SEORANG pakar istimewa muncul di Jakarta pekan lalu. Itulah Profesor Herbert A. Simon, 73 tahun, pemenang hadiah Nobel bidang ekonomi pada 1978. Ia berbicara di depan para ekonom dan pengusaha, pada seminar yang diadakan Pusat Antar-Universitas (PAU) Bidang Ekonomi UI dan ISEI, Selasa pekan lalu. "Inilah pertama kalinya seorang pemenang Nobel berada di tengah para ekonom Indonesia," kata Menteri Keuangan Prof. Dr. Sumarlin. "Karyanya merupakan kitab suci bagi mahasiswa administrasi negara di dunia," tambah Ketua Umum ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) ini. Sumarlin, dalam acara yang berlangsung di aula Bank Duta, Jakarta Pusat, itu bertindak selaku moderator dan pembuka diskusi, yang dihadiri ratusan peserta ini. Topik yang dibicarakan adalah dampak komputer pada manajemen. Selain mendalami ilmu ekonomi dan manajemen, Herbert A. Simon memang mendalami ilmu politik, psikologi, dan komputer. Dalam ceramahnya ia menekankan masalah manajeman yang harus dipecahkan oleh seorang manajer. Seorang manajer yang baik, katanya, tentu sudah dilengkapi dengan jurus-jurus mengambil keputusan. Misalnya saja dengan melakukan proses identifikasi masalah, identifikasi alternatif pemecahannya, dan memilih alternatif yang terbaik. Ini kelihatannya gampang tapi, dalam kenyataannya, ternyata cukup pelik. Ambillah pengalaman anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional AS ini sebagai contoh. Yakni ketika Kongres AS meminta pakar organisasi ini untuk membentuk tim ahli dalam merumuskan standar ukuran pencemaran maksimum dalam rancangan UU pencemaran udara AS, 1977. Tim yang terdiri dari para ahli berbagai disiplin ilmu ini segera bekerja. Para ahli mesin dengan cepat dapat menentukan berapa biaya tambahan yang harus dikeluarkan jika tingkat pencemaran maksimum mesin harus diturunkan ke standar tertentu. "Namun, langkah berikutnya, yaitu menentukan manfaat apa yang didapat oleh Pencemaran itu, ternyata lebih pelik," kata alumnus Universitas Chicago ini. Sebab, pencemaran ternyata juga sangat ditentukan oleh cuaca. "Dan ilmu cuaca mengandung terlalu banyak variabel untuk dapat diramalkan dengan akurat," katanya. Kerumitan ini bertambah lagi ketika tim mencoba mengukur dampak penurunan pencemaran itu terhadap kesehatan manusia. "Alhasil, tim tidak berhasil mengadakan analisa biaya dibandingkan manfaat," kata Profesor Simon. Tapi bukan berarti standar itu lantas tak diberikan. "Keputusan diambil berdasarkan perkiraan yang dianggap paling rasional," tuturnya. Dan ini, menurut Simon, membuktikan bahwa apa yang disebut "rasional" dalam pengambilan keputusan manusia, sebetulnya, "terbatas". Keterbatasan ini terutama berkaitan dengan kemampuan otak manusia mencerna persoalan. Ia lantas mengambil contoh tentang para pemain catur. "Mereka tidak memperhitungkan semua kemungkinan langkah yang ada, karena itu tak mungkin dilakukan," katanya. Maklum, dalam permainan catur -- yang kelihatan sederhana itu -- ternyata terdapat 10 pangkat 120 kemungkinan (artinya 10 dengan 120 "0" di belakangnya). Memproses milyaran kemungkinan ini jelas lebih cocok untuk komputer. Dan itulah memang harapan para manajer ketika komputer dilahirkan. Kemampuannya untuk menghitung jutaan data tanpa henti dan rasa lelah tentu merupakan alat bantu yang sangat bermanfaat dalam membantu manajer mengambil keputusan. Paling tidak, begitulah persepsi yang umum berlaku. Maka, lahirlah kemudian konsep Management Information System alias MIS Dalam konsep ini, semua data perusahaan dimasukkan ke dalam komputer untuk diolah sesuai dengan keperluan para manajer. Konsep ini segera menjadi andalan para penjual komputer dan menjadi kebanggaan para manajer yang memilikinya. Ampuhkah MIS sebagai alat bantu para manajer? "Ternyata, kebanyakan mengecewakan," kata Profesor Simon. Persoalannya ternyata sederhana. "Persepsi bahwa manajer akan mengambil keputusan yang tepat bila diberi data lengkap itu kurang tepat," katanya. Sebab, data lengkap itu, yang biasanya berupa tumpukan kertas komputer, terlalu banyak untuk dicerna sang manajer. "Yang sering terjadi adalah si manajer memindahkan tumpukan kertas itu dari sudut mejanya ke tempat sampah," kata Simon, yang disambut tawa riuh hadirin. Menurut Simon, bukanlah kurang lengkapnya data yang menyebabkan MIS ini mengecewakan. Melainkan karena terbatasnya "perhatian" yang dapat diberikan manajer itu untuk mencernanya. Karena itu, ia mengusulkan agar MIS diganti -- atau mungkin lebih tepat "disempurnakan". Konsep pengganti yang ditawarkan Simon adalah Effecttve Information System (EIS). Yakni berupa MIS yang diberi hierarki sesuai dengan struktur manajemen yang ada. "Jadi, informasi yang diterima manajer top sudah disaring sebelumnya hingga tinggal yang relevan saja," katanya menjelaskan. Perihal "menyaring" ini dapat dilakukan dengan dua cara. Yaitu dilakukan para manajer di tingkat lebih bawah, "Atau dengan memasukkan kemampuan memilih ini pada program komputernya," kata pakar yang juga pelopor Artificial Intelligence (AI) ini. AI, alias program komputer yang mempunyai kemampuan "berpikir" seperti manusia, merupakan perkembangan terakhir dalam bidang komputer. Dan Profesor Simon, yang mengaku sebagai kelompok radikal dalam bidang AI, beranggapan pada akhirnya komputer akan mampu mengambil alih sebagian besar tugas manajer. Persis seperti mesin mengambil alih sebagian besar pekerjaan manusia di industri. Bambang Harymurti (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini