INILAH perjalanan panjang Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama (RUU-PA) yang sempat bolak-balik di Sekretariat Negara. Memenuhi Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1970 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU dan Peraturan Pemerintah (PP), rancangan ini dipersiapkan sejak tahun 1971. Tapi waktu itu, diharapkan agar dibawa ke lembaga legislatif setelah usai RUU tentang Peradilan Umum (PU) dan Mahkamah Agung (MA). RUU-PA yang 7 bab dan menyandang 198 pasal itu membicarakan masalah Ketentuan Umum, Susunan dan Kekuasaan Pengadilan serta Acara. Ada beberapa yang penting dihapuskannya ketentuan yang mengatur ketergantungan PA terhadap PU. Sedangkan ketentuan pada pasal 63 ayat (2) dalam Undang-Undang Perkawinan (UUP), yang mengatur pengukuhan putusan PA oleh PU dinyatakan tidak berlaku pula. Kewenangan PA nanti tidak saja akan mengatur perkara dalam perkawinan (nikah, talak, cerai, rujuk, atau NTCR). Juga akan menanggani waris, wasiat, hibah, wakaf, dan sadakah. Artinya, bila RUU itu gol menjadi UU, maka fungsi PA itu "sembuh" seperti semula. Selama ini kewenangan PA di wilayah Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan, misalnya, dikebiri oleh Staatsblad 1937 Nomor 116 dan Nomor 638: tidak berwenang mengadili perkara kewarisan seperti PA di wilayah lain-lain. Kewenangan soal waris itu, kata Munawir, karena pengaruh teori receptie yang ada pada PP Nomor 45 Tahun 1957 itu dan memang sering menimbulkan perbedaan penafsiran anatara PA dan PU. Tetapi setelah rapat kerja gabungan antara Mahkamah Agung dan Ketua Pengadilan Tinggi dari semua lingkungan peradilan, pada 1985, maka ditetapkan bahwa perkara waris dari mereka yang beragama Islam di wilayah PP Nomor 45 Tahun 1957 sudah menjadi kewenangan PA. RUU ini juga menyebuit berlakunya Acara Perdata pada pengadilan dalam lingkungan PU pada PA. Acara yang berlaku di PA selama ini pada prinsipnya tidak berbeda dengan Acar, Perdata di PU. Malah para hakim agama juga sudah diperintahkan agar berpedoman pada HIR dan RBg untuk hal-hal yang belum diatur dalam perundangan peradilan agama dan fikih. Tapi menurut Dr. A. Gani Abdullah, Staf Badan Peradilan Agama Departemen Agama, Hukum Acara Perdata yang dipakai PN yang diberlakukan dalam PA ini menunjukkan akan tetap menimbulkan dualisme. Karena itu, lalu ia mengusulkan agar diberi pengikat yang menetapkan agar kepada mereka yang muslim mencari upaya hukumnya ke PA -- sepanjang memang dalam batas yang menjadi kewenangannya. Kemudian mengenai yang tak dikenal atau berbeda pengaturannya dengan acara yang berlaku pada PU, diminta pula agar diatur secara khusus. Misalnya tentang li'an (seseorang bersumpah bahwa ia dilaknat Allah bila berdusta) dan memeriksa sengketa perkawinan menyangkut cerai talak dan cerai gugat. Kenapa masalah perceraian perlu diatur secara khusus? Ini tak lain karena PP Nomor 9 Tahun 1975 yang disebut-sebut kurang memberi kesempatan pada istri untuk membela hak-haknya memang sudah waktunya dirombak. Dalam peraturan itu disebutkan: surat permohonan suami yang akan menjatuhkan talak terhadap istrinya harus diajukan ke Pengadilan Agama yang berada di wilayah si suami berdomisili. Sedangkan gugatan cerai oleh istri harus pula diajukan ke Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggal suami. Istri benar-benar dirugikan dengan aturan main ini. Tapi dalam RUU-PA itu ketentuan tersebut dibalik. RUU pasal 66 ayat (2) dan pasal 73 ayat (1) disebutkan: permohonan membuka sidang penyaksian ikrar talak oleh suami diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri. Kemudian, gugatan perceraian dari istri boleh diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri. Bahkan kewenangan memberikan bukti perceraian juga boleh ke Pengadilan Agama, dan tidak lagi dikirim ke KUA Kecamatan sebagaimana diatur dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 itu. Tentang li'an, sebagaimana disebut di pasal 39 ayat (2) UUP dan pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975, ini dijadikan salah satu alasan bercerai, karena berzina. Tapi prakteknya di Pengadllan Agama, perceraian dengan alasan ini tak pernah terjadi, karena belum diatur hukum acaranya. Sedangkan di Quran, dalam surat An-Nur ayat (6) disebutkan bahwa li'an mengakibatkan perceraian yang tidak memungkinkan mereka menikah lagi. Dan lebih dari itu, li'an juga berfungsi bakal menyangkal kesahan atau keabsahan anak yang dikandung oleh istri dari bibit suaminya. Ini menarik. Seorang suami yang menuduh istrinya berzina, maka dia cukup mengucapkan sumpah li'an empat kali berturut-turut (RUU PA pasal 87). Lalu pihak istri? Ia juga bisa melakukan hal serupa untuk menyangkalnya. Di sini malah tidak disebutkan lagi perlunya saksi bagi orang yang menuduh zina. Ini boleh jadi merupakan suatu perkembangan hukum baru, disesuaikan dengan "kondisi modern", saat banyak orang yang gampang terlibat berbuat zina. Lalu, seandainya mau "mempermainkan" pasal ini oleh seorang suami yang sudah tidak sudi lagi dengan istrinya, maka ia cukup mengucapkan sumpah li'an. Bahkan suami juga dapat ber-li'an untuk menolak mengakui anak yang dilahirkan istrinya. Ahmad Azhar Basjiir. Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, menilai pasal li'an ini yang terbaik. Memang, dalam Quran, di surat An Nur ada disebutkan: apabila seorang suami menuduh anak yang dilahirkan istrinya itu bukan anak sah, maka dia haruslah menghadirkan empat saksi yang memang melihat perlakuan serong istri. Namun, ini tentu sulit. Maka, sebagai gantinya si suami cukup melakukan sumpah li'an. Cuma, ekor persoalan adalah: lantas bagaimana nasib anak yang sudah disumpah-sumpah itu? Kemudian tentang sorang lelaki muslim "telanjur" menghamili seorang perempuan, padahal mereka belum diikat oleh pernikahan. Keduanya, seperti tersebut dalam Kompilasi Hukum Islam, boleh menikah. Artinya, mereka tak perlu menikah ulang setelah bayi itu lahir. Lalu ajaran agama mempertanyakan, pernikahan itu sah adanya? Dan bagaimana status anak yang bakal dilahirkan itu, bukankah masih tetap dinyatakan anak jadah? Bahkan anak yang dibuahi oleh si lelaki pada masa pranikah itu berhak pula mendapat warisan? Dalam UUP pasal 42 menyebutkan, "Anak yang sah adalah yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah." Menurut Ahmad Azhar Basjir, pasal ini tidak tegas, karena di situ disebutkan bahwa batas minimum hanya 6 bulan sejak nikah dilangsungkan. "Jadi, anak yang dilahirkan 6 bulan setelah perkawinan itu dianggap sah. Ini janggal." Bagaimana pula halnya dengan seorang suami yang menikahi wanita yang dihamili beberapa lelaki. Apakah lelaki yang kemudian menikahinya memang ayah kandung dari anak yang bakal lahir? Dan apakah anak itu nanti juga bakal memperoleh harta waris dari bapak resmi secara hukum, bila orangtua itu meninggal kemudian? Begitu pula kalau seorang bapak meninggal dan mempunyai anak yang beragama nonmuslim, apakah anak kandung itu tak memperoleh warisan? Sebaliknya, apakah anak yang muslim tak dapat warisan dari ayahnya yang nonmuslim lalu meninggal? Artinya, bukankah ini sebuah sengketa? Dan dalam sebuah persengketaan perihal harta benda atau kepemilikan, bagaimana kalau anak itu tidak mendapat waris kemudian meuntut lewat PN? Toh menurut hukum positif, dan dari sisi hubungan darah, anak itu berhak atas peninggalan bapaknya. Sementara menurut syariat Islam, yang nonmuslim tidak bakal menerima bagian. Bagaimana pula halnya dengan anak angkat yang menurut Islam tidak berhak mendapatkan warisan. Bahkan apakah anak dari istri simpanan seorang bapak juga tidak mendapatkan warisan? Soalnya, secara hukum agama pernikahan bawah tangan itu dapat dikatakan sah. Sementara itu, bagaimana pula dengan pembagian harta yang bakal diberlakukan? Apakah akan dipakai model reaktualisasi yang pernah dilontarkan oleh Munawir Sjadzali tentang pembagian waris antara lelaki dan perempuan berbanding 1:1 atau seperti diamanatkan Quran: wanita mendapat separuh dari laki-laki, Adz dzakaru mitslu hadzdzi al huntsayain. Masalah ini tentu bakal menimbulkan debat menarik nanti di DPR. Kemudian, persoalan lain yang mungkin menjadi silang pendapat adalah tentang perkawinan antaragama. Dalam UUP (1974) hal itu tak diatur secara jelas, kecuali cuma mengakui perkawinan menurut ketentuan agama masing-masing. Kini di tengah masyarakat, banyak pasangan yang berbeda agama yang merasa sudah cocok untuk membentuk mahligai rumah tangga, tapi kesulitan melaksanakan hajat pernikahan mereka. Akibatnya banyak yang terpaksa menikah melalui jalur Catatan Sipil (CS) di PU. Belakangan, pernikahan melalui CS itu muncul sebagai kasus yang ramai dibicarakan. Contohnya, pernikahan penyanyi Jamal Mirdad dengan Lidya Kandouw (TEMPO, 7 Juni 1986). Banyak pihak menilai bahwa perkawinan antaragama itu kurang menguntungkan. Bahkan Hakim Agung Bismar Siregar menyebutkan, bila ada perempuan muslimah menikah dengan lelaki nonmuslim itu, maka ia sudah menyatakan diri lebih utama memilih suami daripada mempertahankan agamanya. Padahal, seperti kata Nani Yamin pada Syafiq Basri dari TEMPO, sebaiknya pelajari dulu agama masing-masing. Lalu ia melihat bahwa mungkin perkawinan itu perlu di pertimbangkan. Menurut Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga (LKBH UWK) Jakarta itu, jangan mengajak keduanya melanggar ajaran agama. "Ini yang saya tidak setuju. Jangan lupa, Catatan Sipil itu bukan lembaga perkawinan, tapi lembaga pencatatan perkawinan. Di hadapan Tuhan, wallahu'alam," ujar Nani. Perkawinan, pada hakikatnya, memang tidak sekadar urusan yang berkaitan antara muslim dan nonmuslim. Tapi mengenai dampak dalam keluarga, biasanya sering berbuntut. Cuma lain dengan pasangan bekas Gubernur Kalimantan Timur Ir. Silvanus dan G.R.Ay. Kus Supiah, putri Paku Buwono XII di Solo. "Soal agama anak kami, misalnya, tidak menjadi masalah. Itu tergantung pilihan mereka, mana yang lebih berkesan pada jiwanya masing-masing," kata Kus Supiah. Demikian pula dalam keluarga Ketua Umum PSSI Kardono. Ia muslim yang beristrikan wanita Katolik. Kemudian kepada kelima anak mereka diberikan kebebasan memilih agamanya masing-masing. Bahkan ketika Kardono naik haji, justru istrinya mengantarnya hingga ke Jeddah (TEMPO, 1 November 1986). Lain halnya dengan kasus rebutan anak antara Edi Suhatman dan Yenny Rumengan. Suami istri yang bercerai itu mempersoalkan siapa yang memelihara anak hasil pernikahan yang berusia enam tahun. Semula Yenny ditetapkan sebagai yang berhak. Tetapi setelah melihat anak itu disia-siakan oleh Yenny yang waktu menikah masuk Islam setelah cerai kembali memeluk Kristen, maka Edi mengajukan permohonan ke PA di Medan agar ditunjuk sebagai pengasuh anak. Permohonan ini dikabulkan, dan dikuatkan Pengadilan Tinggi Agama (PTA) dan Mahkamah Agung. Tapi Edi tidak dapat mengambil anaknya karena PA tak punya hak melaksanakan eksekusi. Akhirnya bapak yang penasaran ini mengajukan kasus ini ke Pengadilan Negeri (PN) Medan. Ia berhasil. Masalah lain dalam RUU-PA itu adalah pengadaan juru sita. Ini sesuai dengan asas kemandirian PA, kelak. Artinya, di sini membutuhkan banyak perangkat, sebagai alat lembaga PA yang bakal menangani masalah warisan berbentuk benda-benda tidak bergerak seperti sawah, empang. Bahkan boleh jadi, siapa tahu, juga ada kasus masjid keluarga. Lalu bagaimana tata cara dan pengaturan wakaf? "Ke mana orang akan mengadu bila ada tanah wakaf yang dijual oleh lembaga atau penerima wakaf?" tanya juru bicara Fraksi ABRI, Sundoro. Menurut Kompilasi, itu bisa disalurkan ke pengadilan agama. Dalam pada itu, di kompilasi disebut bahwa di tiap kecamatan mempunyai lembaga wakaf dan pejabat pembuat akta ikrar wakaf. Pejabatnya diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama. Sedangkan nazir, orang atau lembaga yang menangani wakaf, diangkat oleh Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan camat setempat.Agus Basri, Ahmadie Thaha, Makmun Al Mujahid, Slamet Subagyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini