Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Orang Tua Tak Diperas Lagi ?

Spp dibebaskan untuk kelas 1-3 sd. menteri p dan k syarif thayeb melakukan penyempurnaan spp. peraturan pembentukan bp3. ketua pgri mengusulkan pajak pendidikan sebagai ganti spp. (pdk)

2 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH oplet tua yang dihadang serombongan pelajar di Lapangan Banteng, Jakarta, ditulisi kapur: SPP Gila. Beberapa di antaranya berteriak: "SPP, Surat Pemerasan Pendidikan". Sementara Prof. Bachtiar Rifai, waktu itu Dirjen Pendidikan (sekarang ketua LIPI) memberikan alasan berlakunya SPP, karena anggaran biaya pendidikan tidak memadai. "Orang tua terpaksa menjadi sapi perahan", katanya. Itu terjadi di tahun 1971, lahirnya SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) Lima tahun kemudian, 16 Agustus 1976 di depan sidang DPR, Presiden dalam pidato kenegaraannya antara lain memutuskan menghapuskan SPP, untuk kelas 1 sampai dengan kelas 3 SD yang akan berlaku mulai tahun depan."Ini langkah kecil, tapi punya arti besar", ucap Presiden. Kecil, karena beban orang tua baru sebagian kecil yang dapat diringankan. Besar karena keputusan itu merupakan langkah menuju ke arah pelaksanaan UUD pasal 31: setiap warganegara berhak mendapatkan pengajaran. Pasal itu, demikian Presiden, telah memberi isyarat bahwa dalam jangka panjang negaralah yang harus menyediakan pendidikan secara cuma-cuma kepada warganegaranya. "Tapi itu belum mungkin terwujud seluruhnya sekarang. Kita akan mengarah ke sana", tambah Presiden lagi. Bagi banyak orang, keputusan Presiden yang datangnya seperti mendadak itu memang cukup mengejutkan. Dan sekaligus menggembirakan fihak orang tua tentunya. Sebab selama hampir 6 tahun dengan SPP, peraturan yang mewajibkan fihak orang tua turut menyumbangkan uang untuk pendidikan anak-anaknya itu, hampir selalu ricuh. Padahal, ketika Menteri Mashuri pertama kali memperkenalkan peraturan itu jelas tak bermaksud buruk. Katanya SPP yang disusun berdasarkan aas keadilan itu, selain dimaksudkan untuk menggalang partisipasi yang harmonis antara komponen penanggung jawab pendidikan, yaitu orang tua, masyarakat dan pemerintah, juga dimaksudkan untuk melindungi orang tua murid dari pelbagai macam pungutan yang sangat memberatkan pada waktu penerimaan murid baru. Justru di saat para orang tua murid berada dalam posisi yang amat lemah: perlu bangku sekolah buat anak-anaknya. Betulkah lantas orang tua murid terhindar dari pemerasan? Mengambil contoh Jakarta, nampaknya maksud baik pemerintah itu hampir tak pernah mencapai sasarannya. Aas keadilan, keseimbangan dan perataan, sering terasa tak adil. Sebab kadang terdapat anak orang tua yang berpenghasilan rendah dengan anak orang tua yang berpenghasilan tinggi, membayar SPP yang sama jumlahnya. Juga timbul kericuhan, siapa dan bagaimana mengontrol pendapatan orang tua murid? Kelemahan seperti itu tak jarang hanya mengundang "oknum" guru untuk menambah penghasilannya. Sementara orang tua ramai-ramai berusaha menghindarkan bayar SPP. Hampir setiap tahun ajaran baru, soal SPP ini tetap tak pernah selesai. Karena itu barangkali, dua tahun lalu, Menteri P & K Sjarif Thajeb melakukan penyempurnaan SPP. Dengan optimis menteri ini menyebutkan kelebihan dari SPP yang disempurnakannya dibanding dengan SPP lama. SPP yang mulai berlaku pada tahun pelajaran 1975 itu katanya diterapkan prinsip flate rate: besarnya pungutan untuk semua wajib bayar pada satu atau semua sekolah dalam satu daerah disamakan. Variasi tarif yang terbagi dalam kategori yang ditetapkan potongan 50% sampai kepada yang bebas SPP, dimaksudkan untuk memberi keringanan kepada wajib bayar yang tidak atau kurang mampu. Tak lupa dicantumkan larangan keras bagi sekolah untuk melakukan pungutan lain di luar SPP. Kemudian bersamaan dengan keluarnya SPP baru, pemerintah juga mengeluarkan peraturan untuk pembemtukan Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan (BP3). Tugasnya, antara lain mengusahakan bantuan masyarakat baik berupa benda, uang, maupun jasa dengan tidak menambah beban wajib bayar. Namun dalam pelaksanaannya SPP baru itu tetap masih mengundang penyempurnaan lagi. Peraturan hasil keputusan Menteri P & K, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan itu toh nyatanya tak praktis. Sekolah mengeluh, karena hasil SPP mesti disetor dulu ke bank, susah untuk diambil lagi untuk keperluan sekolah. Itu saja sudah melahirkan lagi keputusan. Menteri P & K yang baru, berisi pemberian wewenang penuh kepada Kepala Sekolah SD untuk menggunakan bagian SPP sebesar 50% (yang lain, berdasarkan peraturannya, 30O untuk Kesejahteraan Personil Sekolah, 10% masing-masing untuk pos Perbaikan Sarana dan Kegiatan, dan Supervisi dan Pengelolaan SPP) untuk pos Penyelenggaraan Sekolah, tanpa menyetorkan dulu ke Bank. Penyempurnaan itu berlaku untuk tahun pelajaran 1976 ini. SPP nampaknya memang lebih banyak merepotkan ketimbang membantu kelancaran pendidikan. Selain menambah beban orang tua dan guru -- karena harus mengurus SPP, sebenarnya biaya yang diperoleh dari pos ini pun "tak ada sepersepuluhnya dari seluruh biaya pendidikan", ujar Prof Dr. Setijadi, Ketua Badan Pengembangan dan Penelitian Pendidikan dan Kebudayaan (BP3 K). Karena itu keputusan Presiden untuk menghapus SPP kelas 1 sampai dengan kelas 3 SD, menurut Setijadi, pengaruhnya terhadap biaya pendidikan tak akan terlalu besar. Diperkirakan akibat penghapusan itu, uang yang hilang berjumlah Rp 3 milyar lebih, yang berasal dari kira-kira 60% murid SD tersebut. Namun Setijadi mengakui: Jumlah uang SPP itu walaupun kecil, bagi sekolah-sekolah yang bersangkutan memiliki arti yang sangat besar. Bukan saja untuk pos Penyelenggaraan Sekolah, misalnya keperluan sehari-hari yang mendadak seperti kapur atau genting bocor. Tapi di beberapa daerah misalnya Jakarta SPP bagi guru merupakan salah satu sumber tambahan penghasilan. "Sangat besar artinya buat guru-guru itu", ujar Setijadi "tapi saya kira pemerintah tidak akan sembarang menghapus SPP, kalau belum difikirkan penggantinya". Belum secara jelas disebutkan, bagaimana bentuk pengganti SPP yang bakal hilang itu. Namun Setijadi menunjuk bagian pidato Presiden yang menyebutkan bakal adanya perbaikan gaji pegawai negeri mulai tahun depan. "Ada kenaikan gaji guru dan tambahan biaya operasionil", katanya. Sementara Basyuni Suryamihardja, Ketua PGRI, juga mengharapkan agar gaji guru dinaikkan. "Karena dengan SPP, pada prinsipnya PGRI tidak setuju guru dapat bantuan dari orang tua", katanya. Ketua PGRI itu dari dulu kurang setuju dengan SPP. "Kalau memang ingin mendemokrasikan tanggung jawab pendidikan pada masyarakat, Pajak Pendidikan semacam pajak radio misalnya, lebih baik dari pada SPP", ujar Basyuni. Dan bentuk pajak pendidikan ini nampaknya disokong oleh banyak kalangaa, seperti Ki Suratman, Wakil Ketua Komisi IX DPR, Mohamad Said dari Taman Siswa dan Sayuti Melik, anggota DPR. Tapi kongkritnya bagaimana? "Belum ada konsep, baru gagasan saja", ujar Basyuni. TENTU saja belum pasti, apakah setelah SPP hapus semua, maka biaya pendidikan dari masyarakat akan dilahirkan dalam bentuk pajak pendidikan. Yang jelas seperti yang dikatakan Presiden, keputusan menghapus SPP itu akan dapat mendorong pelaksanaan kewajiban belajar. "Karena orang tua yang tidak mampu bayar SPP telah dapat kita singkirkan sebagian", katanya. Itu pun dengan pembangunan SD-SD Inpres dan perbaikan ribuan gedung sekolah, pada akhir Pelita II nanti pemerintah baru mentargetkan sekitar 85% anak usia SD yang bisa tertampung. Karena memang akibat penghapusan SPP itu, pengaruhnya terhadap kenaikan jumlah anak yang masuk sekolah SD tak terlalu besar. Setijadi menaksir hanya akan ada kenaikan, 1 sampai 2%. "Penghapusan SPP itu tidak semata-mata dimaksudkan untuk memperbanyak jumlah anak yang masuk sekolah SD, tapi bagaimana agar mereka yang sudah di bangku SD bisa menyelesaikan pelajarannya sampai tamat", ujar Setijadi. Angka putus-sekolah di tingkat sekolah ini, memang bukan main besarnya. Hanya kira-kira 40% yang berhasil menyelesaikan sekolahnya sampai kelas VI SD. Selebihnya putus di tengah jalan. Padahal, demikian Setijadi, sampai saat ini diperkirakan sudah 90% anak usia SD yang pernah mengecap bangku sekolah. Namun tak sedikit yang keluar lagi dengan bermacam alasan, terutama di desa. Seperti bekerja dengan orang tuanya, atau memang tidak kuat bayar SPP. Jumlah golongan yang terakhir itu belum ada data penelitian. Namun yang pasti angka putus sekolah yang tertinggi terdapat pada anak-anak kelas IV SD. Lebih dari 15% berguguran di kelas ini. Memang di daerah pedesaan, selain angka putus sekolah tinggi, SPP meskipun sudah disempurnakan oleh Menteri P & K, hampir tak bermanfaat. Bukan saja dari fihak orang tua itu tidak bisa diharapkan terkumpul uang buat biaya pendidikan, tapi bagi fhak guru pun hanya menambah beban pekerjaan saja. Di samping ekses buruk yang sering terjadi di sekitar penggunaan uang SPP. Menurut Waryo Sukanda, Ketua I PGRI Jawa Barat, SPP di daerah menjadi beban guru. SPP yang mesti disetor pada waktunya, karena banyak orang tua yang menunggak, untuk menutupinya terpaksa gaji guru dipotong. Uang yang disetor ke Kabupaten, susah turun kembali. Padahal kegiatan administrasi sekolah harus berjalan tiap hari. Untuk itu guru terpaksa iuran untuk menutupi ongkos sehari-hari sekolah. "Karena itu SPP pos Kesejahteraan Personil Sekolah tidak bisa diharapkan", ujar Waryo, "dan ada atau tidak ada SPP bagi daerah sama saja". Di Nusa Tenggara Barat dengan jumlah murid SD yang tertampung sebanyak 218 ribu lebih (tidak tertampung menurut data tahun 1975 sebanyak 200 ribu lebih) SPP di desa rata-rata Rp 25 (duapuluh lima rupiah). "Rata-rata karena faktor ekonomi lemah", ujar drs Syahruddin, Wakil Kepala Dinas P & K Propinsi NTB. Kebanyakan orang tua murid bekerja sebagai petani penggarap yang jarang punya uang kontan. "Apalagi kalau dibebani lagi dengan pungutan semacam PMI, beli buku atau baju pramuka", ucap Syahruddin lagi. Dan ekonomi lemah itu masih ditambah oleh sikap masyarakat di sana yang pesimis terhadap hasil sekolah dan masa depan anaknya. "Biar anak saya jadi petani saja membantu saya di sawah. Kalau sekolah juga, kalau tamat belum tentu dapat pekerjaan di kantor", ujar Amaq Munirah, petani penggarap miskin dan buta huruf. Amaq punya tiga anak, yang kecil 9 tahun. Hanya anak tertua yang pernah sekolah sampai kelas 2 SD. Amaq dan banyak orang tua di daerah yang banyak memasukkan anak-anak ke sekolah Madrasah itu, tak tahu SPP. Di Sulawesi Tengah, faktor yang serupa berpengaruh terhadap SPP. Sejak jatuhnya harga kopra dan kayu, penghidupan di daerah ini, lesu. Di beberapa kabupaten, Donggala misamya SPP yang tadinya Rp 200 karena seret ditagih, turun jadi Rp 100. Di Bada, Kabupaten Poso, SPP yang asalnya Rp 150 turun jadi hanya Rp 50. Dan tidak jarang walaupun menurut peraturannya SPP harus dibayar dengan uang -- banyak orang tua yang membayar SPP dengan telur, ayam atau ubi, yang tak mudah dijual. Sementara tagihan terhadap orang tua yang menunggak banyak berakibat psikologis bagi anak-anaknya. Bila tiga kali saja dilakukan penagihan, "anak-anak akan jadi takut sekolah" ujar Abubakar Makarau, Kepala Dinas P & K Sulteng. Di daerah ini bahkan pernah kejadian ada uang SPP yang terpakai untuk kepentingan tugas rutin camat. Dan menurut pembantu TEMPO di sana, Bupati Banggai dengan mempergunakan uang SPP telah melakukan kontrak untuk membeli 200 set gambar peraga dengan harga Rp 20 ribu. Padahal di Surabaya atau Ujung Pandang misalnya, barang yang sama bisa dibeli dengan harga Rp 4 ribu. Sehingga uang Rp 4 juta yang dikumpulkan dengan susah payah dari fihak orang tua, habis sama sekali. Di Sumatera Utara, penyelewengan uang SPP juga terjadi. Jaksa Mohamad N Pane di Kabupaten Asahan sejak pertengahan Agustus kemarin, memulai tugasnya memeriksa uang SPP di 15 Kecamatan itu yang nyangkut di 4 pos: wali murid, guru-guru kelas, Kepala SD dan Dinas P & K Kecamatan. Menurut koresponden TEMPO di Medan, uang SPP itu telah digunakan untuk kepentingan pribadi-pribadi yang duduk di pos-pos itu. Dengan janji akan dibayar dengan pemotongan gaji bulan berikutnya. Tapi ternyata tak lunas juga hingga tak dapat disetor ke bank. Dana sebesar lebih Rp 5 juta itu jadi beku. Kabarnya kasus Asahan itu menyebabkan banyak guru dengan diam-diam agak berat hati juga bila SPP dihapuskan. Beberapa sumber menunjukkan, ada guru yang menggunakan uang SPP untuk beli Honda atau bikin betul rumah. Di samping yang jahil-jahil terhadap uang SPP, masih banyak juga pengajar yang mau berkorban. "Di Kalimantan Timur antara tenaga yang keluar dengan hasilnya tak sebanding", ujar drs Abibaswan Hanafie, Asisten I pada Dinas P & K Kaltim. Sehingga menurut drs Serta Tarigan, Kepala Kanwil P & K disana, SPP di daerahnya praktis tak jalan. Sehingga penghapusan SPP, praktis tidak ada pengaruhnya. Lagi pula bagi daerah, SPP memaksa guru untuk bekerja di luar bidangnya. Seperti yang kejadian di daerah Yogyakarta, karena tidak menguasai soal pembukuan, pegurusan SPP menjadi acak-acakan. Sehingga salah-salah nama baik guru yang bersangkutan bisa jatuh. Menurut S. Haripoernomo, Kepala SD Lempuyangan II, guru menerima Rp 3 ribu setiap triwulannya. Itu pun kalau bayaran dari orang tua murid jalannya lancar. Kalau tidak, untuk memenuhi kewajiban setor itu, guru nombok dulu dari kantong sendiri. Lagi lagi di Irian Jaya. Di sana, selain SD negeri yang swasta pun ternyata dikenakan SPP, misalnya di Kabupaten Jayapura. Tapi Rp 15 juta yang diharapkan datang, ternyata cuma terkumpul Rp 3 juta per tahunnya. "Itu pun pemungutannya seret", ujar Kisdiparno Kepala Sekolah. Namun begitu, SPP menurut M. Tegai, Kepala Dinas P & K Kabupaten Jayapura, tetap diperlukan. "Tapi kalaupun dihapus, perlu ditingkatkan kerjasama antara guru dan BP3", ucap Tegai. Tapi bisakah dengan penghapusan SPP, BP3 dimanfaatkan untuk menambah dana pendidikan? Di beberapa daerah badan yang tujuannya antara lain memang mengusahakan bantuan dari masyarakat berupa benda, uang maupun jasa itu, ada yang berhasil. Di Pulau Nias misalnya badan itu sudah berhasil membangun gedung SD dengan cara menyediakan tanah, kayu atau batu kerikil. Di Sukajadi, Bandung, BP3 setempat berhasil menambah lokal sekolah, membuat sumur dengan mengumpulkan donatur yang tidak mengikat. Namun tentu saja usaha yang telah dijalankan oleh badan tersebut belum menjamin dana bakal masuk secara rutin. Bahkan, selain belum semua sekolah berhasil membentuk BP3, kordinator tingkat propinsi yang seharusnya menurut peraturan sudah terbentuk Oktober tahun lalu, kebanyakan daerah belum memilikinya. "Di tingkat sekolah saja sudah sulit bergerak, apa lagi tingkat propinsi", ujar sebuah sumber di Jakarta mengenai BP3 di daerahnya. Pernah ada sebuah sekolah yang ingin mendirikan CV. Tapi ditolak Kanwil. "Sebab, memangnya sekolah mau disuruh dagang", ucap sumber tersebut. Kebanyakan sekolah di Jakarta BP3-nya aktif dalam kegiatan pertunjukan amal, misalnya pemutaran film. "Tapi apa kegiatan itu bisa dilakukan tiap bulan sehingga dana bisa dipungut secara rutin? "Kadang-kadang untuk sebuah pertunjukan amal, terpaksa kita giring murid-murid sendiri buat menontonnya", tambah sumber itu. Di tengah macetnya pelaksanaan SPP dan BP3, keputusan Presiden untuk menghapus SPP itu, selain disambut oleh banyak fihak, ada juga yang keberatan. Jakarta misalnya. Dengan adanya SPP saja kota itu mengalami defisit sampai 500. Maka dengan hapusnya SPP kelas 1 sampai dengan kelas 3 SD, diperkirakan setiap tahunnya Jakarta akan kehilangan Rp 1 milyar. "Kalau anggota DPR, masyarakat dan pers bertepuk tangan menanggapi hal itu, maka saya hanya bisa urut dada", ujar Ali Sadikin. Gubernur yang satu ini, memang sudah sejak awal tahun bahkan minta agar diperkenankan bikin SPP khusus untuk daerahnya. Tapi ditolak oleh Pusat. Dengan hapusnya SPP, kecuali ucapan Presiden yang menyinggung kenaikan gaji tahun depan, belum jelas benar dengan apa pemerintah akan mengganti dan yang hilang itu. Menteri Sjarif Thajeb sendiri mengakui, akibat penghapusan itu, daerah kekurangan pendapatan. Namun, katanya, itu tidak banyak dan bisa ditampung dengan anggaran daerah. Lagi pula, menurut menteri itu, P & K memiliki saldo SPP tahun lalu, beberapa milyar rupiah, yang bisa dibagikan: 50 untuk kegiatan SPP, 30% untuk gaji guru dan 10% untuk survei dan kegiatan lain. Sementara team untuk mencari usaha penanggulangan akibat hapusnya SPP itu segera dibentuk. Di depan Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR, Menteri ada juga menyebutkan kemungkinan merubah komposisi prosentase SPP. Artinya kelak bisa saja bagian untuk guru (SPP sekarang bagiannya 30%) diperbesar. Atau sebaliknya? Namun segera Ali Sadikin mengeritik Menteri Sjarif Thajeb. "Mestinya ketika Presiden bilang dalam pidato 16 Agustus bahwa SPP akan dihapus, Menteri sudah memikirkan apa yang bakal terjadi", ujar Ali. "Ini bukan prosedur kerja yang baik. Ini mah ilmu komandan". Dan Gubernur menyebutkan keheranannya. "Yang hapus mereka, yang tanggung risikonya kok Kepala Daerah" katanya, "yang benar saja, kehilangan Rp 1 milyar karena hapusnya SPP kok masuk APBD. Kenapa tidak masuk dalam APBN?" Kesal gara-gara SPP, Gubernur Ali Sadikin yang bakal habis masa jabatannya tahun depan itu, langsung kirim surat ke Menteri P & K, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan. Katanya, Pemerintah Pusatlah yang mesti menutup defisit biaya pendidikan di daerahnya. "Saya mau ngomong tentang kekurangan ini, karena saya butuh. Saya tidak mau menanggungnya", ujar Ali tegas. Ali Sadikin memang berpendapat, sekolah tak mungkin gratis sekarang ini (lihat box ).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus