HARI Lingkungan Sedunia, 5 Juni mendatang, diharapkan membawa
sedikit titik terang bagi warga Dukuh Tapak Kecamatan Tugu 10 km
di barat Kota Semarang. Dukuh yang sejak 1976 masuk wilayah
Kotamadya Semarang itu, sudah 2« tahun lamanya jadi korban polusi
air buangan PT Semarang Diamond Chemical (SDC).
Setelah berulang kali diprotes oleh penduduk yang kematian ikan
dan udang, pabrik calcium citrate bermodal Jepang itu akhirnya
memasang aerator (penyaring air buangan) buatan Amerika, awal
Mei lalu. Namun seperti diungkapkan J. Soedardjo, jurubicara
pabrik itu kepada TEMPO "baru akan dirasakan hasilnya sebulan
kemudian." Jadi kira-kira awal Juni ini.
Kendati demikian, masih ada dua hal yang merisaukan masyarakat
Tapak yang jumlahnya sekitar 700 jiwa itu. Pertama, soal
tuntutan ganti rugi mereka yang belum dipenuhi pihak pabrik. Dan
kedua: ucapan ir Subijanto, Ketua BPKMD Jateng bahwa mereka --
dan sebagian besar penduduk Kecamatan Tugu lainnya -- akan
dipindahkan untuk memberikan tempat bagi kawasan industri yang
akan dibangun di utara jalan raya Semarang-Kendal.
Sesuai dengan pembicaraan antara Direksi SDC dengan BKPMD
Jateng, 17 Mei lalu, anak perusahaan Mitsubishi itu hanya
berkewajiban membayar "uang penenang" sebesar Rp 5,4 juta kepada
penduduk. Padahal tuntutan rakyat, sebagaimana dikalkulasi oleh
panitia khusus yang dibentuk oleh Camat Tugu, adalah Rp 119 juta
Karuan saja penduduk Tapak menyatakan keberatannya.
Endapan
"Uang Rp 5,4 juta itu, untuk biaya mengeruk kembali Kali Tapak
saja belum cukup. Apalagi untuk mengganti kerugian tambak dan
sawah kami yang sudah 2« tahun tidak berproduksi," ujar Slamet,
seorang pemilik tambak yang tergolong sesepuh masyarakat dukuh
itu. Pendangkalan Kali Tapak antara lain karena pada mulanya SDC
membuang ampas padatnya bersama air buangannya ke kali itu. Di
samping itu, endapan dari air buangan SDC di kali itu juga sudah
menebal dan membusuk. Jadi boleh dikata sungai kecil itu harus
dikeruk dan dikuras dulu sebelum airnya dapat dipakai mengaliri
tambak maupun sawah.
Mungkin itu sebabnya, Lurah Tugurejo, Zainal Arifin, yang juga
duduk dalam panitia kecamatan urusan ganti rugi tersebut, tetap
bertahan pada taksiran kerugian yang Rp 119 juta itu. Apalagi
itu merupakan taksiran tahun lalu. Sedang sekarang penduduk
Tapak dari hari ke hari terus menderita kerugian dengan
merosotnya penghasilan mereka yang seperduanya kini jadi buruh
pemecah batu.
Adapun soal pemindahan penduduk, Zainal Arifin yang baru 4 tahun
jadi lurah itu tak mau banyak bicara. "Saya perlu check dulu.
Begitu pula Kamituwo (Kepala Dukuh) Tapak, Amat So'eb belum
bersedia mengemukakan pendapatnya. Namun baik lurah maupun
kamituwo, secara pribadi tak menyetujui pemindahan penduduk
dari calon kawasan industri itu.
Suara warga dukuh itu lebih keras dan tegas. Kata Usman, seorang
petani tambak di Tapak: "Kami tidak mau pindah dari tanah tempat
kelahiran kami ini." Juga Sukarno, satu-satunya mantri dan
lulusan perguruan tinggi asal Tapak mendukung pendapat Usman.
"Nanti sesudah polusi SDC dapat diatasi, kami kan bisa hidup
makmur lagi," begitu pendapatnya, yang mendapat sambutan
rekan-rekan sekampungnya yang Senin malam minggu lalu berkumpul
di rumah kamituwo.
Walhasil, posisi penduduk Kecamatan Tugu di utara jalan raya dan
sepanjang pesisir itu serba terjepit. Mau tetap tinggal di situ,
polusi tetap mengancam. Dengan hadirnya satu pabrik SDC saja di
situ, Lurah Tugurejo sudah khawatir bahwa polusinya yang ke luar
pesisir lewat Kali Tapak akan menyebar sepanjang pantai, terbawa
oleh pasang-surut air laut dan Pulau Tirang Cawang yang menutupi
muara Kali Tapak. Belum lagi kalau tambah banyak pabrik di sana.
Namun kalau penduduk harus pindah dan ratusan Ha sawah tambak
mereka diuruk, apakah itu bukan kerugian besar dari sudut
pemecahan isi perut? Lagi pula ke mana penduduk Tugu mau
dipindahkan dan siapa yang harus menanggung biayanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini