. "Aiiiii ...," jerit wanita keluarga pengeran itu. Ini sebuah tantangan bukan untuk beradu joget, tapi beradu gengsi. Maka, yang lain pun tak mau kalah. Mereka lalu menyebar uang. Kendati bukan lembaran ratusan, puluhan atau bahkan limaan rial pun jadilah. "Aiii ..., aiii," semuanya pun berseru. Gendang makin bertalu, petikan mandolin makin gencar, seakan beradu keras. Tuan rumah lalu mengambil baki, memunguti uang, dan menyorongkannya ke dekat pimpinan oud. Bila tubuh telah capek, napas pun tersengal-sengal, itulah saat mereka boleh duduk kembali. Acaranya kemudian mencicipi hidangan yang tersaji silih berganti. Ada makanan kecil dalam kotak kertas, ada buah, ice cream, berbagai macam hidangan ala Eropa hingga nasi merah Arab. Sementara itu, waktu pun terus berputar. Dan ketika malam menggelincir jadi dinihari sesuatu pun terjadi. Mendadak musik yang riuh rendah itu berhenti. Dari pintu gerbang muncul seorang lelaki berjas abu-abu, berjalan sendiri, menundukkan wajahnya. "Arus ..., Arus," seru para undangan. Anda tak perlu cemas. Tak ada banjir di situ, arus itulah yang berjas abu-abu, yang wajahnya kemerah-merahan karena malu, yang dalam undangan disebutkan bernama Abdul Jawad. Ya, arus itulah kata Arab untuk pengantin pria. Para tamu pun berhamburan, bukan untuk menyalami yang baru muncul, tapi lari berebut cepat menuju tempat gantungan abaya. Lalu dengan tergesa mereka mengenakannya, komplet dengan jilbab maupun cadarnya. Barulah mereka mengerumuni sang arus, mencuri pandang dari balik kain kasa cadar. "Ahlan wa sahlan ya arus," celetuk seorang tamu. Yang lain menimpali, "Mabruk..., mabruk." Pengantin pria itu cuma tersipu-sipu. Tamunya juga tersipu-sipu. Semuanya tersipu-sipu, sambil menunggu. Ratusan mata memandang ke semua penjuru ruang. Mereka mencoba menebak dari pintu mana pengantin wanita bakal muncul. Ternyata dari pintu di panggung Amirah muncul berpakaian India. Itulah pakaian pengantin yang lazim di kalangan masyarakat kelas menengah Arab Saudi. Dengan tetap bergaya malu-malu kedua mempelai dipertemukan, lalu mereka bersalaman. Hanya sekitar lima menit kedua pengantin berada di situ. Kemudian mereka diiring pergi meninggalkan gedung. Para undangan mengikutinya hanya dengan pandangan, tapi. Subuh hampir menjelang. Di pelataran parkir, para undangan wanita itu bergerombol. Mereka menanti jemputan. Dan kemudian satu per satu menghilang di balik kaca jendela sedan yang menderu dan membawanya pulang bersama lelah dan kantuk. Mungkin, di antara mereka yang pulang sudah menyimpan nama calon menantu. Pesta usai sudah, dan kemudian dari menara-menara masjid, azan subuh pun bergema.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus