Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Warisan Djarot di Kebon Sirih

Djarot Saiful Hidayat mengajak DPRD DKI membahas kembali rancangan peraturan daerah tentang reklamasi. Dikebut pada akhir masa jabatan.

22 Oktober 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK ada pesan apa-apa dari Djarot Saiful Hidayat kepada penggantinya, Anies Rasyid Baswedan. Tak hadir dalam serah-terima jabatan Gubernur DKI Jakarta di Balai Kota pada Senin pekan lalu, Djarot memilih berpelesir ke Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur bersama keluarganya.

Hanya kepada Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah, ia menyampaikan wejangan terakhirnya. "Pesannya, titip Jakarta. ’Tak titip Jakarta padamu.’ Orang Jawa kan ’titip’ itu luas artinya," kata Saefullah, Ahad dua pekan lalu.

Selama 40 jam, sejak Ahad hingga Senin sore pekan lalu, Saefullah mengisi jabatan yang ditinggalkan Djarot sebagai pelaksana harian gubernur. Dalam waktu yang singkat itu, Saefullah diberi tugas oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo untuk memastikan pemerintahan DKI tetap berjalan. "Tugas kedua menyiapkan pelantikan gubernur dan wakil gubernur terpilih," ujar Saefullah.

Saat jabatannya berakhir, Djarot meninggalkan sebuah pekerjaan rumah bagi gubernur baru. Pada 6 Oktober lalu, ia menyurati Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta untuk membahas kembali dua rancangan peraturan daerah yang mangkrak, yaitu Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.

Rancangan itu akan menjadi dasar pemerintah Jakarta untuk mengutip kontribusi tambahan sebesar 15 persen tiap meter persegi pulau reklamasi di Teluk Jakarta, di luar kewajiban menyerahkan 40 persen lahan untuk kepentingan umum. Selain itu, aturan ini menjadi alas hukum bagi penerbitan izin mendirikan bangunan di pulau buatan tersebut.

Surat Djarot sampai ke meja Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi Marsudi tiga hari kemudian. Prasetyo kemudian mengagendakan rapat dengan mengundang empat Wakil Ketua DPRD dan perwakilan Pemerintah Provinsi DKI pada Rabu dua pekan lalu. Dijadwalkan dimulai pukul 10.30, rapat baru dibuka sekitar pukul empat sore. Alasannya, Prasetyo lebih dulu bertemu dengan Djarot- rekan separtainya di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Perwakilan Pemerintah Provinsi DKI dipimpin Saefullah. Dalam rapat, Saefullah memaparkan bahwa pemerintah pusat, melalui Kementerian Koordinator Kemaritiman serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, telah mencabut moratorium reklamasi Pulau C, D, dan G. Karena itu, dua rancangan peraturan daerah yang terkatung-katung perlu dibahas lagi.

Dua perda reklamasi tersebut tadinya hendak disahkan pada Maret 2016. Dewan batal mengetuknya karena pasal yang mengatur kontribusi tambahan 15 persen dari nilai jual obyek pajak hilang dari rancangan. Pembahasan selanjutnya macet setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap anggota Dewan dari Gerindra, Mohamad Sanusi, karena menerima suap dari Presiden Direktur PT Agung Podomoro Ariesman Widjaja untuk menghilangkan pasal kontribusi tambahan itu.

Sebelum mengirim surat pada 6 Oktober itu, Djarot juga menyurati Dewan pada Juli lalu untuk membahas kembali rancangan perda reklamasi. Saat itu, Dewan tak menggubris surat Djarot dengan alasan moratorium reklamasi belum dicabut Menteri Lingkungan Hidup.

Sikap pemimpin Dewan berbalik 180 derajat setelah menerima surat Djarot yang kedua. Mereka bersedia membahas kembali rancangan asalkan tak membahas soal kontribusi tambahan 15 persen.

Rapat pimpinan DPRD DKI pada Rabu dua pekan lalu memutuskan menunda pembahasan hingga gubernur baru menjabat. DPRD mempersoalkan isi surat Djarot yang terlalu rinci menyebut kontribusi tambahan 15 persen. "Saya meminta kembali agar ketentuan mengenai kontribusi beserta formulasi perhitungannya tetap diatur dan dicantumkan dalam rancangan," kata Djarot dalam suratnya. Angkanya tetap 15 persen seperti yang diinginkan Pemerintah Provinsi DKI di zaman Basuki Tjahaja Purnama.

Menurut Wakil Ketua DPRD dari Partai Persatuan Pembangunan, Abraham Lunggana alias Lulung, yang diinginkan Djarot sebenarnya sudah tertuang dalam draf sehingga tak perlu lagi disebut dalam surat. Lulung juga menyebutkan kontribusi tambahan tersebut tak punya dasar hukum. "Enggak ada regulasinya. Kami enggak mau ini," ujarnya.

Di luar pasal soal kontribusi tambahan, pimpinan Dewan tak keberatan pembahasan rancangan perda dilanjutkan. Prasetyo Edi mengatakan perda itu diperlukan karena tata ruang Jakarta berubah setelah pengembang rampung membuat Pulau D serta tengah menguruk Pulau C dan Pulau G. "Kalau semuanya entar dipakai pengembang, di mana masyarakatnya?" kata Prasetyo.

Pekan lalu, Dewan menyurati Pemerintah Provinsi untuk memperbaiki surat ajakan pembahasan rancangan perda. "Setelah diperbaiki dan bersurat kembali, baru bisa dibahas," ujar Wakil Ketua DPRD dari Gerindra, Muhammad Taufik, Kamis pekan lalu.

Empat hari sebelum menyurati Dewan pada 6 Oktober, Djarot menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 137 Tahun 2017 tentang Panduan Rancang Kota Pulau G Hasil Reklamasi Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DKI Jakarta Tuty Kusumawati mengatakan peraturan gubernur itu terbit berdasarkan arahan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Ketika hendak mencabut sanksi moratorium reklamasi, Kementerian Lingkungan mempersoalkan panduan rancang kota Pulau G. "Kami hanya menindaklanjuti," ujar Tuty, Senin pekan lalu. Menurut dia, panduan rancang kota tersebut bersifat indikatif sehingga bukan dasar bagi keluarnya izin mendirikan bangunan. Panduan pastinya baru ada setelah Perda Rencana Tata Ruang terbit.

Bagi Pulau G, panduan rancang kota ini salah satu syarat agar moratorium reklamasi dicabut. Hari itu juga setelah peraturan gubernur terbit, Pemerintah Provinsi DKI menyurati Kementerian Koordinator Kemaritiman, mengajukan pencabutan moratorium Pulau G. "Karena sudah ada dua pengajuan, kewajiban sudah dipenuhi, ya, dicabut saja," kata Deputi Bidang Infrastruktur Kementerian Koordinator Kemaritiman Ridwan Djamaluddin.

Pengajuan sebelumnya dilayangkan pada 23 Agustus lalu. "Itu permintaan Gubernur DKI," ujar Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Pandjaitan.

Maka, tiga hari kemudian, Kementerian Koordinator Kemaritiman membalas surat Pemerintah Provinsi DKI dengan mengabarkan bahwa moratorium reklamasi 17 pulau buatan di Teluk Jakarta, termasuk Pulau G, dicabut. Atas dasar inilah Pemerintah Provinsi menyurati Dewan pada 6 Oktober untuk membahas kembali rancangan perda reklamasi.

Sebelum lengser dari Balai Kota, Djarot mengatakan ia menyurati Kebon Sirih- alamat DPRD DKI, yang gedungnya terletak di punggung Balai Kota- untuk duduk bersama membahas rancangan perda. Ia menyanggah mengebutnya sebelum masa jabatannya habis. "Kewajiban saya adalah berkirim surat kepada DPRD dengan melampirkan keputusan dari pemerintah pusat," ujar Djarot.

Ihwal tak adanya pesan untuk Anies, Djarot mengaku tak menitipkan apa-apa. "Tidak kasih wejangan. Sama-sama dewasa," katanya.

Anton Septian, Friski Riana, Devy Ernis, Avit Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus