PENGUSAHA minyak, kata orang, bagaikan kucing. Jangan dipantau dari "ngeong"-nya, sebab tak jelas apakah si kucing lagi bercinta atau berkelahi. Maka, Anda perlu hati-hati, umpamanya, membaca berita di akhir April ini. Exxon, perusahaan minyak terbesar di dunia, sedang merencanakan mengurangi 25% atau 36.000 orang karyawannya yang tersebar luas di cabang-cabang perusahaan di seluruh dunia. Adakah Exxon, yang batu fondasinya diletakkan oleh John D. Rockefeller pada 1870-an, terguncang juga oleh anjloknya harga minyak yang kini menjadi antara US$ 10 dan US$ 12 per barel? Yang jelas, hingga tahun lalu Exxon - menurut majalah Fortune yang sejak 32 tahun lalu menyusun peringkat 500 perusahaan besar di Amerika Serikat masih salah satu dari dua perusahaan yang menduduki peringkat teratas. Ia dan General Motor (GM) dari tahun ke tahun berebut menjadi juara atau runner up. Pada 1954, ketika peringkat 500 perusahaan itu mulai dibikin oleh Fortune, GM nomor satu, dan Exxon nomor dua. Dua puluh tahun kemudian, ketika boom minyak, 1974, Exxon menggeser GM. Di tahun-tahun berikutnya dua perusahaan raksasa itu silih berganti menduduki tempat pertama. Tahun lalu, disebutkan dalam Fortune nomor akhir April lalu, Exxon kembali menjadi nomor dua. Dan inilah cerita tentang tujuh perusahaan minyak yang dikenal dengan nama The Seven Sisters. Perusahaan minyak, hingga menjelang akhir abad ke-20 kini, memang tetap unik, berbeda dengan jenis perusahaan lain. Sejarah tujuh perusahaan itu, misalnya, yang diceritakan dalam sebuah buku terbitan Bantam Book 1976, The Seven Sisters, seperti tak mengikuti hukum ekonomi biasanya. Walau harga minyak sedang menukik, tetap saja produksi minyak melimpah. Dan mengapa ini terjadi, tak sepenuhnya terungkapkan oleh Anthony Sampson, penulis buku itu . Ada yang mengatakan karena orang tak bisa berpisah dengan minyak, sementara bahan baku energi yang lain yang sama murahnya belum ditemukan. Tapi alasan itu masih bisa diperdebatkan, umpamanya mengapa bahan pokok makan - yang tentunya juga menjadi kebutuhan vital manusia nasibnya tak seperti minyak. Yang jelas, dari tujuh perusahaan minyak raksasa yang disebut The Seven Sisters itu, setidaknya 5 masih termasuk 15 perusahaan terbesar kini. Sebutan itu sendiri, yang melekat hingga kini, pertama kali muncul sekitar 1913. Nama "Tujuh Dara Bersaudara" itu berasal dari mitologi Yunani, yakni tujuh dara anak Dewa Atlas yang kemudian dijadikan tujuh bintang penguasa langit. Yang kemudian terasa kurang tepat buat sebutan tujuh raksasa minyak, sebenarnya mereka tak sepenuhnya bersaudara. Hanya tiga perusahaan yang benar-benar lahir dari satu orang (John D. Rockefeller) yakni Exxon, Mobil, dan Chevron atau disebut juga Socal. Sisanya justru merupakan saingan sepanjang zaman. Memang, peta perminyakan dunia tak lagi sebagaimana di tahun 1950-an ketika Tujuh Dara Bersaudara masih berjaya semuanya. Muncul kemudian perusahaan-perusahaan minyak baru yang berkembang menyaingi mereka, antara lain yang didirikan oleh Jean Paul Getty, milyuner setangguh Rockefeller, kemudian. Toh, buku Sampson ini tetap menyimpan sejarah bagaimana pernah suatu ketika dunia minyak hanya dikuasai oleh si Tujuh itu. Dan Sampson, veteran angkatan laut Inggris dari Perang Dunia II, wartawan The Observer selama 12 tahun, menuliskannya secara menarik. Bukan terutama dari kaca mata seorang ahli ekonomi atau spesialis minyak. Tapi, sebuah kisah yang penuh warna. * * * Kisah Tujuh Dara Bersaudara tergolong cerita paling aneh di dunia. Dalam sejarahnya tujuh perusahaan minyak dunia itu mampu mendominasi beragam industri raksasa lainnya. Bahkan tak jarang pemerintah Barat mendelegasikan banyak fungsi diplomatik kepada mereka. Dalam pada itu, pelan-pelan kontrol minyak mereka secara bertahap disaingi oleh negeri-negeri penghasil minyak itu sendiri sampai, tiba-tiba, Oktober 1973 - tiga belas tahun setelah organisasi negara eksportir minyak, OPEC, berdiri - dikuasai oleh negeri-negeri produsen itu. Sejak itu pula, dan kemudian, tujuh raksasa perdagangan minyak dunia itu bagai terperangkap pada tari jerat politik, tergamang-gamang antara memenuhi permintaan konsumen Baratnya dan memelihara kerja sama dengan para produsen minyak. Terkagok-kagok bagaimana mereka harus menempatkan diri antara kepentingan Israel dan negara-negara Arab penghasil minyak yang ingin saling menghancurkan. Pada mulanya adalah "Colonel" Edwin Drake (1819-1880), seorang kondektur pada sebuah perusahaan kereta api di Pennsylvania. Orang ini tertarik mempelajari cara mengebor minyak. Dan kemudian ia memang berhasil menggali sumur minyak pertama di Titusville, Pennsylvania, AS, pada 1858. Teknik Drake terhitung modern waktu itu, hingga boleh disebut inilah awal industri minyak di Amerika. Kemudian pemburuan minyak meningkat selepas Perang Saudara, 1861-1865. Mereka, para pemburu emas hitam, kebanyakan kaum veteran perang. Mula-mula sempat membikin mereka segera menjadi orang kaya baru, sehingga buruan awal - batu bara dan emas - pada ditinggalkan. Daerah barat daya Pennsylvania jadi "boom" minyak. Tapi nasib memang tak terduga. Ketika minyak melimpah mengikuti hukum ekonomi - harganya pun anjlok. Kehidupan para penambang minyak pun langsung papa sengsara. Bayangkan, jika setahun setelah penemuan minyak harga mencapai US$ 20 satu barel, pada akhir tahun berikutnya harga jatuh begitu jauhnya: menjadi 10 sen dolar per barel. "Kadang-kadang satu barel minyak lebih murah dari harga satu barel air," tulis Sampson yang berkebangsaan Inggris. Dan si pionir, Edwin Drake, tak terkecuali: ia pun bangkrut - tak sepenuhnya oleh harga minyak, tapi juga karena hobi judinya. Lalu datanglah seorang bekas pemegang buku ke ladang-ladang minyak yang nyaris terbengkalai. Namanya John D. Rockefeller, 26 tahun usianya saat itu. Ia membeli sebuah kilang penyulingan minyak di Cleveland. Suatu keberanian yang berangkat dari kemampuan memahami kenyataan muskil industri baru tersebut. Lewat analisanya yang dingin, calon raja minyak kaya raya itu seperti mampu membedah masa depan. Kecepatan berhitungnya konon "bisa menggungguli Yahudi". Ia memang terdidik berdisiplin tinggi: di masa kecil bila John menyalahi aturan, ibunya akan mengikatnya di sebuah tiang, lalu melecutinya. Ketika menyurvei kawasan minyak, John terpana akan keadaan yang porak-peranda. Ia mencela sikap persahabatan yang tak kenal batas antara para produsen minyak. Sikap terlalu ramah dan banyak bicara juga dikecamnya. Ia memang pendiam dan seperti tercermin dari matanya yang kecil, tulang pipinya yang menonjol, dan wajahnya yang panjang - suka memendam perasaan. Kepada orang-orang muda, John acap menyitir serangkum kuatrain ini: Seekor burung hantu tua bijaksana termenung di pohon ek Lebih banyak ia melihat lebih kurang ia bicara Lebih kurang ia bicara lebih banyak ia mendengar Mengapa kita tidak meniru si burung tua? Kuatrain yang konon dikarangnya sendiri itu menjadi falsafah hidup dan kegiatan usahanya. Di Cleveland, Rockefeller berkongsi dalam usaha penyulingan minyak dengan dua orang Inggris, Clark bersaudara. Tapi, segera, dua bersaudara itu didepaknya keluar. Ia dengan berani memperluas usahanya: dengan modal pinjaman, dan dengan partner baru. Ia sadar bahwa cara satu-satunya untuk menguasai industri baru itu bukan dengan memproduksi minyak. Tapi, dengan menyuling dan menyalurkannya. Dan cara memenangkan persaingan adalah dengan mengupayakan transpor yang lebih murah. Dengan bantuan seorang sahabat barunya dari perusahaan kereta api, Henry Flagher, John mengajuk agar memberi rabat diam-diam kepada pengangkutan minyaknya. Apakah Rockefeller yang menghancurkan persaingan bebas ataukah pihak kereta api? Baru belakangan, cara yang diambilnya itu dikomentari. "Siapa yang dapat membeli daging paling murah? Ibu-ibu untuk anak dan suaminya, pelayan untuk hotelnya, atau leveransir untuk sebuah angkatan bersenjata?" Kira-kira maksudnya, dengan cara itu ia lebih mementingkan pelayanan masyarakat daripada yang lain. Ada sifat dan cara berusaha John yang membuat ia banyak dibenci. Yakni sifat "ketertutupan"-nya. Setelah usaha penyulingan dan perdagangannya berkembang pun, para saingannya tidak tahu apa yang membuat mereka kalah sigap. Bahkan ketika ia membeli perusahaan saingannya di Cleveland, John tetap memendam rahasianya. Pada 1870 - hanya tujuh tahun setelah mendirikan kilang minyak pertamanya di Cleveland - Rockefeller membangun perusahaan saham bersama bernama Standard Oil Company, dengan modal satu juta dolar. John sendiri memegang 27% saham. Perusahaan minyak ke-10 Amerika itulah yang kemudian berkembang menjadi: Standard Oil of California (Socal), Standard Oil of Indiana (Amoco), Standard Oil of New Jersey (Exxon), dan Standard Oil of New York (Socony). Perusahaannya yang pertama itu juga disebut Standard Oil of Cleveland, Ohio, disingkat Sohio. Pada 1875 para penyuling minyak kian efektif, terorganisasi, dan Standard Oil menempati posisi memimpin. Mereka mendirikan Central Association, dan Rockefeller duduk sebagai presidennya. Sejak itu, lebih mudah mengajuk perusahaan lain untuk menjual perusahaannya kepada Standard, yang memberikan semacam perlindungan dari badai kompetisi, di samping keuntungan yang tetap dan aman. Rockefeller, dengan gayanya yang khas, melihat kemenangannya itu bukan karena keserakahan. Tetapi, karena kelemahan kendali para pemiliknya sendiri. Itulah. Sementara para penambang minyak menjadi kocar-kacir karena produksi melimpah, Rockefeller melahap lawannya satu per satu. Pada 1883, ia membentuk Standard Oil Trust, untuk operasi antarbenua. Keuntungan dari bisnis perkeretaapian yang sudah lebih awal disusupinya - kurang menguntungkan. Tapi ini segera ditutupi oleh laba yang disedot dari jaringan pipa yang menimpa minyak di sepanjang timur Amerika Serikat. Dengan ini malah ia mulai memperteguh monopoli. Memang, perusahaan kereta api dan minyak di Amerika tumbuh sejalan. Siapa menguasai keduanya, dialah bakal jaya - ini agaknya rahasia sukses Rockefeller. Melalui markas besarnya di Broadway 26, New York, Rockefeller mengendalikan perusahaan yang unik di sepanjang sejarah dunia. Sampson menulis, "Perusahaan itu hampir tak terjamah oleh pemerintah negara bagian yang tampak 'minder', atau bahkan oleh pemerintah federal di Washington. Lewat sogok dan kasak-kusuk, mereka menciptakan "teman-teman" di kalangan penguasa, dan sekelompok ahli hukum siap adu argumentasi untuk mempertahankan posisi. Penghasilannya lebih besar dari kebanyakan negara bagian (sebagaimana penghasilan sejumlah perusahaan multinasional modern lebih besar dari yang diperoleh banyak negara dunia, sekarang ini)." Keuntungan yang diperolehnya cukup mampu untuk melakukan ekspansi ke bidang usaha lain, misalnya "membeli" bank. Apalagi bila perusahaan dan bank itu bertingkah macam-macam dan dianggap mencoba-coba merintangi lenggang Rockefeller. Ketika industri minyak kian berkembang, dan Rockefeller menjarah dari Pennsylvania ke Ohio, Kansas, dan California, ia mulai membeli ladang-ladang minyak di samping perusahaan-perusahaan minyak. Ini menjadikan Standard Oil menyerupai perusahaan multinasional yang integrated dari masa kini. Minyaknya mulai diekspor ke Eropa, ke Timur Tengah, dan Timur Jauh. Minyak itu digunakan dari hanya minyak tanah untuk lampu tempel dan bahan bakar untuk dapur sampai minyak bahan bakar kapal. Pada 1885, 70 persen bisnis Standard berada di luar negeri, jaringan agen perusahaannya mendunia. Perusahaan ini memiliki jaringan mata-mata ekonomi sendiri untuk menyadap tiap prakarsa perusahaan saingan atau pemerintah tertentu. Seperti yang dicatat dalam buku Seven Sisters Rockefeller menghimpun 38 perusahaan di bawah tangannya. Yang terbesar tetap Standard Oil of New Jersey (Exxon), yang bertindak sebagai induk perusahaan (holding company). Dikenal pula dengan nama Esso, Exxon di bawah John D. Archbold - bekas seteru hancur-hancuran Rockefeller, yang kemudian memilih bergabung - tampil tangguh dan mandiri. Dalam hal memilih orang Rockefeller pun pembidik yang tepat. Archbold ini umpamanya, jadi Direktur Exxon pada usia 27 tahun. Seorang peminum kelas berat, periang, dan suka berolok-olok. Tapi dialah orang minyak tulen, yang tak tergoda oleh jenis usaha lain. Di bawah ia Exxon berkembang meyakinkan. Bahkan dalam dokumen Kongres sempat disebut sebagai "invisible government", pemerintah bayangan. Belakangan perusahaan ini lebih banyak mengurusi uang dan pasar, dan sedikit minyak. Dalam kata-kata penulis buku yang kita sarikan ini, "Perusahaan itu lebih mirip bank atau trading firm ketimbang perusahaan minyak." Bersama Shell, Exxon menguasai penuh perminyakan dunia tidak kurang selama 50 tahun sebelum perusahaan lain muncul . "Kekayaan tujuh turunan" Rockefeller lainnya adalah Standard Oil Company of New York, dengan alamat kawat Socony. Seperti Exxon, Socony mengembangkan dirinya lewat pasar yang luas: menjual minyaknya di Inggris sejak 1882. Melebarkan sayap ke Timur Jauh, dan di Cina bukan cuma minyak yang dijual, tapi sekaligus lampu tempelnya. Serupa Exxon, Socony mangkal di New York, dengan pendekatan yang lebih internasional dan canggih ketimbang yang lain. Seperti Exxon pula perusahaan ini terdorong menggeser minatnya dari berjualan minyak mentah ke perkongsian yang "integrated". Pada 1925 Socony membeli perusahaan penghasil minyak Magnolia, yang memang telah lebih dulu menjalin hubungan rahasia dengan Standard Oil. Lalu, pada 1931, ketika depresi besar muncul, ia dibiarkan merger dengan perusahaan minyak yang lain - yang mengkhususkan diri mengolah pelumas - bernama Vacuum, yang juga pernah berhubungan secara rahasia dengan Rockefeller. Penggabungan Socony-Vacuum, yang sesungguhnya seunsur, itulah yang kemudian melahirkan nama Socony-Mobil, yang lalu hanya disebut Mobil saja. Pada mulanya Mobil terbilang terkecil di antara Tujuh Serumpun, dipandang sebagai saudara kecil Exxon, yang selalu bergantung pada rivalnya yang lebih besar baik dalam hal mengambil keputusan maupun dalam soal-soal yang lebih teknis. Pada pra-Perang Dunia I, hubungan mereka dekat: selama 30 tahun sejak 1930 keduanya memiliki anak perusahaan, disebut Stanvac, yang menjual minyak di 50 negeri. Kerja sama itu pecah oleh aksi anti-trust pada 1960. Sejak itu Mobil boleh dibilang berdiri sendiri, dan pada 1966 melepas cap terakhir Standard Oil-nya. Waktu itulah namanya hanya Mobil saja. Dan berbeda dengan saat awal berdirinya, kemudian perusahaan ini mampu berkembang, bahkan sangat agresif, dan dalam banyak hal paling canggih, ketimbang "saudara" Amerika lainnya. Di California, sementara itu, pertarungan antara kaum pionir dan Rockefeller terulang. Pada 1861, dua tahun setelah industri minyak Barat berdiri, para pengebor pertama melawat ke luar negeri, tertarik oleh cerita-cerita tentang mancurnya minyak di negara bagian baru yang masih lengang. (California baru 13 tahun pisah dari Meksiko dan bergabung dengan AS). Salah seorang di antaranya, Demetrius Schofield, adalah contoh bagus dari makhluk petualang industri baru. Ia menggali sumur minyak di Pennsylvania, melawat ke Jepang untuk menyurvei pasar minyak tanah, bekerja sebagai broker minyak di New York, dan belakangan berspekulasi di bursa saham di San Francisco. Terakhir sekali, Schofield mendirikan perusahaannya sendiri, dan bermimpi menyuplai minyak di Timur Jauh. Tapi ia menjadi kecewa karena bermain minyak itu kotor dan berbau, ternyata. Sementara itu, Rockefeller, lagi-lagi ia, sudah mendirikan kantor cabang di San Francisco dan mulai mengirim minyak dari Pennsylvania dengan kapal layar, mengitari Tanjung Harapan. Para produsen minyak California mencoba melawan perang harga Rockefeller, tapi lawan satu ini ternyata sangat tangguh. Dengan ditemukannya lapangan minyak baru yang sangat besar di Pennsylvania - kali ini di dekat Kota Los Angeles (lapangan yang masih tetap memberikan royalti bagus bagi banyak penduduknya) - produksi melimpah. Akibatnya, harga anjlok. Keadaan ini diperburuk oleh datangnya lebih banyak minyak murah dari Peru. Rockefeller, justru, mengambil keuntungan dari keadaan gawat ini: pada 1895 ia membeli perusahaan Schofield seharga sekitar satu juta dolar. Dari sini ia mendapat cadangan minyak berharga, di samping kendali terhadap pasar. Standard Oil segera mendapatkan yang menjadi ambisi para penggali minyak awal: mengekspor minyak melalui Pasifik ke Cina. California kini bagian dari "raksasa hitam yang mencakar dan mencabik-cabik." Ketiga anak perusahaan milik Rockefeller - Exxon, Mobil, dan Socal - selama bertahun-tahun kemudian disebut Standard Oil Group dan oleh banyak pengecamnya dituding suka melakukan aksi bersama. Mereka menjual minyaknya pada tingkat harga yang sama, di bawah nama Standard yang serupa. Para direkturnya sama-sama orang Standard Oil, dan pemegang saham utama ketiga perusahaan itu orang yang itu juga: John D. Rockefeller. Pada tahun-tahun belakangan, seperti kita lihat, ketiga perusahaan sering seiring dalam operasi di luar negeri. Socal juga seiring sejalan dengan Taxaco. "Bagai kembar," tulis Sampson. Hubungan erat antara mereka dimulai ketika Socal mengundang Texaco bergabung dalam petualangan di Arab Saudi pada 1936. Mereka membentuk perusahaan pemasaran patungan yang disebut Caltex, untuk mengangkut dan menjual minyak ke seluruh dunia - sampai pada 1967 kongsi pecah di banyak negeri Eropa. Monopoli mulai rekah sebagian, dan terobosan paling lengkap terjadi di Texas. Negara bagian ini termasuk yang pertama memberlakukan undang-undang anti-trust. Dan ketika memergoki Standard Oil memiliki anak perusahaan gelap yang menjual minyak, mereka membeberkannya. Standard Oil karena itu menderita rugi pada penemuan besar berikutnya yang menjadi tempat lahirnya dua dari Tujuh Raksasa minyak lainnya. Ini terjadi pada 1901 di Spindletop, perbukitan terpencil setinggi 10 kaki di pantai Texas, nama paling tersohor dalam sejarah perminyakan kemudian. Nama "Puncak Gelendong" itu lahir ketika seorang insinyur cemerlang bernama Anthony Lucas, bekas perwira AL Austria, datang ke sana dan memancang pengebor minyak berputar. Itu sumur minyak pertama yang digali seorang insinyur pada waktu itu, konon. Untuk membiayai upaya tersebut, Lucas mendatangi dua pemburu barang tambang terkemuka di Pittsburg, yaitu Guffey dan Galey, yang menarik pinjaman US$ 300 ribu dari perusahaan bank milik Thomas Mellon dan Putera. Bank Mellon, yang dengan itu tampil dalam kancah perminyakan, adalah saingan berat Rockefeller. Sejak 1880-an, sebelum Rockefeller mendirikan Standard Oil, Thomas Mellon sudah jadi cukong batu bara dan perusahaan gas di Pittsburg. Dua anaknya, Andrew dan Richard Mellon, juga menjadi pemilik modal penting. Karena minat kepada batu bara itulah, mereka terlambat menyadari pentingnya ladang-ladang minyak yang terletak sekitar 50 mil ke utara tempat tinggalnya. Ketika kesadaran itu akhirnya datang, 1889, Rockefeller telah mulai menanamkan kuku monopolinya. Toh, Mellon tidak mundur. Mereka membeli sebuah ladang minyak di Economy, tak jauh dari Pittsburg, yang waktu itu dikelola kemanakannya yang advonturir, William Larimer Mellon. Mereka berekspansi dengan cepatnya, menjual minyak ke Prancis dan menanam sekitar sejuta dolar pada jaringan pipa minyak ke Atlantik. Tapi, pada 1895 mereka terpaksa melegonya kepada, siapa lagi, Rockefeller. Kembali ke cerita Lucas di Spindletop, mereka memperoleh kesempatan baru, ketika William Mellon memutuskan menjajal lagi keberuntungannya. Dan akhirnya risiko yang ditantangkan berbayar setimpal. Pada 10 Januari 1901, Lucas, yang mengebor seribu kaki, akhirnya berhasil memancarkan semburan minyak terbesar, lebih besar daripada yang diperhitungkan - semburan bulat hitam yang tingginya dua kali tiang derek yang dipasang. Dengan penemuan di Spindletop keluarga Mellon memasuki wilayah yang belum dijarah Rockefeller, dan dengan potensi yang ternyata lebih besar. Melihat perusahaan Texasnya menolak, Standard Oil tidak bernafsu lagi kembali ke negara bagian itu. Ladang baru itu cukup menggemparkan, dan empat bulan setelah penemuan, Colonel Guffey, yang dari mula mendukung Lucas, mendirikan perusahaan baru dengan bantuan kelompok Mellon. Orang ini bergaya teatrikal, selalu mengenakan topi hitam lebar, dan celana yang khas. Ia cepat menjadi orang Texas yang menentukan di perusahaan baru ini. Memang pantas bila Guffey kemudian menjadi presiden, dengan menguasai hampir separuh saham, sementara ayah-anak Mellon hanya memperoleh 13 persennya, dan sisanya dibagi-bagi di antara para investor kaya Pittsburg. Para direktur, yang umumnya belum pernah melihat Texas, ingin menghindari nama yang langsung bercitra lokal. Karena itu, mereka lebih suka memakai nama Gulf untuk perusahaan minyak baru tersebut, kendati di sana ada nama Teluk Meksiko (Gulf of Mexico) . Gulf segera menjadi perusahaan yang berkembang lumayan. Mereka menghasilkan minyak di Barat Daya dan menjualnya di Timur. Karena meluasnya pemakaian kendaraan bermotor dan naiknya permintaan bahan bakar minyak, Gulf membuka pompa bensin pertama di Pittsburg pada 1913. Perusahaan ini sejak itu menjadi saingan berat bagi berbagai perusahaan minyak Standard, dengan produksi yang jauh lebih besar daripada yang dihasilkan Exxon, dan dengan armada pengangkutan minyak dan pasar sendiri, serta dukungan bankir kaya. Di antara beratus spekulan yang mara ke Spindletop pada 1901, terdapat seorang Pennsylvania jangkung, kasar, beralis tebal, Buckskin Joe panggilannya, Joseph Cullinan, nama aslinya. Ia sudah berkecimpung dalam minyak sekitar 20 tahun sebelum bekerja pada Standard Oil. Orang ini kemudian pindah ke Texas, dengan dukungan rahasia dari Standard. Di Spindletop ia mendirikan perusahaannya sendiri, Texas Fuel Company, dengan modal hanya US$ 50 ribu. Ia mendapat separuh dari jumlah itu dari sebuah sindikat pimpinan James Hogg, bekas gubernur Texas. Sedang separuh yang lain didapatnya dari pedagang kelahiran Jerman yang disebut dengan nama Arnold Schlaet. Schlaet ini datang dari New York ke Spindletop atas nama majikannya, Lapham bersaudara, yang menguasai Leather Trust. Kerja sama antara Schlaet di New York, yang tahu tentang keuangan dan pemasaran, dan Cullinan di Texas, yang paham soal produksi, adalah basis sebuah usaha baru yang bakal lahir. Mereka segera mendirikan perkongsian yang lebih besar dengan nama yang terdengar sangar, Texas Company, yang belakangan disingkat Texaco. Culinan, sang presiden perusahaan, mendirikan kantor di bangunan kayu kecil berkamar tiga dan sebuah serambi yang berdiri di atas tiang-tiang di Beaumont. Ia memang orang yang bangga akan ketexasannya. Bahkan para stafnya dimintanya bergaya Texas. Texaco meraih untung bagus dengan membeli minyak murah Spindletop dan menjualnya kepada para pemilik perkebunan tebu di sepanjang Sungai Missisippi, dan juga kepada Standard di Timur Mereka menyelamatkan Spindletop yang kehabisan napas, ketika mereka menemukan minyak lagi sekitar 20 mil jauhnya, di Danau Asam. Pada 1904, mereka menghasilkan hampir lima persen dari semua produksi minyak Amerika. Dari New York Schlaet mulai mengembangkan perusahaan berskala nasional, untuk membuat Texaco kurang terpengaruh oleh taktik banting harga Standard. Dan pada 1908 Texaco memiliki sebuah tanker bernama Texas yang melayari Atlantik. Lima tahun kemudian, 1913, mereka telah berhasil membangun markas bertingkat 13 di Houston, yang mulai menjadi ibu kota minyak Texas. Monopoli minyak Rockefeller, yang sempat penyok-penyok dibikin Gulf dan Texaco di negeri sendiri, mulai pula tergerogoti di luar Amerika pada 1892. Serangan dimulai ketika tanker desain baru cukup aman melayari Terusan Suez dengan muatan minyak dari ladang Batum di Rusia, menuju Singapura dan Bangkok. Kapal itu bernama hlrex. Promotor prakarsa berani ini adalah Marcus Samuel, pendiri Shell. Ia adalah entrepreuneur yang melambangkan sikap mendua industri minyak Inggris, yang tidak pernah yakin apakah ia mementingkan keuntungan atau pelayanan kepada publik. Samuel berasal dari kalangan yang lebih berlatar belakang internasional ketimbang Rockefeller. Berbeda dengan pendiri industri minyak lainnya, ia Yahudi. Tentu Sam pun memiliki kepekaan Yahudi terhadap dunia sekelilingnya. Ketika Rockefeller mendirikan Standard Oil di Cleveland, Marcus Samuel muda yang pemalu dan introvet dibesarkan di tengah keluarga yang berdisiplin ketat di pinggiran timur London. Ia langsung mewarisi kekayaan yang lumayan dari ayahnya, yang berdagang di Timur Jauh. Marcus dan saudaranya serta beberapa sepupu membangun dan memperluas bisnisnya. Dan sejak awal, seperti Rockefeller, ia pun menganggap pentingnya masalah transpor ditangani. Samuel selalu mencari sumber suplai terdekat dalam memenuhi permintaan setempat. Ia mendirikan pangkalan tangguh di Jepang, tempat ia mengapalkan batu bara. Dari batu bara ia kemudian beralih minat ke bahan bakar baru, minyak. Dan orang Yahudi ini menemukannya di Rusia. Tsar setelah 1873 memperbolehkan masuknya kepentingan asing yang ingin mencari minyak di Kaukasus, sumber yang mulai tampak lebih besar daripada di Pennsylvania. Di sana dua bersaudara Nobel dari Swedia - putra penemu dinamit - telah memperoleh konsesi. Memerlukan lebih banyak modal, mereka memasukkan Rothschilds Prancis, dan mulai menjual minyak Rusia yang segera mempengaruhi lebih jauh monopoli Rockefeller. Di Eropa, kelompok Nobel dan Rothschilds mencapai kesepakatan sementara dengan Standard dan membagi-bagi pasar di antara mereka. Tapi di Asia Rockefeller mampu mempertahankan monopolinya. Sebab, Standard Oil, diperkuat oleh keuntungannya yang besar di sana, dapat menjual minyak lebih murah di pasar mana pun sampai akhirnya mendepak saingannya ke luar pagar. Marcus Samuel menjadi terlibat dalam sindikat penjualan minyak Rusia. Ia segera menyadari bahwa satu-satunya cara untuk bertahan dari perang harga yang dikobarkan Standard adalah bersaing serempak pada setiap pasar. Ia berniat memukul Rockefeller dengan jurusnya sendiri. Seperti Rockefeller, ia pasang harga tak seragam: di suatu pasar harga rendah, dan harga tinggi di pasar lainnya. Diam-diam, dengan bantuan rekan dagangnya, ia mempersiapkan pukulan utama. Ia memiliki tangki-tangki penyimpan yang dibangun di pos-pos distribusi menentukan di Timur Jauh, dan pada saat yang sama, memerintahkan sebuah armada tanker rancangan baru yang, seperti yang kemudian terjadi, sesuai dengan ketentuan direktur Terusan Suez yang berkebangsaan Inggris. Sebagaimana cerita yang berkembang di London tentang rencana baru angkutan minyak itu, kampanye ganas pun meningkat. Ini hasil kasak-kusuk Standard Oil, dalam upaya menghentikan lalu lintas tanker di Terusan Suez. Para ahli hukum melobi menteri luar negeri, Lord Salisbury para anggota parlemen berbicara tentang masalah itu dan majalah The Economist membuat komentar miring tentang "ilham Yahudi" dari rencana tersebut. Namun, Samuel telah menjadi sosok dengan posisi tertentu di Kota London, penyusun peraturan kekotaprajaan yang dapat mengharapkan beberapa dukuagan pemerintah. Dialah pengusaha minyak pertama yang dianugerahi gelar "Sir". Kapal-kapal desain baru mulai dibikin, Murex melintasi Suez diikuti Conch, Clam, dan beberapa kapal lainnya. Pada akhir 1893 kapal-kapal itu mengangkut secara tetap muatan minyak Rusia ke tangki-tangki penyimpan di sebelah timur, memberikan kepada Standard tantangan simultan yang, kecuali bagi para agen rahasia, hampir sepenuhnya mengagetkan pihak Standard. Ini tentunya segera diikuti dengan sukses serangan balik Standard Oil terhadap serigala muda Shell yang mencoba menggusur monopoli dan "orde sempurna"-nya. Ini memerosotkan lebih jauh harga minyak dunia. Tapi Samuel dan sindikatnya, dengan armada angkutan laut yang kian bertambah, berhasil melakukan terobosan ke minyak Rusia, dan pos-pos perdagangan yang bertebaran masih tetap mampu bertahan. Samuel menolak sebuah tawaran dari Standard yang ingin "membeli"-nya. Ia justru membentuk Shell Transport and Trading Company, yang dimilikinya sepertiga, berikut hak kontrol efektif bagi keluarganya. Kemudian tersebutlah Anglo-Persian Oil Company, yang dibeli oleh Sir Winston Churchill separuh pada 1914, telah menjadi sejenis binatang industri baru. Ia mulanya berkembang pesat sebagai Anglo-Persian, lalu selaku Anglo-Iranian, dan kemudian menjadi British Petroleum (BP). Perusahaan ini tampil sebagai sisi permasalahan lain bagi Shell, dan itu masih tetap berlaku: apa keuntungan bagi pemerintah Inggris memiliki perusahaan minyaknya sendiri ? Bahkan sebelum pemerintah Inggris menguasainya, perusahaan itu mempunyai cita rasa khusus, dan dengan kuat telah mencerminkan kepentingan Inggris. Pendiri sesungguhnya perusahaan ini adalah William Knox D'Arcy, petualang canduan yang pergi dari London ke Australia dan mencoba mengadu nasib dalam perburuan emas. Ia pulang tetirah ke London, ke sebuah rumah di Grosvenor Square, sampai pada 1901 ia mendengar laporan seorang geolog Prancis tentang potensi besar ladang-ladang minyak di Persia. Terangsang tak kepalang tanggung akan kisah minyak Amerika (waktu itu, kisah bukit Spindletop yang memancarkan minyak memang menyebar ke segala penjuru), ia mengirimkan dua orang untuk melakukan studi kelayakan. Mereka merundingkannya dengan Wasir Agung di Teheran bagaimana melawan tekanan orang Rusia. Dan memanfaatkan ketidakhadiran satu-satunya orang Rusia di kedutaan yang bisa memahami bahasa Persia - mereka menandatangani sebuah konsesi meliputi 480 ribu mil persegi (hampir dua kali luas Texas) dengan imbalan 20 ribu uang kontan, 20 ribu saham senilai satu pon per saham, dan 16% keuntungan bersih . Untuk memulai eksplorasi, D'Arcy merekrut seorang geolog otodidak bernama George Bernard Reynolds. Keahlian si otodidak ternyata pantas disejajarkan dengan Drake dan Lucas sebagai seorang pionir minyak yang besar. Dan ia tak cuma seorang ahli, tapi juga lelaki yang keras, penyendiri pada usia 50-an tahun. Ia pergi ke medan pengeboran, yang panasnya seperti hendak melepuhkan kulit, di kawasan Chiah Surk di sisi barat konsesi. Dengan membawa awak berkebangsaan Kanada, Polandia, dan anggota suku setempat, ia terus-menerus-mengebor selama tiga tahun tanpa hasil yang berarti. D'Arcy, setelah menanam lebih dari 200 ribu, tidak mampu menanggungkan rugi lebih banyak, terutama sejak kebiasaan borosnya di London kian meningkat. Ia lalu mendekati Burmah Oil, yang waktu itu telah menjadi perusahaan minyak kaya dan terpandang, yang berhasil meneken kontrak bagus dengan pihak angkatan laut. Ketuanya adalah Lord Strathcona, jutawan Skotlandia yang kaya yang sebelumnya mencukongi perusahaan kereta api Canadian Pacific Railway. Pemerintah Inggris, yang mulai tertarik pada minyak Persia, mendorong Burmah Oil, dan perusahaan itu setuju menambah modal tambahan bagi D'Arcy. Reynolds dan regunya pindah mengebor pada kawasan baru, dan setelah dua tahun berikutnya, pada 26 Mei 1908, mereka akhirnya menemukan sumber minyak, yang memancar 50 kaki dari permukaan tanah. Era baru Persia dimulai. Setahun kemudian, perusahaan Burmah Oil dan D'Arcy membentuk Anglo-Persian Oil Company, dan Strathcona, usianya 88 tahun saat itu, sebagai ketuanya. Kepada D'Arcy diberikan saham senilai satu juta pon. Pemilik saham terbesar berada di tangan Burmah Oil. Pada tahun-tahun belakangan, Burmah Oil, setelah minyak Burma-nya mengering, mengandalkan 23 persen sahamnya di BP sebagai keuntungan. Ini berlangsung sampai pada 1960-an, saat mereka mulai sibuk membeli berbagai perusahaan lain, termasuk Castrol di Inggris dan Signal di Amerika, sambil bertaruh habis-habisan di armada tangki. Pada masa kemerosotan 1974, mereka ikut terpukul, dan sahamnya di BP diambil alih oleh Bank of England akhir tragis perusahaan minyak Inggris paling tua. Sejak minyak Iran memancar pertama kali pada 1911, dalam masa 60 tahun sejak itu, BP mengeduk keuntungan banyak. Bahkan, bersama minyak dari Teluk Persia, BP telah menjadi salah satu perusahaan terbesar dunia, dan dengan keuntungan dari sana mereka membelanjai sukses yang kelak diraih di Laut Utara dan Alaska. * * * Masa 30 tahun monopoli minyak Rockefeller cukup mencengangkan. Dan itu melahirkan beragam pertanyaan yang masih diperdebatkan kaum sejarawan dan ahli ekonomi. Apakah keserakahan dan kezaliman pribadi-pribadi yang mendorong industri raksasa itu ke dalam pola monopoli? Atau apakah karena "alam" minyak, berbeda dengan industri lainnya, tak pernah survive sebagai usaha free enterprise bila diatur oleh hukum permintaan dan penawaran biasa? Dan adakah merupakan "takdir" bahwa usaha ini dikendalikan dan dikekang oleh seseorang - apakah oleh Rockefeller, atau oleh sebuah kartel dari segelintir perusahaan, atau oleh OPEC? Pandangan kedua telah dengan seru diperdebatkan oleh Paul Frankel, ekonom dan konsultan minyak dari London, yang berkeyakinan bahwa industri minyak adalah subyek hukum yang agak berbeda dengan industri lainnya. "Dan argumennya mendapat dukungan luas," tulis Sampson lebih jauh. Pada kebanyakan industri, masalah produksi melimpah yang mengakibatkan anjloknya harga bisa dipecahkan dengan pengolahan pasar. Misalnya, ketika harga turun, beberapa perusahaan bisa mengurangi produksi, sampai mencapai keseimbangan antara permintaan dan penawaran. "Tapi minyak," kata Frankel, "agak berbeda." Pada suatu tempat, variasi harga, kecuali pada kasus luar biasa, kecil pengaruhnya terhadap permintaan. Orang sangat memerlukan minyak - apakah untuk penerangan, pemanasan, atau kendaraan bermotor. Dan memang wajar bila orang membayar lebih banyak daripada ongkos produksi yang dikeluarkan. Dalam kata-kata kaum ekonom disebut harga tidak elastis. Bicara tentang harga minyak pada awal masa penemuannya, ada yang terasa ganjil bagi kita kini. Pada waktu itu, di Amerika, minyak sempat dianggap sama dengan binatang liar hasil buruan. Si "penangkap"-nya bisa menentukan harga seenak sendiri. Akibatnya, tulis Sampson, "Harga jatuh 10 sen per barel, dan pemilik pompa bensin harus bersaing dengan harga ayam liar, untuk menjaga langganan." Dan adakah karena itu lalu muncul orang-orang minyak yang aneh? Cobalah simak tingkah laku pimpinan generasi kedua Exxon, yakni Walter Teagle pengganti Archbold. Begitu naik kursi yang diputuskannya pertama kali adalah menentukan libur tiga bulan tiap tahun bagi dirinya sendiri. Alasannya sepele: agar hobi memancing dan berburunya tetap bisa terpelihara. Dan orang yang tinggi, gemuk dengan senyum kekanak-kanakan ini lebih suka mengendalikan perusahaan dari rumahnya sendiri. Tapi Teagle punya sesuatu. Yakni seorang detektif pribadi, yang tiap saat memberikan informasi tentang apa saja yang berkaitan dengan dunia minyak yang menyangkut Exxon sendiri maupun perusahaan lain di dunia. Dengan modal itu si pemimpin bergaya diktator ini selalu mampu menundukkan lawan-lawannya yang mencoba mengkritiknya. Dan jangan dilupakan kepintaran Teagle satu ini: ia bisa begitu dekat dengan presiden Amerika Serikat. Ia main poker dengan Presiden Harding yang pernah meminta si raja minyak agar membeli sebuah klub baseball. Ia pun bersahabat dengan Presiden Coolidge, pengganti Harding. Kepada Coolidge-lah Teagle pernah menyatakan keinginannya untuk mendirikan sebuah institut perminyakan. Dan karena waktu itu belum jelas berapa lama seseorang boleh duduk di pucuk pimpinan Exxon, Teagle pun sempat akrab dengan Presiden Hoover yang mengangkatnya sebagai penasihat masalah bisnis. Lalu dengan Presiden Roosevelt pun keakraban tetap terjalin. Bahkan orang Exxon ini secara teratur mengirimkan bingkisan daging ayam dan ikan salmon untuk sang presiden. Bayangkan, empat presiden Amerika turun dan naik, sementara di Exxon seorang Teagle seperti tak tergantikan. Saingan Teagle adalah Henri Deterding, si Belanda dari Shell, yang mulai menjadi pimpinan pada 1907. Orang ini karena keberaniannya mendapat julukan Napoleon Minyak. Orang yang bertubuh kecil dan tak mengalami pendidikan formal ini konon seorang jenius: ia dikenal bisa dengan cepat menguraikan masalah yang kompleks menjadi persoalan sederhana. Oleh teman-teman Belandanya namanya disingkat menjadi HAW, yang kepanjangan dalam bahasa Belanda berarti "orang yang tahu segalanya". Deterding tak bisa lama menetap di suatu tempat - pada mulanya ia memang bercita-cita menjadi kapten kapal seperti ayahnya. Bahkan ia pun sempat menikah tiga kali dan berganti-ganti pandangan politik. Yang agaknya membawanya ke puncak pimpinan adalah pribadinya yang konon memancarkan daya pesona tertentu, serta ambisinya terarah - selain, itu tadi, bahwa ia "orang yang tahu segalanya". Deterding tumbuh menjadi tokoh megalomania menganggap dirinya yang terbesar, selalu benar, dan mau menangnya sendiri. Dalam buku memorinya yang terbit pada 1934, ketika itu ia berusia 68, ia mengeja kata oil dengan O (kapital). Dan betapa ia takabur dengan pernyataannya ini: "Jika saya menjadi diktator dunia - dan silakan Tuan Pencetak mengeset kata-kata ini dalam huruf kapital - SAYA AKAN MENEMBAK SEMUA PEMALAS DALAM SEKETIKA." Memang, ia kemudian, setelah turun dari kursi pimpinan Shell, pindah ke Jerman bersama istri Jermannya yang dinikahinya pada 1936, dan bergabung dengan Nazi. Tapi ia tak sempat menyaksikan naik dan runtuhnya Hitler - Deterding mninggal 6 bulan sebelum Perang Dunia II. Di zaman sesudah Perang, tak lagi tercatat eksekutif minyak yang aneh-aneh macam kedua orang itu. Atau, itu hanya karena belum ada Sampson lain yang mengungkapkannya? Ketika minyak padang pasir mulai ditemukan, negeri Timur Tengah membuka harga cukup murah, padahal di Amerika harganya sedang melesat. Toh, lama-lama, orang Arab pintar juga meminta penyesuaian harga, sehingga konsumen Eropanya sempat menjerit. Pada 1947, Exxon pernah berdebat sengit dengan rekan Timur Tengahnya, sampai akhirnya setuju pada harga US$ 1,02 hingga US$ 1,43 per barel. Pada awal tahun yang sama, Aramco meneken kontrak penjualan dengan Prancis pada harga 95 sen per barel, dan dengan Uruguay pada US$ 1 sebarel, sedangkan dengan angkatan laut AS pada US$ 1,23. Perang harga kian seru menjelang 1950-an. Tetapi para industriwan minyak di Timur Tengah mampu mengendalikannya. Misalnya, pada Februari 1959, mereka menetapkan potongan terhadap harga patokan sebesar 19 sen. Pada 8 Agustus 1960, Exxon mengumumkan pemotongan rata-rata 10 sen per barel terhadap harga patokan, disusul BP yang berhasil memotong 4 1/2 persen dari harga patokan. Dari sinilah mulai timbul gagasan pendirian OPEC, yang mulanya dipengaruhi oleh pendapat Perez Alfonso dari Venezuela. Apalagi setelah buku Almarhum Presiden Nasser dari Republik Persatuan Arab (begitu Mesir di bawah Mesir disebut) terbit pada 1954 di bawah judul Philosophy of a Revolution. Dalam buku itu Nasser menyebutkan hasil temuannya di sebuah karangan terbitan Universitas Chicago, AS, bahwa untuk menyuling satu barel minyak Arab hanya diperlukan biaya 10 sen dolar. Reduksi harga pertama, 1959, kian mendorong produsen minyak bersatu. Kongres Minyak Arab pertama, yang juga dihadiri peninjau Iran dan Venezuela, menolak reduksi terhadap harga patokan. Reduksi kedua, yang dipimpin Exxon, melahirkan OPEC dalam pertemuan di Baghdad, 1960. Sejak saat itu, kita tahu, Tujuh Raksasa Minyak tidak dengan seenaknya menetapkan harga minyak mentah. Dimulai oleh Libya, yang mulai basah minyak kualitas tinggi, dengan sedikit kadar sulfur, harga bisa dikerek terus - antaranya lewat ultimatumnya yang terkenal untuk memperoleh tambahan 40 sen per barel. OPEC kemudian bukan saja mampu mencabut wewenang seven sisters dalam penentuan harga, tapi juga, Oktober 1973, mampu mengatrol harga minyaknya sampai 127% dalam masa tiga bulan, menjadi US$ 12 per barel. Masa murah rezeki bagi produsen minyak itu mencapai puncaknya pada awal 1979, ketika harga patokan OPEC mencapai US$ 40 per barel, atau 15 kali lebih mahal dari harga pada awal 1970-an. Penyebabnya revolusi di Iran. Masa murah rezeki bagi negeri-negeri OPEC akhirnya sirna juga. Kini dengan harga minyak sekitar US$ 10-12 per barel - itu pun mungkin masih akan turun lagi - negeri minyak yang tergabung dalam OPEC harus memalingkan perhatian ke sumber penghasilan lain juga. Dan ajaibnya, berbagai perusahaan minyak raksasa - seperti dikemukakan pada awal tulisan ini - masih mampu bertahan pada peringkat atas daftar 500 perusahaan susunan Fortune. Negeri produsenlah, meski tetap kena baunya, berkurang uangnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini