Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Digital

Animator Indonesia Menembus Hollywood

Animator Indonesia banyak yang menggarap film buatan Hollywood. Di dalam negeri, mereka sulit berkembang karena minim dukungan pemerintah.

7 Oktober 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALKISAH, pada 2020, bumi diserbu pasukan Kaiju, monster raksasa yang muncul dari dasar samudra. Misi mereka: menguasai bumi dan seluruh isinya. Untuk melawan para monster itu, manusia bersatu dan menciptakan Jaegers, robot raksasa yang dikendalikan oleh dua orang di dalamnya. Pertarungan antara robot dan monster itu menjadi inti cerita film fiksi ilmiah Pacific Rim.

Seperti film fiksi ilmiah lain, semisal Transformers dan The Avengers, kekuatan Pacific Rim ada pada animasi dan efek visual yang disajikan. Monster yang tak nyata tersebut seolah-olah hidup dan bernapas. Kecepatan geraknya sangat natural layaknya olah gerak tubuh manusia. Detail bayangan pada robot pun seakan-akan menyatu dengan lingkungan sekitar.

Tak banyak yang tahu, di balik film yang sempat menuai sukses dan diputar di bioskop Indonesia pada Agustus lalu itu ada sentuhan tangan seorang animator Indonesia: Ronny Gani, 30 tahun. Ronny bekerja di Industrial Light & Magic di Singapura—anak perusahaan Lucas Film Group—yang menggarap film itu. Pacific Rim bukan film fiksi Hollywood pertama yang ia garap. Pada 2012, Ronny terlibat menangani efek animasi film The Avengers.

Tugas Ronny tak mudah. Ia dan timnya harus mendefinisikan bagaimana pasukan monster itu bergerak. Bisa dibilang, animator adalah sang aktor dalam produksi animasi karena merekalah yang memberi roh terhadap karakter tersebut. Animator harus menentukan akting seperti apa yang diperagakan oleh karakter sesuai dengan arahan sutradara. "Setelah itu, baru diterapkan pada karakter digital dalam soft­ware tiga dimensi," ujar Ronny melalui e-mail kepada Tempo.

Ronny bukan animator Indonesia pertama yang diberi kepercayaan menangani efek animasi khusus film buatan Hollywood. Sebelumnya ada Rini Triyani Sugianto. Perempuan 33 tahun kelahiran Lampung ini pernah dipercaya menggarap 70 shots film karya sutradara beken Steven Spielberg, tentang seorang jurnalis muda dengan gaya rambut jambul bernama Tintin.

Tugas utama Rini adalah memberi efek visual untuk membuat tiap tokoh dalam film yang diadaptasi dari komik karya Georges Remi—kartunis Belgia yang lebih dikenal sebagai Herge—itu memiliki karakter khas supaya terlihat lebih hidup dan nyata. Untuk menyelesaikan seluruh rangkaian 70 shots itu, Rini membutuhkan waktu sekitar satu tahun.

Proses produksi film animasi biasanya melibatkan tiga keahlian khusus. Karakter tiga dimensi (3D) dikerjakan oleh modeler sesuai dengan konsep cerita. Kemudian rigger bertugas memberikan "rangka tulang" atau penggerak ke dalam karakter yang telah dibuat oleh modeler. Barulah animator yang menggerakkan karakter agar terlihat hidup sesuai dengan arahan sutradara.

Untuk membangun karakter kuat, animator sangat mengandalkan software atau perangkat lunak 3D. Nah, soal pemilihan software ini tergantung perusahaan yang mengerjakannya. Salah satu perangkat lunak paling digemari para animator adalah Autodesk Maya. Program ini dianggap paling komplet dan mudah digunakan. Di pasar, banyak program sejenis, antara lain Autodesk 3DS Max, Softimage, CINEMA 4D, Houdini, LightWave, dan Modo.

Autodesk Maya atau biasa disebut Maya adalah perangkat lunak grafik 3D yang berjalan di atas sistem operasi Windows, Mac OS, dan Linux. Pemakaian peranti lunak ini cukup luas, di antaranya untuk membuat aplikasi 3D, termasuk video game, film animasi, dan film seri televisi, serta sebagai pembuat efek visual seperti dalam film Pacific Rim atau The Avengers.

Peranti lunak ini disebut-sebut mampu menerjemahkan imajinasi liar para animator yang jauh meninggalkan realitas. Imajinasi itu divisualkan dan disusun dalam "bidang ajaib" di layar komputer dengan kemampuan tak terbatas. "Kita bisa membuat karakter dalam format 3D. Semua itu dengan kualitas yang sangat bagus untuk film, game, ataupun iklan di televisi," ucap Rini.

Maya memungkinkan animator secara bebas dan mudah memanipulasi tiap titik individu. Salah satu kelebihannya adalah kemampuan mengatur pencahayaan dan tekstur supaya obyek terlihat lebih realistis. Sedangkan kelemahannya antara lain tak adanya fitur Bi-PED, yang berarti untuk menciptakan satu set struktur rangka karakter, seorang animator harus membangunnya dari bawah ke atas. Ini dapat memakan waktu lama.

Rini dan Ronny adalah contoh bagaimana generasi muda Indonesia sukses berkarier di luar negeri. Bermodalkan pengetahuan grafik animasi, mereka kini menjadi bagian dalam industri film bikinan Hollywood. Sedikit berbeda, Andre Surya justru memilih kembali ke Indonesia demi memajukan dunia animasi lokal.

Sebelum pulang kampung, Andre bekerja di Industrial Light & Magic di Singapura seperti Ronny. Bedanya, ia bertugas menangani pencahayaan sebuah produksi film sebagai lighting artist. Penata cahaya bertugas mengatur warna pencahayaan agar tampilan dalam film animasi terlihat lebih nyata dan menyatu dengan pemeran asli. 

"Kalau syuting kan tidak ada robot, pemain hanya berakting. Nah, bagaimana robot itu tidak ada tapi terlihat riil, penataan cahaya menjadi penting. Teknik ini membuat robot animasi dengan pemeran manusia asli terlihat ada bersamaan tapi tidak seperti tempelan," katanya memberi contoh dalam proses pembuatan film Transformers.

Setelah mengatur pencahayaan, ia kemudian menggabungkan seluruh elemen yang sudah diselesaikan dalam tahap produksi menjadi satu kesatuan dalam proses composite. Proses ini tak sekadar menggabungkan, tapi terkadang menambahkan unsur lain, seperti model dan pewarnaan latar belakang menggunakan komputer grafis. Penataan cahaya dan composite merupakan tahap pascaproduksi dalam suatu proyek film.

Proses penataan cahaya tak semudah yang dibayangkan. Menurut pengalaman Andre ketika mengerjakan film Transformers: Revenge of the Fallen, ia membutuhkan waktu dua minggu untuk menghasilkan tata cahaya dalam satu frame film berdurasi 3 detik. "Karena detailnya bener-bener gila, jadi lama banget. Misal background lagi sore, ya, pencahayaan harus lebih oranye dan lebih netral," ujarnya.

Setelah kurang-lebih 12 tahun mene­kuni dunia efek visual dan animasi, pria yang kini berusia 29 tahun ini bertekad kembali ke Indonesia. Andre mengaku kepulangan ini lebih karena mencari pengalaman baru dengan membuka bisnis sendiri di bidang animasi. "Saya bukan tipe orang yang suka berada di comfort zone," katanya.

Begitu kembali, Andre bersama beberapa rekannya mendirikan studio digital bernama Enspire Studio, yang menangani berbagai proyek efek Computer-Generated Imagery (CGI, penggunaan grafik komputer tiga dimensi). Selain mengerjakan efek CGI untuk perusahaan lain, Enspire Studio telah menghasilkan karya animasi sendiri, seperti The Escape, The Chase, dan Chrysalis.

Selama bekerja di Lucas Film, Andre sudah banyak menggarap film Hollywood dan namanya kerap muncul di kredit film. Ia terlibat dalam beberapa film Hollywood, seperti Transformers, Star Trek, Terminator Salvation, Rango, serta Iron Man 1 dan 2. "Yang berkesan adalah film Rango karena saya mengerjakannya sampai setahun penuh untuk lighting compo­site. Kalau yang lain paling hanya enam bulan," ujarnya.

Andre kini berfokus mengurus bisnis studio digital dan sekolah digital, yang belum genap berusia satu tahun. Meski relatif baru, ia berkeinginan bisa membuat studio digital lokal yang menggarap film Hollywood. Sayangnya, Andre merasa industri animasi digital di Indonesia belum begitu berkembang karena tidak didukung penuh oleh pemerintah. Padahal negara tetangga, seperti Malaysia, sudah mulai sukses mengembangkan industri animasi lewat film Upin & Ipin.

"Dibanding Malaysia dan Singapura, kita tertinggal jauh, terutama dari segi dukungan pemerintah. Mereka mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Bahkan film Upin & Ipin disubsidi pemerintahnya sampai 50 persen," ucap Andre.

Toh, ia tetap optimistis potensi yang dimiliki generasi muda Indonesia mampu mencapai harapannya agar industri animasi berkembang pesat. Hal itu ditandai dengan telah dibukanya kantor cabang ­Square Enix, perusahaan pengembang game asal Jepang, di Surabaya. "Ini perusahaan terbesar ketiga di dunia dan nomor satu di Jepang, yang tidak mungkin asal buka cabang. Pembukaan cabang ini bukti bahwa negara ini mampu dan memiliki sumber daya manusia yang kreatif sesuai dengan standar tinggi mereka," katanya.

Satu lagi, Andre berharap dalam beberapa tahun mendatang studio digital di Indonesia bisa menggarap proyek film skala Hollywood yang dikerjakan animator lokal. Dengan begitu, akan ada transfer budaya sekaligus memperkenalkan nama Indonesia di dunia animasi internasional.

Rosalina

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus