LAIN di luar, lain di dalam. Itulah wanita Saudi kini. Di tempat-tempat umum yang muncul cumalah sosok-sosok hitam. Semua hampir seragam, cuma tinggi rendah tubuh, atau kurus gemuk badan, bisa ditebak. Tapi cantikkah mereka, adakah berbibir tipis atau tebal, berdagu runcing atau lengkung adakah mereka bermata sayu atau cemerlang, wallahualam. Baik di souq (pasar), maupun di jalanan, di dalam mobil yang sedang melaju, atau di toko serba ada wanita Arab Saudi cumalah sesosok hitam yang bergerak. Tidakkah itu menyalahi kodrat umumnya wanita yang suka perhiasan, suka berwah-wah dan bergaya? Nanti dulu. Lain di luar lain di dalam. Seperti reportase jalannya pesta perkawinan itu misalnya (lihat Setelah Abaya Digantungkan). "Ternyata, mereka suka glamour dalam memilih pakaian dan perhiasan," kata bung wartawan M. Baharun, yang mendapatkan info dari istrinya. Pakaian yang dipakai oleh wanita Arab di dalam pesta hampir selalu dari kain gemerlap yang bila kena sinar lalu kerlap-kerlap. Paling sedikit, bila kain dasarnya berwarna kusam, pasti lalu ditaburi manik-manik yang berkerlap-kerlip mirip kunang-kunang. Selera ini tersimpan dalam di lubuk hati, cuma sewaktu-waktu dipamerkan kepada sesama wanita ketika undangan tiba. Atau paling-paling dipamerkan kepada suami, ketika, misalnya, gaun baru itu dicobanya. Kegandrungan pada pakaian gemerlap, mungkin saja sebagai kompensasi dari keseharian wanita-wanita itu yang karena peraturan -- tak tanggung-tanggung peraturan negara -- harus selalu ber-abaya hitam, berkerudung, dan bercadar. Maka, biasanya di kalangan wanita kelas menengah atau bawah, sangatlah bangga bila menerima atau memberi kado pakaian impor. Di Eropa pakaian pengantin wanita ciptaan Yves Laurent, misalnya, hanya dikenakan oleh mempelai wanita ketika pesta pernikahan, tapi di Arab Saudi wanita yang tak sedang berpengantin pun lazim mengenakannya untuk berhura-hura dalam pesta. Dan ini sungguh ironis. Di tempat-tempat umum para wanita hanya dikenali lewat sosok-sosok hitam, tapi infommasi mode terbaru dari Eropa sangat cepat sampai di Arab Saudi. Kata Nadjib, lelaki Arab yang sempat ditemui Baharun, "Mode yang baru muncul di Paris sebulan kemudian sudah bisa dibeli di Jeddah." Itu untuk kalangan menengah ke bawah. Bagi kalangan jet-set-nya Arab, menurunkan gengsi bila mereka belanja di butik-butik lokal. Mereka langsung terbang, membelinya di pusat-pusat mode itu sendiri. Bahkan tak jarang, mereka memesan desain eksklusif dengan harga khusus, tentu, kepada para desainer ternama. Apalah artinya uang, bila minyak terus mengalir, dan dunia tetap membutuhkannya. Yang bersaing, tak cuma kaum hawa. Para lelaki, suami-suami itu, ternyata tipis juga kupingnya, mudah panas juga hatinya bila mendengar bahwa istri si Hamzah gaunnya tak ada duanya di dunia. Maka, untuk tak ketinggalan mode, kaum pria Saudi suka juga membuka-buka majalah wanita. Abdullah, misalnya, ia suka membaca Nisa'i (wanitaku, artinya) majalah berbahasa Arab yang memuat pelbagai mode gaun terbaru. Dari majalah inilah ia memilih buat istrinya. Setiap kali ia pergi ke Eropa, pulangnya selalu beberapa potong gaun mode terakhir dibelinya. Pantas bila Laila, istrinya yang berasal dari Hejaz itu, sangat memuji suaminya, "Pria Saudi itu baik hati. Dan setia pula." Maksud dia, Abdullah itulah. Umumnya memang begitulah lelaki Saudi. Maka, wanita yang tahu diri boleh bermanja. Caranya, gampang. Sambil mengacungkan jempol, suatu hari ia boleh menceritakan ini kepada suaminya, "Wah, pakaian si Fulanah itu begini." Tanggung, dalam jarang waktu tak terlalu lama, ia akan mendapatkan gaun mode terakhir. Cara mereka memantau mode pun tak cuma dari majalah. Di kalangan kelas menengah ke bawah, seperti sudah disinggung, puluhan butik yang tersebar di pelbagai sudut Kota Jeddah, Riyadh, dan sedikit bisa dijumpai di Mekah dan Madinah, menjadi semacam bursa mode. Setiap malam Jumat, malam panjang, biasanya para istri minta suaminya mengantarkannya pergi ke ma'radi, ya butik itu. Sang suami menunggu di luar, sementara istrinya masuk, memilih-milih gaun dan menawarnya. Setelah cocok, istri keluar menemui suaminya, menceritakan ihwal pakaian yang hendak dibelinya berikut harganya. Bila suaminya setuju, ia pun masuk lagi, membayar, dan keluarnya sudah menenteng bungkusan. Bagi kalangan atas infommasi diperoleh dari peragaan busana. Butik-butik itu jugalah penyelenggaranya, dengan undangan terbatas. Para peragawatinya memang bukan wanita Saudi. Acara semacam ini kadang juga diadakan di rumah para milyuner, dengan mengundang kerabat dan keluarga terdekat. Dan betapa borosnya belanja para istri bila mengingat gaya mereka membeli, memakai dan kemudian membuang gaun-gaun nan mahal itu. Sudah terang mereka akan cuma memamakinya bila ada pesta. Dan lantaran gengsi, bila datang pesta kedua -- yang jaraknya bisa lebih dari sebulan -- mereka harus mengenakan gaun yang baru lagi, mode mutakhir. Maka, bahagialah para pembantu rumah tangga, dalam hal pakaian. Sering kali gaun berharga jutaan rupiah, baru dipakai sekali atau dua kali oleh nyonya majikan lalu jatuh ke tangan pembantu. Tak heran ketika ada TKW yang baru pulang pulang dari Saudi, dan naik bis di Probolinggo, Jawa Timur, tak tahan untuk tidak menceritakan isi dua kopor besar yang dibawanya. Kepada orang yang tak dikenalnya, yang duduk di sisinya, ia bercerita bahwa yang dibawanya semua pakaian baru "dari Eropah". Ia lalu membuka kopornya, memamerkan isinya. "O, itu hasil kerja di Arab, ya?" tanya orang sebelahnya. "Hasil tuannya, ya?" komentar mereka yang iri. Tanpa menjawab, wanita Madura itu segera menutup kopornya. Sebagaimana umumnya wanita, perhiasan juga jadi hobi para wanita Saudi. Banyak sedikitnya emas yang melingkari sekujur tubuhnya menjadi barometer tingkat kekayaannya. Jangan kaget, bila kebetulan menemui wanita Saudi memakai gelang dan kalung melilit bertumpuk-tumpuk. Belum lagi cincin dan giwangnya. Yang kini sedang mode, dan tak pernah tidak tampak di pesta-pesta, adalah sabuk emas. "Semakin besar sabuk emas yang dipakai. semakin kayalah suami mereka," kata pepatah Arab masa kini. Bagi wanita terpelajar, umumnya dari keluarga yang sangat kaya, rentengan emas di lengan dan leher sudah bukan lagi zamannya. Mereka memilih kalung atau giwang kecil, tapi eksklusif, termasuk harganya juga eksklusif. Karena kalung atau giwang itu pasti bermatakan permata pilihan. Hanya dalam hal rambut, wanita Saudi tak macam-macam. Yang lebat, terurai panjang tetap menjadi pilihan, karena memang mudah ditutupi kerudung bila mereka keluar rumah. Adapun salon, yang seperti juga rumah-rumah di sana, selalu tampak tutup, cumalah mengurusi wajah-wajah. Umumnya, salon-salon itu diusahakan oleh wanita-wanita Mesir atau Turki. Bagaimanapun, wanita Arab memang juga wanita. Ketika zaman berubah, dan dengan gemerincing dolar menggelinding masuk pintu-pintu rumah, naluri kewanitaan yang selama ini terpendam di gunung-gunung pasir muncul ke permukaan. Dan ketika kerudung ditanggalkan, cadar dibuka, lalu abaya digantungkan, ketika gendang dan sitar dipukul dan dipetik dalam irama tinggi, ketika itulah muncul pakaian gemerlap, perhiasan yang menyilaukan, kemudian ajojing yang ramai, dan lembaran rial pun beterbangan. Ada perubahan di balik cadar, memang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini