LEBARAN sudah berlalu. Tapi sedikit kenangan masih tersisa:
wajah-wajah kumal dengan tubuh dekil berkeliaran menengadahkan
tangan di pintu-pintu rumah, jalanan dan di halaman
masjid-masjid. Mereka yang rupanya bernasib kurang beruntung
telah memanfaatkan hari besar bagi umat Islam itu untuk
meminta-minta. Dan itulah yang dapat disaksikan dari tahun ke
tahun pada hari lebaran, terutama di kotakota besar pulau Jawa.
Belum berhasilkah zakat-fitrah menopang hidup para fakir miskin
itu -- setidak-tidaknya pada hari lebaran itu? "Bebaskanlah para
fakir miskin dari berkeliling (meminta-minta) pada hari lebaran
itu" sabda Nabi Muhammad. Padahal zakat-fitrah itu sendiri hanya
menuntut 3 liter beras -- atau makanan sehari-hari -- atau
jumlah uang senilai dari si mampu. Begitu pula halnya dengan
zakat harta zakat al-maal -- sejenis zakat yang dituntut dari
para pemilik emas/perak, sejumlah ternak atau hasil panen --
kekayaan -- yang sudah sampai pada suatu jumlah yang terkena
wajib zakat (nisbah) dan sudah berjangka waktu tersimpan
setahun.
Kewajiban agama tersebut rupanya tak selalu otomatis
dilaksanakan umat Islam. Akibatnya masih terlintas kesan bahwa
potensi sumber dana yang begitu besar masih menghidangkan jurang
antara si punya dan si miskin. Padahal menurut Profesor Hamka,
soalnya mudah saja. Zakat berarti pensucian. Sehingga, "dengan
berzakat (zakat fitrah atau zakat harta) seseorang membersihkan
harta kekayaannya". Kelalaian ini mungkin disebabkan kurang
memahami kewajiban ini. Tapi barangkali juga karena masih
dihinggapi rasa enggan pada sementara kalangan yang semestinya
melaksanakannya. Bila sementara ulama menyamakan zakat ini
dengan semacam pajak, tentu kelalaian tadi tak sulit difahami
sebab toh para anak negeri di sini masih banyak yang takut
bertemu muka dengan petugas-petugas pajak.
Sebagai salah satu dari rukun Islam yang lima itu, perkara zakat
agaknya tak segairah pelaksanaan menunaikan ibadah haji,
misalnya. Padahal ibadah haji terletak pada urutan terakhir,
sementara zakat merupakan rukun keempat. Rukun kelima itu
bersifat individuil, sedangkan zakat merupakan ibadah yang
bertujuan kemasyarakatan. Seperti kata KH Taufiqurrahman, Ketua
Ikatan Masjid Indonesia, "zakat bisa dUadikan alat pemecahan
problim sosial dan lingkungan". Dalam al-quran sendiri tak
kurang dari 32 buah ayat yang mengingatkan pemeluk Islam akan
kewajiban ini.
Namun tak berarti bahwa kurang sekali mereka yang melaksanakan
zakat. Apalagi zakat fitrah. Cuma saja, sebagai yang diakui KH
Taufiqurrahman, "pelaksanaannya selama ini banyak yang
berdasarkan fikiran sendiri". Artinya si wajib zakat langsung
memberikannya kepada yang berhak menurut pilihan hatinya. Dan
ini belum tentu tepat pada sasaran sebenarnya. "Mengingat di
Indonesia orang Islam merupakan jumlah terbesar, sebaiknya
pengumpulan dan pembagian zakat dilakukan secara teratur", ujar
Taufiqurrahman yang organisasinya menghimpun sekitar 200 mesjid
di seluruh Indonesia -- diperkirakan di Indonesia terdapat
sekitar 90.000 mesjid. Karena itu KH Taufiqurrahman merasa perlu
ada organisasi yang mengkordinasikan pelaksanaan zakat. Bahkan
Kiyai ini berpendapat suatu waktu Indonesia memerlukan sebuah
Undang-Undang Zakat. Memang soal ini-katanya sudah pernah ada
orang yang memikirkan di tahun 1950-an. Dan kabarnya pernah pula
ada konsep perkara zakat, tapi terbenam di antara map-map
Departemen Agama. Bagi Taufiqurrahman, pelaksanaan zakat yang
cuma bersifat anjuran atau sukarela, dirasa belum cukup.
Bila demikian apakah tak akan menimbulkan reaksi dari masyarakat
yang bukan Islam? Misalnya dihubungkan dengan kekhawatiran
bahwa itu berarti "pelaksanaan syariat Islam di negara
Indonesia". Tapi sang Kiyai tak punya kekhawatiran seperti itu.
Sebab baginya yang organisasinya sendiri tak menyelenggarakan
kegiatan pengumpulan zakat atau mendasarkan dananya pada hasil
zakat -- kenyataan bahwa penduduk Indonesia terbanyak penganut
Islam, merupakan alasan kuat dan wajar bagi tuntutan sebuah
undang-undang atau suatu peraturan yang bersifat "memaksa"
terhadap pelaksanaan zakat.
Syahdan adalah tak kurang dari Presiden Suharto sendiri yang
mula-mula mencetuskan gagasan pengorganisasian pelaksanaan
zakat. Kisahnya, menurut penuturan Ustadz Muchtar Lutfy El
Anshary, seorang ulama dan pemimpin organisasi da'wah dan
pendidikan Islam Al Irsyad, kira-kira begini. Suatu hari di
tahun 1968, sekembali dari perjalanan dinas ke Sumatera,
Presiden Suharto memanggil Menteri (waktu itu) Penghubung
MPR/DPR -- Pemerintah, Mintareja SH. Presiden mengemukakan
kepadanya, apakah zakat fitrah tak bisa dimanfaatkan sebagai
salah satu modal pembangunan. Artinya, tak dibagikan begitu
saja seperti selama ini tapi dijadikan suatu usaha yang
bermanfaat. Lalu hasilnya bisa dipungut secara permanen untuk
fakir miskin. Gagasan tersebut tercetus, karena Presiden melihat
suatu kepincangan di masyarakat (terutama di Sumatera yang baru
dikunjunginya). Ada jurang yang lebar, antara orang miskin dan
orang kaya. "Yang susah tetap susah, yang kaya makin kaya.
Bagaimana way outnya?" tanya Presiden. Kebetulan dalam
perjalanan itu, di Aceh, Presiden sempat mengetahui ada
penyelenggaraan pengumpulan dan pembagian zakat melalui
organisasi bernama Badan Amil Zakat (BAZ). Badan ini memang
sudah dibentuk oleh Pemerintah setempat sejak 1959. Bagaimana
bila badan seperti itu dibentuk secara nasional? Begitu
kira-kira gagasan Presiden.
Akhirnya Presiden minta kepada Mintareja SH supaya gagasan itu
diteruskan kepada para ulama di Jakarta. Ini dilaksanakan oleh
Menteri Mintareja di suatu Jum'at, Januari 1968. Maka
berkumpullah di rumah pribadi Mintareja 8 ulama antara lain Prof
Dr. Hamka KH Sjukri Ghozali, HM Saleh Suaidy (almarhum), KH
Taufiqurrahman, Al Ustadz Ali Alhamidy dan Al Ustadz Muchtar
Luthfy. Para ulama ini menyambut baik gagasan Presiden tadi.
Tapi sebaliknya mereka semua sepakat bahwa peaksanaan dan
pembagian zakat-fitrah, tak mungkin dirubah dan menyimpang dari
ketentuan agama. Yakni, zakat fithrah mesti segera dikumpulkan
dan langsung dibagikan di bulan Ramadhan atau Puasa. Lalu timbul
pula kesepakatan bahwa tak salah bila Presiden juga
menyelenggarakan zakat almaal atau zakat harta. Presiden
menyetujui usul ini.
Begitulah kemudian para ulama tadi selama 3 bulan sibuk
mendiskusikan dan merumuskan pedoman dan anjuran untuk Presiden.
Meliputi hal-hal, apa itu zakat, tujuannya, pendapat para ulama
dulu dan mencari jalan tengah yang tak terikat sesuatu mazhab
tertentu. Yang paling penting ialah pembahasan, "apakah mungkin
fihak ke-3 yakni amilin (pengumpul dan pembagi zakat) perlu
membentuk badan amil zakat. Dan bagaimana kalau fihak tersebut
adalah Pemerintah Indonesia?" "Justru bila pemerintah, adalah
amat baik", tutur Ustadz Muchtar Luthfy mengungkapkan. "Hingga
secara psikologis, bisa menghilangkan hal-hal yang kurang baik.
Yakni fihak yang kaya tak bisa menyombong karena telah memberi
zakat dan si fakir miskin tak merasa rendah karena menerima
zakat".
Tak lama kemudian Presiden dengan SP Presiden No. 07/PRIN/1968,
31 Oktober 1968, mengangkat (waktu itu) Mayjen Alamsyah, Kolonel
Inf. Drs. Azwar Hamid dan Kolonel Ali Afandi, sebagai pembantu
Presiden menyelenggarakan penerimaan zakat. Para Gubernur dan
Kepala Daerah membentuk pula BAZ-BAZ. Dengan dasar hukum SK
Gubernur/Kepala Daerah atau bersama DPRD-nya.
Langkah Presiden tersebut tak sepi dari reaksi. Menurut Ustadz
Muchtar Luthfy, reaksi-reaksi yang bernada kurang setuju memang
muncul dari sementara orang Islam. Yaitu dari kalangan majelis
ta'lim, organisasi Islam dan semacamnya yang merasa dirugikan
karena mereka selama ini melakukan pengumpulan zakat untuk dana
organisasi.
Reaksi yang bersifat menolak itu kini sudah tak terdengar lagi.
Atau, seperti dugaan Drs. AM Fatwa, Sekretaris Badan Pembina
Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadakah (BAZIS) DKI Jakarta,
"diam-diam barangkali belum hilang sama sekali". Sedang menurut
KH Taufiqurrahman, "tak ada lagi karena memang ternyata hasilnya
lebih baik". Kalau pun ada kritik, katanya, cumalah terhadap
terlambatnya pembagian. Dan keadaan seperti itulah agaknya yang
oleh Buya Hamka dikatakan, "dulu mereka ribut membantah, tapi
begitu ada kesempatan mendapat bagian, ramai pula meminta
hasilnya.
Namun masih ada sedikit soal, apakah sah Pemerintah bertindak
sebagai Badan Amil Zakat. "Sah", kata HM Adiwidjaja, Ketua
Pelaksana Harian Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (BAZIS)
DKI Jakarta. Menurut Adiwidjaja "itu ada disebut dalam al qur'an
dan Sunnah. Bahwa pemerintahah yang berhak mengumpulkan dan
membagikan zakat kepada yang berhak". Bahkan menurut H Isa
Edris, Wakil Ketua Bazis "pemerintah mana saja berhak mengambil
harta orang yang tak mengeluarkan zakat". Pendapat ini pun
bertolak dari ayat al qur'an.
Bagi Hamka yang Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia Pusat,
Presiden belum boleh disebut sebagai Badan Amil Zakat. Sebab
Presiden hanya bertindak sebagai seorang warga yang beragama
Islam dan-dipercayai sebagai wakil. "Sama seperti saya misalnya.
Ada yang mau berzakat meminta kepada saya untuk menyampaikannya
kepada yang berhak. Itu saja", kata Hamka. Menurut Hamka, negara
atau pemerintahan yang berhak membentuk Badan Amil Zakat ialah
negara seperti Malaysia, yang resmi mencantumkan agama Islam
sebagai agama negara dalam konstitusinya.
Faham Hamka ini berbeda dengan pendirian KH Taufiqurrahman di
atas tadi. Atau tak sama dengan pendapat HAM Fatwa, Muchtar
Luthfy atau Ustadz M. Ali Alharnidy seorang ulama PERSIS
(Persatuan Islam). Namun mereka ini enggan mempersoalkan sah
atau tidak, boleh atau tidak pembentukan BAZ. Tapi tatkala
diminta pendapatnya, bagaimana jika Majlis Ulama Indonesia yang
dipimpinnya berfungsi sebagai Badan Amil Zakat, Hamka menyatakan
"harus dipelajari dulu". "Kalau ada keputusan musyawarah, saya
tak keberatan", ujar Hamka yang adalah juga salah seorang
anggota Dewan Penasihat Zakat Kepresidenan itu.
Hampir bisa dipastikan bahwa ulama perseorangan yang menyatakan
ketidaksetujuan pembentukan Badan Amil Zakat, bukan karena
mereka kehilangan sumber dana. Keberatan mereka -- kalau ada --
hanyalah karena kenyataan bahwa zakat adalah sumber dana yang
diatur dan secara hakiki memang bersifat Islam. Hingga bila
pemerintah yang melakukan pengumpulan dan pembagiannya,
sasarannya akan dirasakan kurang sesuai dengan ajaran Islam.
Tapi fikiran seperti yang dikemukakan Hamka itu, dianggap oleh
ulama seumpama Taufiqurrahman, Muchtar Luthfy dan sementara
angkatan muda Islam, sebagai tidak realistis. "Keadaan kita
masih dalam tahap menyampaikan da'wah. Cendekiawan dan ulama
kita akan menyadari kekurangan-kekurangan yang terjadi",
komentar Taufiqurrahman. Sampai ditemukan suatu keadaan yang
ideal, yakni seorang Islam melakukan tugas kewajibannya kepada
Allah dan lingkungannya. Dan menurut pengamatan Muchtar Luthfy,
adanya Badan Amil Zakat-sebagai aparat yang resmi menghasilkan
hal-hal yang positif. Bahwa banyak orang kaya jadi bergairah
mengeluarkan zakatnya. Lagipula para amilin (anggota BAZ) itu
kebanyakan tak mengambil bagiannya. Seperti di DKI Jakarta
misalnya. Hingga hasil yang terkumpul benar-benar 100% untuk
yang berhak menerimanya. "Saya lihat sendiri para amilin itu tak
mengambil bagian yang jadi haknya. Ini yang benar-benar a la
Islam", kata Muchtar Luthfy.
Di DKI Jakarta sendiri BAZ sudah dibentuk di tahun 1968. Segera
setelah ada anjuran Presiden. Kemudian berkembang jadi BAZIS
(Badan Amil Zakat Infaq dan Shadaqah). Perkembangannya cukup
pesat. Di tanun ke-2 berdirinya, BAZ DKI berhasil mengumpulkan
Rp 6,024 juta. Tahun-tahun berikutnya: Rp 9,303 juta, Rp 25,527
juta, Rp 73,124 juta, Rp 123,045 juta, Rp 151, 101 juta. Sedang
tahun ini, sampai awal September sudah dicapai Rp 139,508 juta.
Gubernur Ali Sadikin sebagai Ketua Umum Bazis mentargetkan Rp
200 juta tahun ini. Hasil tersebut kemudian dibagikan antara
lain di tahun 1974/ 1975 kepada tak kurang dari 16 proyek/ badan
da'wah, pendidikan, RS dan tempat-tempat ibadah. Lalu di tahun
1975/ 1976 kepada tak kurang dari 14 proyek. Di samping itu
ribuan fakir miskin dan guru ngaji dapat bagian antara Rp
5000-Rp 1O.000 per orang.
Masih diragukan apakah kepesatan kenaikan pendapatan zakat
tersebut menunjukkan kesadaran orang berzakat yang makin
meningkat pula, seperti dikatakan Muchtar Luthfy. Sebab boleh
jadi juga cuma akibat ketentuan mencapai target. Tapi ini
menurut AM Fatwa hanyalah sebagai motivasi saja. Namun ada juga
membawa ekses. Pernah terjadi misalnya, di satu kelurahan di
Kecamatan Setiabudi Jakarta, seorang penduduk yang akan mengurus
pemutihan IMB, diharuskan membayar zakat. Padahal ia beragama
Kristen. "Kami diharuskan memenuhi target", begitu keluh si
Lurah. Dan beberapa waktu lalu pernah dikaitkan dengan
pelaksanaan pembayaran ONH (Ongkos Naik Haji). Meski tindakan
yang satu ini tak terlalu menyolok "keanehannya", toh bersifat
semacam paksaan yang tidak bersifat mendidik. Tapi untuk
menghindarkan hal-hal buruk serupa ini zakat di Jakarta sudah
dirobah jadi cuma bersifat anjuran dari Gubernur atau Majlis
Ulama saja. Seperti juga dilakukan kepada para pengusaha. Yaitu
dengan cara mengundang mereka beramah-tamah. Cuma sayang,
hasilnya amat jauh dari harapan. Sebab ternyata untuk tahun ini,
dari 121 pengusaha/perusahaan yang diundang Gubernur Ali Sadikin
21 Agustus lalu menurut AM Fatwa, cuma 49 pengusaha/perusahaan
saja yang datang.
Belum diketahui bagaimana praktek-praktek di daerah-daerah luar
Jakarta. Tapi ada beberapa daerah sempat dikumpulkan datanya dan
diselidiki oleh BAZIS DKI Jakarta. Seperti Aceh, Jawa Barat,
Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan. Dapat
diketahui, pada umumnya perkembangannya tak sebaik DKI Jakarta.
Juga sistim dan cara pelaksanaan pengumpulan, pembagian dan
pendayagunaannya menurut AM Fatwa. Tampak pula belum ada
keseragaman secara nasional dalam hal sistim dan cara-cara
pengorganisasian pelaksanaan zakat itu. Sementara yang telah
dirintis Presiden di Jakarta pun, kabarnya memperlihatkan
kecenderungan perkembangan yang tak menggembirakan. Menurut Buya
Hamka, sebab "kurang dapat perhatian". Karena, katanya, belum
dilakukan pembaharuan para petugas penyelenggaranya.
Sudah waktunyakah diperlukan suatu Undang-Undang Zakat atau
suatu peraturan yang bisa "memaksa" ummat Islam berzakat?
"Sekarang ini belum perlu", tukas KH Taufiqurrahman. "Yang
penting, sambil tetap membina terus yang sudah berjalan
sekarang, juga perlu terus dibina kesadaran masyarakat
menghayati Islam". Juga Muchtar Luthfy menimpali: "Saya
berpendapat undang-undang zakat belum perlu. Yang penting dibina
ialah kesadaran masyarakat tentang sesuatu kewajiban". Yang
diperlukan juga barangkali kesabaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini