Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JUAN PRECIADO tak niat-niat amat mendatangi kota Comala. Hanya wasiat terakhir ibunya yang membuat dia menempuh perjalanan jauh ke kota itu untuk mencari Pedro Paramo, ayahnya. Sesampai di Comala, Juan Preciado menemukan sebuah kota gersang yang telah kehilangan denyut. Saat bertemu dengan seseorang di sana, kabur sudah apakah Juan Preciado sedang berhadapan dengan manusia, hantu, atau hanya suara di dalam kepalanya sendiri.
Ziarah Juan Preciado dan atmosfer Comala yang kering, mati, dan magis ini ditangkap oleh Hanafi dan menjadi dasar karya-karyanya dalam pameran "Xalisco Performative Exhibition: Juan Preciado" di Galeri Salihara, Jakarta hingga 28 Oktober mendatang. Pameran yang menjadi rangkaian pergelaran Literature & Ideas Festival Salihara 2017 itu merepresentasikan novel karya penulis Meksiko, Juan Rulfo, berjudul Pedro Paramo.
Hanafi seolah-olah membangun sebuah kota di tengah galeri itu. Sebagaimana dideskripsikan Juan Rulfo dalam novelnya, Comala adalah kota yang, "Kelihatannya sepi, sangat terbengkalai. Nyatanya, seperti tidak ada yang tinggal di sini sama sekali."
Dalam pameran, kesan kota sunyi yang ditinggalkan penduduk terasa lewat pemilihan dominasi warna terakota yang buram. Potongan-potongan narasi dari novel Pedro Paramo tertera di sisi tiap karya. Hampir enam bulan Hanafi menekuni novel tipis itu untuk mempersiapkan pameran. "Ini adalah jenis novel yang mampu memunculkan visual gambar ketika kita membacanya," ujar Hanafi.
Saat pertama memasuki galeri, mata segera tertumbuk pada sebuah tembok melengkung dari bata yang dibangun memanjang di ujung ruangan. Separuh dari bagian tembok itu roboh. Di salah satu sisi tembok, terpasang sebuah prasasti (atau nisan?) yang menerakan nama Pedro Paramo.
Tembok ini tak benar-benar ada dalam setting novel Juan Rulfo. Begitu pula sumur tua yang didirikan di tengah ruangan. Malah hampir semua karya Hanafi dalam pameran ini sebenarnya bukanlah perwujudan dari apa yang tertera di dalam novel, melainkan murni interpretasi si seniman, yang kemudian dapat berdiri sendiri tanpa terikat pada isi novel itu. "Saya tidak membuat ilustrasi yang melengkapi novel, melainkan menafsir bebas apa yang saya rasakan ketika membaca Pedro Paramo," ujar Hanafi.
Karya yang cukup dekat menggambarkan apa yang muncul di novel antara lain tempat penyimpanan gabah yang mengingatkan pada lahan pertanian luas yang dikuasai keluarga Pedro Paramo. Ada pula sebuah ranjang besi tanpa kasur. Barangkali ini adalah ranjang yang ditiduri Juan Preciado saat berjumpa dengan hantu-hantu, atau mungkin pula ranjang yang ditempati tokoh Susana San Juan dalam kegilaannya. Ranjang kosong itu seolah-olah menyuarakan kesendirian dan ketidaknyamanan.
Pedro Paramo ditulis Juan Rulfo pada 1955 dan hingga kini menjadi kanon sastra terpenting di Meksiko, juga dunia. Novel yang dikategorikan dalam genre realisme magis ini adalah bacaan wajib bagi murid-murid sekolah di Meksiko. Penulis Gabriel García Márquez hafal Pedro Paramo dari awal hingga akhir, dan menyebut buku ini sebagai salah satu pembuka jalan saat menulis novel magnum opusnya, Seratus Tahun Kesunyian.
Sudut pandang pertama yang muncul dalam novel adalah berdasarkan perspektif Juan Preciado. Namun sesungguhnya ada banyak penutur dalam kisah ini, termasuk Pedro Paramo sendiri.
Perjalanan panjang Juan Preciado mencari Pedro Paramo ditampilkan Hanafi lewat karya berupa tujuh kemeja garis-garis yang tergantung pada tiang-tiang. Kemeja disusun dari yang bersih tanpa noda, lalu perlahan-lahan sampai ke kemeja bernoda bercak hitam. Noda merembeti kemeja dari sedikit di bagian bawah, menutupi separuh bagian badan dan lengan, hingga memenuhi seluruh kemeja sampai pola garisnya tak terlihat lagi.
Ini dimisalkan sebagai kemeja yang dikenakan Juan Preciado dalam pencariannya. "Aku datang ke Comala karena diberi tahu bahwa ayahku, seseorang bernama Pedro Paramo, tinggal di sana," demikian narasi yang tertera di dinding di balik kemeja-kemeja itu. Kemeja bergaris ini serupa dengan yang dikenakan tokoh Juan Preciado (Carlos Fernández) dalam film Pedro Paramo pada 1967.
Dalam karya Hanafi, tentu saja tak mengherankan bila sosok Pedro Paramo sering muncul. Terutama dalam karya gambarnya. Hanafi sebenarnya membuat total 30 sketsa gambar berdasarkan pemaknaan terhadap novel itu. Namun hanya sembilan yang dipamerkan.
Pedro Paramo adalah anak tuan tanah di Comala yang arogan, kejam, dan peleceh wanita. Satu-satunya cinta sejati Pedro adalah Susana San Juan, teman masa kecilnya. Ketika Susana mati, Pedro menyumpahi seisi kota dan menolak mengoperasikan lahan pertanian yang menjadi sumber hidup utama para penduduk. Comala pun perlahan mati dalam kelaparan, hanya hantu-hantu yang tersisa sebagai penghuninya.
Dalam gambar-gambar Hanafi, Pedro Paramo dimunculkan lagi-lagi berdasarkan tafsir bebasnya. Ia adalah sosok manusia bersayap hitam yang melayang-layang atau mengendap di antara tembok tua. Salah satu gambar bahkan hanya menampilkan dua sayap yang tergantung di palang kayu dengan tambahan tulisan "Aku baru tahu, sayap mereka dapat digantung". "Dalam imajinasi saya, Pedro Paramo adalah sosok yang tak bersatu dengan alam dan bumi," ujar Hanafi.
Moyang Kasih Dewimerdeka
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo