Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Zakat, Kesadaran Atau Kesabaran

Gagasan presiden suharto tentang pengeloaan zakat oleh pemerintah. lewat mintareja gagasan tersebut baik para ulama, direalisir dengan sp presdien 07/prin/ 68. dibentuk badan amil zakat setiap propinsi.

2 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEBARAN sudah berlalu. Tapi sedikit kenangan masih tersisa: wajah-wajah kumal dengan tubuh dekil berkeliaran menengadahkan tangan di pintu-pintu rumah, jalanan dan di halaman masjid-masjid. Mereka yang rupanya bernasib kurang beruntung telah memanfaatkan hari besar bagi umat Islam itu untuk meminta-minta. Dan itulah yang dapat disaksikan dari tahun ke tahun pada hari lebaran, terutama di kotakota besar pulau Jawa. Belum berhasilkah zakat-fitrah menopang hidup para fakir miskin itu -- setidak-tidaknya pada hari lebaran itu? "Bebaskanlah para fakir miskin dari berkeliling (meminta-minta) pada hari lebaran itu" sabda Nabi Muhammad. Padahal zakat-fitrah itu sendiri hanya menuntut 3 liter beras -- atau makanan sehari-hari -- atau jumlah uang senilai dari si mampu. Begitu pula halnya dengan zakat harta zakat al-maal -- sejenis zakat yang dituntut dari para pemilik emas/perak, sejumlah ternak atau hasil panen -- kekayaan -- yang sudah sampai pada suatu jumlah yang terkena wajib zakat (nisbah) dan sudah berjangka waktu tersimpan setahun. Kewajiban agama tersebut rupanya tak selalu otomatis dilaksanakan umat Islam. Akibatnya masih terlintas kesan bahwa potensi sumber dana yang begitu besar masih menghidangkan jurang antara si punya dan si miskin. Padahal menurut Profesor Hamka, soalnya mudah saja. Zakat berarti pensucian. Sehingga, "dengan berzakat (zakat fitrah atau zakat harta) seseorang membersihkan harta kekayaannya". Kelalaian ini mungkin disebabkan kurang memahami kewajiban ini. Tapi barangkali juga karena masih dihinggapi rasa enggan pada sementara kalangan yang semestinya melaksanakannya. Bila sementara ulama menyamakan zakat ini dengan semacam pajak, tentu kelalaian tadi tak sulit difahami sebab toh para anak negeri di sini masih banyak yang takut bertemu muka dengan petugas-petugas pajak. Sebagai salah satu dari rukun Islam yang lima itu, perkara zakat agaknya tak segairah pelaksanaan menunaikan ibadah haji, misalnya. Padahal ibadah haji terletak pada urutan terakhir, sementara zakat merupakan rukun keempat. Rukun kelima itu bersifat individuil, sedangkan zakat merupakan ibadah yang bertujuan kemasyarakatan. Seperti kata KH Taufiqurrahman, Ketua Ikatan Masjid Indonesia, "zakat bisa dUadikan alat pemecahan problim sosial dan lingkungan". Dalam al-quran sendiri tak kurang dari 32 buah ayat yang mengingatkan pemeluk Islam akan kewajiban ini. Namun tak berarti bahwa kurang sekali mereka yang melaksanakan zakat. Apalagi zakat fitrah. Cuma saja, sebagai yang diakui KH Taufiqurrahman, "pelaksanaannya selama ini banyak yang berdasarkan fikiran sendiri". Artinya si wajib zakat langsung memberikannya kepada yang berhak menurut pilihan hatinya. Dan ini belum tentu tepat pada sasaran sebenarnya. "Mengingat di Indonesia orang Islam merupakan jumlah terbesar, sebaiknya pengumpulan dan pembagian zakat dilakukan secara teratur", ujar Taufiqurrahman yang organisasinya menghimpun sekitar 200 mesjid di seluruh Indonesia -- diperkirakan di Indonesia terdapat sekitar 90.000 mesjid. Karena itu KH Taufiqurrahman merasa perlu ada organisasi yang mengkordinasikan pelaksanaan zakat. Bahkan Kiyai ini berpendapat suatu waktu Indonesia memerlukan sebuah Undang-Undang Zakat. Memang soal ini-katanya sudah pernah ada orang yang memikirkan di tahun 1950-an. Dan kabarnya pernah pula ada konsep perkara zakat, tapi terbenam di antara map-map Departemen Agama. Bagi Taufiqurrahman, pelaksanaan zakat yang cuma bersifat anjuran atau sukarela, dirasa belum cukup. Bila demikian apakah tak akan menimbulkan reaksi dari masyarakat yang bukan Islam? Misalnya dihubungkan dengan kekhawatiran bahwa itu berarti "pelaksanaan syariat Islam di negara Indonesia". Tapi sang Kiyai tak punya kekhawatiran seperti itu. Sebab baginya yang organisasinya sendiri tak menyelenggarakan kegiatan pengumpulan zakat atau mendasarkan dananya pada hasil zakat -- kenyataan bahwa penduduk Indonesia terbanyak penganut Islam, merupakan alasan kuat dan wajar bagi tuntutan sebuah undang-undang atau suatu peraturan yang bersifat "memaksa" terhadap pelaksanaan zakat. Syahdan adalah tak kurang dari Presiden Suharto sendiri yang mula-mula mencetuskan gagasan pengorganisasian pelaksanaan zakat. Kisahnya, menurut penuturan Ustadz Muchtar Lutfy El Anshary, seorang ulama dan pemimpin organisasi da'wah dan pendidikan Islam Al Irsyad, kira-kira begini. Suatu hari di tahun 1968, sekembali dari perjalanan dinas ke Sumatera, Presiden Suharto memanggil Menteri (waktu itu) Penghubung MPR/DPR -- Pemerintah, Mintareja SH. Presiden mengemukakan kepadanya, apakah zakat fitrah tak bisa dimanfaatkan sebagai salah satu modal pembangunan. Artinya, tak dibagikan begitu saja seperti selama ini tapi dijadikan suatu usaha yang bermanfaat. Lalu hasilnya bisa dipungut secara permanen untuk fakir miskin. Gagasan tersebut tercetus, karena Presiden melihat suatu kepincangan di masyarakat (terutama di Sumatera yang baru dikunjunginya). Ada jurang yang lebar, antara orang miskin dan orang kaya. "Yang susah tetap susah, yang kaya makin kaya. Bagaimana way outnya?" tanya Presiden. Kebetulan dalam perjalanan itu, di Aceh, Presiden sempat mengetahui ada penyelenggaraan pengumpulan dan pembagian zakat melalui organisasi bernama Badan Amil Zakat (BAZ). Badan ini memang sudah dibentuk oleh Pemerintah setempat sejak 1959. Bagaimana bila badan seperti itu dibentuk secara nasional? Begitu kira-kira gagasan Presiden. Akhirnya Presiden minta kepada Mintareja SH supaya gagasan itu diteruskan kepada para ulama di Jakarta. Ini dilaksanakan oleh Menteri Mintareja di suatu Jum'at, Januari 1968. Maka berkumpullah di rumah pribadi Mintareja 8 ulama antara lain Prof Dr. Hamka KH Sjukri Ghozali, HM Saleh Suaidy (almarhum), KH Taufiqurrahman, Al Ustadz Ali Alhamidy dan Al Ustadz Muchtar Luthfy. Para ulama ini menyambut baik gagasan Presiden tadi. Tapi sebaliknya mereka semua sepakat bahwa peaksanaan dan pembagian zakat-fitrah, tak mungkin dirubah dan menyimpang dari ketentuan agama. Yakni, zakat fithrah mesti segera dikumpulkan dan langsung dibagikan di bulan Ramadhan atau Puasa. Lalu timbul pula kesepakatan bahwa tak salah bila Presiden juga menyelenggarakan zakat almaal atau zakat harta. Presiden menyetujui usul ini. Begitulah kemudian para ulama tadi selama 3 bulan sibuk mendiskusikan dan merumuskan pedoman dan anjuran untuk Presiden. Meliputi hal-hal, apa itu zakat, tujuannya, pendapat para ulama dulu dan mencari jalan tengah yang tak terikat sesuatu mazhab tertentu. Yang paling penting ialah pembahasan, "apakah mungkin fihak ke-3 yakni amilin (pengumpul dan pembagi zakat) perlu membentuk badan amil zakat. Dan bagaimana kalau fihak tersebut adalah Pemerintah Indonesia?" "Justru bila pemerintah, adalah amat baik", tutur Ustadz Muchtar Luthfy mengungkapkan. "Hingga secara psikologis, bisa menghilangkan hal-hal yang kurang baik. Yakni fihak yang kaya tak bisa menyombong karena telah memberi zakat dan si fakir miskin tak merasa rendah karena menerima zakat". Tak lama kemudian Presiden dengan SP Presiden No. 07/PRIN/1968, 31 Oktober 1968, mengangkat (waktu itu) Mayjen Alamsyah, Kolonel Inf. Drs. Azwar Hamid dan Kolonel Ali Afandi, sebagai pembantu Presiden menyelenggarakan penerimaan zakat. Para Gubernur dan Kepala Daerah membentuk pula BAZ-BAZ. Dengan dasar hukum SK Gubernur/Kepala Daerah atau bersama DPRD-nya. Langkah Presiden tersebut tak sepi dari reaksi. Menurut Ustadz Muchtar Luthfy, reaksi-reaksi yang bernada kurang setuju memang muncul dari sementara orang Islam. Yaitu dari kalangan majelis ta'lim, organisasi Islam dan semacamnya yang merasa dirugikan karena mereka selama ini melakukan pengumpulan zakat untuk dana organisasi. Reaksi yang bersifat menolak itu kini sudah tak terdengar lagi. Atau, seperti dugaan Drs. AM Fatwa, Sekretaris Badan Pembina Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadakah (BAZIS) DKI Jakarta, "diam-diam barangkali belum hilang sama sekali". Sedang menurut KH Taufiqurrahman, "tak ada lagi karena memang ternyata hasilnya lebih baik". Kalau pun ada kritik, katanya, cumalah terhadap terlambatnya pembagian. Dan keadaan seperti itulah agaknya yang oleh Buya Hamka dikatakan, "dulu mereka ribut membantah, tapi begitu ada kesempatan mendapat bagian, ramai pula meminta hasilnya. Namun masih ada sedikit soal, apakah sah Pemerintah bertindak sebagai Badan Amil Zakat. "Sah", kata HM Adiwidjaja, Ketua Pelaksana Harian Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (BAZIS) DKI Jakarta. Menurut Adiwidjaja "itu ada disebut dalam al qur'an dan Sunnah. Bahwa pemerintahah yang berhak mengumpulkan dan membagikan zakat kepada yang berhak". Bahkan menurut H Isa Edris, Wakil Ketua Bazis "pemerintah mana saja berhak mengambil harta orang yang tak mengeluarkan zakat". Pendapat ini pun bertolak dari ayat al qur'an. Bagi Hamka yang Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia Pusat, Presiden belum boleh disebut sebagai Badan Amil Zakat. Sebab Presiden hanya bertindak sebagai seorang warga yang beragama Islam dan-dipercayai sebagai wakil. "Sama seperti saya misalnya. Ada yang mau berzakat meminta kepada saya untuk menyampaikannya kepada yang berhak. Itu saja", kata Hamka. Menurut Hamka, negara atau pemerintahan yang berhak membentuk Badan Amil Zakat ialah negara seperti Malaysia, yang resmi mencantumkan agama Islam sebagai agama negara dalam konstitusinya. Faham Hamka ini berbeda dengan pendirian KH Taufiqurrahman di atas tadi. Atau tak sama dengan pendapat HAM Fatwa, Muchtar Luthfy atau Ustadz M. Ali Alharnidy seorang ulama PERSIS (Persatuan Islam). Namun mereka ini enggan mempersoalkan sah atau tidak, boleh atau tidak pembentukan BAZ. Tapi tatkala diminta pendapatnya, bagaimana jika Majlis Ulama Indonesia yang dipimpinnya berfungsi sebagai Badan Amil Zakat, Hamka menyatakan "harus dipelajari dulu". "Kalau ada keputusan musyawarah, saya tak keberatan", ujar Hamka yang adalah juga salah seorang anggota Dewan Penasihat Zakat Kepresidenan itu. Hampir bisa dipastikan bahwa ulama perseorangan yang menyatakan ketidaksetujuan pembentukan Badan Amil Zakat, bukan karena mereka kehilangan sumber dana. Keberatan mereka -- kalau ada -- hanyalah karena kenyataan bahwa zakat adalah sumber dana yang diatur dan secara hakiki memang bersifat Islam. Hingga bila pemerintah yang melakukan pengumpulan dan pembagiannya, sasarannya akan dirasakan kurang sesuai dengan ajaran Islam. Tapi fikiran seperti yang dikemukakan Hamka itu, dianggap oleh ulama seumpama Taufiqurrahman, Muchtar Luthfy dan sementara angkatan muda Islam, sebagai tidak realistis. "Keadaan kita masih dalam tahap menyampaikan da'wah. Cendekiawan dan ulama kita akan menyadari kekurangan-kekurangan yang terjadi", komentar Taufiqurrahman. Sampai ditemukan suatu keadaan yang ideal, yakni seorang Islam melakukan tugas kewajibannya kepada Allah dan lingkungannya. Dan menurut pengamatan Muchtar Luthfy, adanya Badan Amil Zakat-sebagai aparat yang resmi menghasilkan hal-hal yang positif. Bahwa banyak orang kaya jadi bergairah mengeluarkan zakatnya. Lagipula para amilin (anggota BAZ) itu kebanyakan tak mengambil bagiannya. Seperti di DKI Jakarta misalnya. Hingga hasil yang terkumpul benar-benar 100% untuk yang berhak menerimanya. "Saya lihat sendiri para amilin itu tak mengambil bagian yang jadi haknya. Ini yang benar-benar a la Islam", kata Muchtar Luthfy. Di DKI Jakarta sendiri BAZ sudah dibentuk di tahun 1968. Segera setelah ada anjuran Presiden. Kemudian berkembang jadi BAZIS (Badan Amil Zakat Infaq dan Shadaqah). Perkembangannya cukup pesat. Di tanun ke-2 berdirinya, BAZ DKI berhasil mengumpulkan Rp 6,024 juta. Tahun-tahun berikutnya: Rp 9,303 juta, Rp 25,527 juta, Rp 73,124 juta, Rp 123,045 juta, Rp 151, 101 juta. Sedang tahun ini, sampai awal September sudah dicapai Rp 139,508 juta. Gubernur Ali Sadikin sebagai Ketua Umum Bazis mentargetkan Rp 200 juta tahun ini. Hasil tersebut kemudian dibagikan antara lain di tahun 1974/ 1975 kepada tak kurang dari 16 proyek/ badan da'wah, pendidikan, RS dan tempat-tempat ibadah. Lalu di tahun 1975/ 1976 kepada tak kurang dari 14 proyek. Di samping itu ribuan fakir miskin dan guru ngaji dapat bagian antara Rp 5000-Rp 1O.000 per orang. Masih diragukan apakah kepesatan kenaikan pendapatan zakat tersebut menunjukkan kesadaran orang berzakat yang makin meningkat pula, seperti dikatakan Muchtar Luthfy. Sebab boleh jadi juga cuma akibat ketentuan mencapai target. Tapi ini menurut AM Fatwa hanyalah sebagai motivasi saja. Namun ada juga membawa ekses. Pernah terjadi misalnya, di satu kelurahan di Kecamatan Setiabudi Jakarta, seorang penduduk yang akan mengurus pemutihan IMB, diharuskan membayar zakat. Padahal ia beragama Kristen. "Kami diharuskan memenuhi target", begitu keluh si Lurah. Dan beberapa waktu lalu pernah dikaitkan dengan pelaksanaan pembayaran ONH (Ongkos Naik Haji). Meski tindakan yang satu ini tak terlalu menyolok "keanehannya", toh bersifat semacam paksaan yang tidak bersifat mendidik. Tapi untuk menghindarkan hal-hal buruk serupa ini zakat di Jakarta sudah dirobah jadi cuma bersifat anjuran dari Gubernur atau Majlis Ulama saja. Seperti juga dilakukan kepada para pengusaha. Yaitu dengan cara mengundang mereka beramah-tamah. Cuma sayang, hasilnya amat jauh dari harapan. Sebab ternyata untuk tahun ini, dari 121 pengusaha/perusahaan yang diundang Gubernur Ali Sadikin 21 Agustus lalu menurut AM Fatwa, cuma 49 pengusaha/perusahaan saja yang datang. Belum diketahui bagaimana praktek-praktek di daerah-daerah luar Jakarta. Tapi ada beberapa daerah sempat dikumpulkan datanya dan diselidiki oleh BAZIS DKI Jakarta. Seperti Aceh, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan. Dapat diketahui, pada umumnya perkembangannya tak sebaik DKI Jakarta. Juga sistim dan cara pelaksanaan pengumpulan, pembagian dan pendayagunaannya menurut AM Fatwa. Tampak pula belum ada keseragaman secara nasional dalam hal sistim dan cara-cara pengorganisasian pelaksanaan zakat itu. Sementara yang telah dirintis Presiden di Jakarta pun, kabarnya memperlihatkan kecenderungan perkembangan yang tak menggembirakan. Menurut Buya Hamka, sebab "kurang dapat perhatian". Karena, katanya, belum dilakukan pembaharuan para petugas penyelenggaranya. Sudah waktunyakah diperlukan suatu Undang-Undang Zakat atau suatu peraturan yang bisa "memaksa" ummat Islam berzakat? "Sekarang ini belum perlu", tukas KH Taufiqurrahman. "Yang penting, sambil tetap membina terus yang sudah berjalan sekarang, juga perlu terus dibina kesadaran masyarakat menghayati Islam". Juga Muchtar Luthfy menimpali: "Saya berpendapat undang-undang zakat belum perlu. Yang penting dibina ialah kesadaran masyarakat tentang sesuatu kewajiban". Yang diperlukan juga barangkali kesabaran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus