KOTA Bogor yang berulang tahun ke-497 pada 3 Juni ini
menampilkan kesan kota yang dalam 10 tahun terakhir tumbuh tidak
sepenuhnya terkendali. Bangunan-bangunan baru seperti pasar,
sekolah, sarana olahraga, bermunculan. Jalan-jalan yang dulu
sempit agak diperlebar. Berbareng dengan itu kesan kota sejuk
yang di zaman Belanda disebut buiten20rg (tempat nyaman) tidak
atau belum terasa lagi.
Lihatlah Jalan Jenderal Ahmad Yani, salah satu jalan utama yang
dilewati manakala orang datang dari Jakarta. Di kiri kanan pohon
kenari memang masih berjejer. Sekalipun begitu perubahan segera
tampak manakala menengok sebelah kanan. Satu kebun karet dan
satu lapangan olahraga sekitar 10 hektar tinggal bersisa sedikit
saja. Itupun sebagian dikerangkeng Stadion Pajajaran dan
Gelanggang Remaja sehingga untuk memanfaatkannya harus membayar.
Dengan perubahan itu warga Bogor tidak terdengar ada yang
protes. Sebab dengan pelepasan sebagian tanah negara di kawasan
itu oleh pemerintah kotamadya kepada pengusaha real estate Ong
Ka Hong diterima imbalan stadion dan gelanggang remaja tadi.
Sungguh pun begitu jatah lapangan olahraga yang tidak sampai
separuh luas areal semula dirasakan kurang bijaksana.
Lebih-lebih pilihan lapangan yang lain hanya satu, di daerah
Sempur. Kecuali anak-anak sekolah, orang dewasa yang berhajat
main sepakbola di Lapangan Sempur tidak dapat berbuat banyak.
Begitu sempitnya lapangan itu sehingga penjaga garis di salah
satu tepi salah-salah terjun ke Sungai Ciliwung.
Masalah yang dihadapi Pemerintal~ Kotamadya Bogor selama ini
memang cukup pelik. Soal kesesakan kota misalnya. Sejak masa
pemerintahan Belanda luas Kota Bogor tetap 22 KmÿFD. Padahal
jika di masa lalu disebut-sebut Bogor hanya layak dihuni
5 - 6 puluh ribu penduduk, kini dijejali sekitar 4 kali
jumlah itu.
Tahun 1974 DPRD Kotamadya Bogor menetapkan pola dasar
pembangunan untuk jangka waktu sampai tahun 2000. Dalam rangka
itu disebut perlunya pemekaran kota sampai radius 5 Km.
Pelaksanaannya nihil. Karena hal itu menyangkut kesediaan
pemerintah Kabupaten Bogor sebagai tetangganya. Juga tergantung
kebijaksanaan pusat. Dan persoalan itu tampaknya tidak
sederhana.
Dalam pada itu pemerintah Kotamadya Bogor sendiri ragu-ragu
merintis soal pemekaran itu. Ketika ditanya sudah adakah
pendekatan dengan pemerintah Kabupaten Bogor misalnya,
Walikotamadya Ahmad Sobana SH hanya mengatakan, "keputusan DPRD
kan sudah disampaikan kepada propinsi, apa lagi "
Tak mengherankan Kota Bogor sekarang ini tidak sesejuk 10 tahun
lalu. Berbareng dengan penambahan tempat-tempat berjualan baru
pedagang kaki lima mendesak pejalan kaki dari trotoir. Pada
mulanya sebagian pedagang kaki lima itu mempunyai tempat
berjualan di pasar. Tapi sekali lagi apa boleh buat. Pasar-pasar
diremajakan. Akibatnya para pedagang modal lemah terpelanting.
Tapi, penyebab suhu kota ini sehari-hari sekarang menjadi panas
juga karena kendaraan. Gara-gara begitu berjubelnya kendaraan
merayahi kota, pencemaran udara tak terelakkan. Dr Soetaryo,
seorang pejabat di Lembaga Biologi Nasional satu waktu ketika
air minun kotamadya mampet berusaha menampung air hujan. "Dalam
beberapa milimeter air tertampung ternyata terdapat banyak
jelaga," kata Soetaryo. Kesimpulannya: "kemungkinan adanya
polusi udara di Bogor ini memang sudah terasa. "
Bukan itu saja. Pernah seorang pejabat lain dari LBN beberapa
waktu lalu menyatakan kerinduannya akan kicau burung. Alasannya:
"akibat banyaknya kendaraan byrung-burung sekarang ini enggan
singgah di kota ini," kata pejabat itu sebagaimana dikutip satu
koran ibukota. Peraturan menembak burung, begitu juga peraturan
yang melarang membuang sampah sembarangan, menebang pohon tanpa
izin dan berbagai macam hal lagi menyangkut ketertiban kota,
sudah ada sejak zaman Belanda.
3 Masalah
Tapi sampai peraturan itu diperbaharui DPRD Kotamadya Bogor
Desember tahun lalu, pelaksanaannya tak sepenuhnya jalan.
Masalahnya, sekali lagi ada kesan pemerintah Kotamadya Bogor
ragu-ragu bertindak. "Secara psychologis rasanya tidak mudah
kita bertindak secara by force atas dasar kekuatan fisik,"
begitu kata Sobana.
Menarik, di berbagai kota lain masalah seperti itu agaknya juga
sama. Dalam hal penindakan terhadap warga kota yang melanggar
aturan kebersihan misalnya baru terjadi di Padang pertengahan
bulan lalu. Sungguh pun begitu tak kurang menarik pula, Walikota
Bogor Ahmad Sobana, mengenakan kemeja panjang pakaian
sehari-hari, lengkap dengan topi dan sepatu pekerja lapangan,
Sabtu dua pekan lalu rurun membersihkan got-got di beberapa
jalan di kotanya. Mengingat ia baru awal Maret menjadi walikota,
kesan show tentu saja suht dielakkan. Sungguh pun begitu kepada
TEMPO ia berkata: "ada 3 masalah besar yang kini saya hadapi.
Pertama soal pendidikan dalam hubungan kesulitan tanah untuk
membangun sekohlIl-sekolah baru kedua soal kebersihan dan
ketiga soal lalu lintas."
Jadi, harapan bagi Kota Bogor untuk kembali ke zaman buitenzorg,
boleh juga ditumpahkan pada walikota lulusan Fakultas Hukum
Universitas Pajajaran 1964 ini. Sekalipun begitu ia tentu sempat
mendengar adanya surat-surat kaleng ke DPRD yang menilai
pribadinya negatif. Apa boleh buat. Seperti katanya sendiri
kepada TEMPO: "surat-surat kaleng dalam satu proses pemilihan
sesuatu pejabat itu kan wajar?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini