Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenya nom-noman kang numpak sepedhah mau roke biru enom, cocog karo pakulitane kang kuning. Awake singset. Rambute klabangan loro nganti bokong. Nyangklong tas cilik wungu, isi buku-bukune. Umur-umurane kira-kira bangsa pitulasan taun. Nanging sok sopoa sing ndulu mesthi bakal ngelem marang kenya mau awit saka kaendahan ing awake. Ulate bingar, lan sedhela-sedhela nyawang tase kang kaya-kaya njalari atine dadi bungah. Susy Yudhawanti, mengkono arane kenya mau. Putrane pak Aswa Dwijautama, pensiunan guru sekolah dasar. Susy sekolah ing SMA Negeri 1 Pacitan lan lagi klas loro."
Begitulah S.B. Yudhoyono membuka cerita pendeknya. Cerita itu berkisah tentang seorang remaja bernama Susy Yudhawani. Pelajar kelas II SMA Negeri 1 Pacitan, Jawa Timur, itu berkulit kuning dan berambut panjang, dikepang dua sampai ke pantat. Hari itu dia begitu gembira karena memperoleh nilai bagus di sekolahnya. Cerpen S.B. Yudhoyono itu dimuat dalam Taman Putra Nomor 14 Tahun VIII, 1964.
J.F.X. Hoery, sastrawan Jawa yang kala itu rajin menulis di Taman Putra, mengatakan bahasa Yudhoyono saat menulis "Kabungahan" (Kegembiraan) tersebut tergolong bagus. "Saya rasa redakturnya tidak mengedit banyak," kata Hoery, kini 68 tahun, beberapa waktu lalu kepada Tempo.
Sayang, Taman Putra yang memuat karya Susilo Bambang Yudhoyono yang kini Presiden Indonesia itu merupakan edisi terakhir. Setelah itu, majalah remaja yang tadinya merupakan edisi terpisah Panjebar Semangat itu menjadi salah satu rubrik Panjebar Semangat saja. Taman Putra mulanya adalah sebuah sisipan empat halaman di Panjebar Semangat sejak 1958. Rubrik ini khusus mewadahi karya sastra para penulis pemula. Karya sastra yang ditampung dalam rubrik ini berupa cerita pendek remaja dan geguritan (puisi).
Karena peminatnya banyak, salah seorang redaktur Panjebar Semangat, Soebagijo Ilham Notodidjojo (almarhum), berinisiatif menerbitkannya secara terpisah dari Panjebar Semangat, dan muncul dua kali sebulan. Jumlah halamannya ditambah menjadi 20. Penyumbang naskah pun semakin banyak. Penulisnya rata-rata masih duduk di bangku SMP, SMA, atau sekolah pendidikan guru. Respons pembaca juga bagus. "Dalam waktu dua tahun, oplah Taman Putra sudah mencapai 10 ribu," kata Hoery.
Dari Taman Putra inilah bermunculan pengarang remaja yang produktif. Selain Hoery, yang berasal dari Bojonegoro, ada Tamsir Arif Subagyo (Tulungagung), Sasmito Esmiet (Banyuwangi), Moh. Nursyahid P. (Surakarta), dan lain-lain.
"Taman Putra ditutup karena negara mengalami krisis kertas serta situasi politik saat itu tidak menentu," kata Hoery. Namun para penulisnya tetap melanjutkan eksistensi ke Panjebar Semangat. Karya Tamsir dan Esmiet bahkan mendominasi rubrik cerita bersambung dan cerita pendek di media tersebut hingga awal 1990-an.
Keberadaan para penulis jebolan Taman Putra ini menambah panjang daftar pengarang yang lebih dulu malang-melintang di Panjebar Semangat. Pengarang senior Panjebar Semangat sebelumnya adalah Any Asmara, Widi Widajat, Iesmaniasita, Suparto Brata, Suryadi W.S., Sri Hadidjaja, dan lain-lain.
Tak hanya rajin menulis di Panjebar Semangat—seperti para seniornya itu—mereka membidani lahirnya sanggar sastra Jawa di daerah masing-masing. Tamsir Arif Subagyo, misalnya, mendirikan Sanggar Triwida pada 1980, Sasmito Esmiet membentuk Sanggar Parikuning di Banyuwangi, dan J.F.X. Hoery turut mendirikan Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro. Dari sanggar-sanggar tersebut, penulis baru bermunculan, seperti Tiwiek S.A., Harwimuka, Sunarko Budiman, Djajus Pete, dan Suharmono Kasiyun.
Menurut Suparto Brata, Tamsir dan Esmiet berperan besar dalam mengubah warna karya sastra Jawa. "Pada 1950-1960, tema cerita yang ditulis pengarang biasanya berkisar pada masalah perjuangan dan percintaan. Setelah generasi Tamsir muncul, tema sosial kekinian lebih mendominasi," kata Suparto, kini 81 tahun.
Ia mencontohkan karya Tamsir mengenai kehidupan para nelayan yang berjudul "Ombak-ombak Sunglon" yang dimuat bersambung pada 1970-an. Tamsir meninggal pada 1997 karena serangan jantung. Esmiet menyusul enam tahun kemudian.
Dunia sastra Jawa pun kehilangan besar dengan meninggalnya dua penulis tersebut. Menurut Tiwiek S.A., baik Tamsir maupun Esmiet rela mengorbankan harta bendanya demi eksistensi sastra Jawa, termasuk membiayai berbagai penerbitan buku berbahasa Jawa. Ia pun tak segan mendanai bermacam pertemuan yang membahas sastra Jawa. "Kebetulan, selain guru, dia memiliki usaha penggilingan tebu," kata Tiwiek.
Namun sebenarnya, menurut Tiwik, sebelum mereka, Suparto lebih dulu memasukkan warna lain ke Panjebar Semangat dengan naskah cerita bersambung bertema detektif pada 1962 berjudul "Tanpa Tlacak" (Tanpa Jejak). Tak disangka, cerita tentang terbunuhnya pemilik hotel secara misterius itu mendapat sambutan luas pembaca. Suparto pun kembali mengirimkan karya dengan tema serupa berjudul "Emprit Abuntut Bedhug" (Emprit Berekor Beduk) dan "Garuda Putih". Detektif Handaka adalah tokoh sentral cerita tersebut. "Pada zaman itu karya sastra Jawa bertema detektif masih asing. Namun, begitu muncul, langsung digemari pembaca," kata Suparto, yang hingga kini masih aktif menulis.
Meski tulisannya populer, Suparto mengakui bahwa Any Asmaralah (almarhum) sesungguhnya pengarang Jawa yang paling banyak digemari pada zamannya. Pengarang kelahiran Banjarnegara, 13 Agustus 1913, dengan nama asli Achmad Ngubaeni Ranusastraasmara itu, kata Suparto, tak hanya produktif menghasilkan karya sastra di majalah, tapi juga dalam bentuk buku. Tulisannya enak dibaca dan temanya kebanyakan soal percintaan. "Karangan Any Asmara berpengaruh di kehidupan masyarakat," kata Suparto.
Suparto menceritakan, saat adiknya menikah di Ngombol, Purworejo, Jawa Tengah, petuah-petuah yang disampaikan penghulu sampai mengutip isi cerita pendek Any Asmara yang dimuat Panjebar Semangat. Begitu pula ada sebuah kejadian para penghuni asrama putri di sebuah sekolah bidan di Solo ketakutan keluar malam setelah membaca karya Any Asmara yang berbau misteri. Kejadian itu ditulis Suparto dalam bukunya yang berjudul Jatuh Bangun Bersama Sastra Jawa. "Any Asmara pengarang hebat, belum tertandingi hingga kini," ujar Suparto.
Kepopuleran pengarang ternyata sangat mempengaruhi perjalanan Panjebar Semangat. Menurut Sugiono, dari bagian pemasaran Panjebar Semangat, faktor pengarang ini begitu mempengaruhi naik-turunnya oplah. Sebab, rubrik sastra, terutama cerita pendek dan cerita bersambung, memang bagian yang paling digemari pembaca. Any Asmara, kata dia, salah satu pengarang yang membuat tiras medianya melonjak bila cerita bersambungnya dimuat. "Setelah cerita tamat, oplah turun lagi," kata Sugiono.
Kukuh S. Wibowo (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo