TIDAK banyak perusahaan yang mampu merayakan ulang tahunnya dalam semangat ekspansif seperti Garuda Indonesia. Perusahaan ini menyediakan dana sebesar dua milyar dolar AS, untuk membeli enam pesawat MD-11 dan enam Boeing 747, yang baru akan diterima tahun 1991 dan 1994. Garuda juga akan memesan Airbus A-340, yang desainnya kini masih dirancang. Semua berita bagus itu disampaikan oleh Dirut Garuda, Mochamad Soeparno. dalam perayaan ulang tahun Garuda ke-40, Kamis pukan lalu di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta. Dengan demikian. Soeparno melanggar tekadnya sendiri, yang pada awal tahun 1988 bersiteguh tidak akan membeli pesawat baru. Ternyata, dalam persidingan yang seru di bisnis penerbangan internasional, Garuda berhasil menambah jumlah penumpang, hingga mutlak diperlukan lebih banyak pesawat. Selain itu, Garuda jelas meraup laba lebih besar. Ini juga diungkapkan oleh Dirut Soeparno. Tapi bagaimana posisi keuangannya masih dipertanyakan banyak orang. Benarkah Garuda untung Rp 127 milyar? ini berarti lompatan besar karena tahun sebelumya laba Garuda hanya Rp 299 juta. Bahkan selama delapan tahun, sebelum 1987, Garuda merugi. Menurut Soeparno, kalau dijumlahkan dalam waktu sewindu itu, kerugian Garuda mencapai Rp 865,908 milyar. Nah, bagaimana bisa tiba-tiba untung di atas Rp 100 milyar? Dan kalau memang untung, mengapa Garuda masih meminta banyak fasilitas dari Pemerintah? Misalnya saja penurunan harga avtur untuk penerbangan luar negeri. Selain itu, Garuda masih dibebaskan dari segala pajak. Padahal, akhir tahun 1987, Pemerintah juga telah menghibahkan berbagai aset yang sebelumnya bukan milik Garuda, seperti pusat perawatan pesawat di Bandara Soekarno Hatta. "Memang, fasilitas-fasilitas itu sengaja saya mninta pada Pemerintah," kata Soeparno. Itu dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada Garuda, terutama dari kalangan bankir. Masih dalam rangka memperbaiki neraca keuangan, Soeparno juga minta agar kerugian akibat dua kali devaluasi -- tahun 1983 dan 1986 dibebankan pada tahun yang bersangkutan. Padahal, kerugian itu biasanya ditutup secara bertahap, tahun per tahun. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah revaluasi terhadap semua kekayaan. Inilah faktor yang menentukan. Bagaimana tidak, kalau pesawat-pesawat yang dimiliki sekarang merupakan hasil pembelian beberapa tahun lampau. Ketika itu kurs dolar dalam rupiah jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan kurs yang sekarang. Contohnya, pesawat DC-9 yang dibeli tahun 1968 -- waktu nilai satu dolar masih Rp 400-an. Kalau dihitung penyusutannya, maka pesawat-pesawat yang dibeli dulu, sekarang nilainya sudah nol. Dan setelah dinilai kembali dengan kurs dolar yang berlaku sekarang, kekayaan Garuda (termasuk harta lainnya) hampir Rp 2 trilyun. Lain halnya kalau tidak ada revaluasi, "Aset Garuda tidak akan sampai setengahnya dari Rp 2 trilyun," kata Soeparno. Masih belum cukup? Dengan harga avtur yang lebih murah Garuda bisa menghemat sekitar Rp 80 milyar setahun. Sementara ini, avtur untuk penerbangan dalam negeri boleh mengutang sebulan -- sebelumnya harus tunai "Ini saya minta karena, selain untuk mendorong industri pariwisata, kan Garuda juga ikut membantu ekspor nonmigas," kata Soeparno. Konon, lantaran bertambahnya fasilitas-fasilitas itu, plus adanya revaluasi, akhirnya Garuda bisa memperoleh laba Rp 177 milyar. Paling tidak, seperti dikatakan seorang pengamat ekonomi di Jakarta, perusahaan yang merugi sekalipun, kalau mengalami perubahan aset seperti itu, akan berbalik menjadi untung. Diakuinya, revaluasi seperti yang dilakukan Garuda juga dilakukan perusahaan lain. Hanya tampaknya, Dirut Soeparno berusaha memsahkan antara hasil revaluasi dan keuntungan yang diperoleh. Menurut dia, dua tahun terakhir ini -- tahun 1987 dan 1988 -- Garuda benar benar melaba. Itu kalau dilihat dari total pendapatan tahun lalu (Rp 1,762 trlyun), yang kemudian dikurangi dengan total biaya (Rp 1,519 trilyun). Maka. diperoleh sisa hasil usaha kotor sebesar Rp 243 milyar. Kemudian, angka itu dikurangi lagi dengan biaya di luar usaha (seperti beban bunga) sekitar Rp 1 15,167 milyar sehingga diperolehlah angka laba Rp 127 mlyar. Tapi Soeparno juga tidak membantah kenyataan bahwa angka itu bisa lain kalau akumulasi rugi delama delapan tahun itu dimasukkan ke dalam neraca. "Ya, jatuhnya masih rugi," ujarnya. Tapi itu tidak berarti, kerugiannya dilupakan atau dihapuskan. "Tetap dihitung, walaupun di luar neraca." Memang, dalam catatan keuangan Garuda, setelah dikurangi dengan laba, masih terhitung akumulasi rugi sebesar Rp 738 milyar. Itulah sebabnya, Garuda masih dibebaskan dari beban pajak pendapatan. Tidak hanya sampai di situ. Soeparno akan melakukan negosiasi dengan Pertamina agar Garuda, paling tidak, bisa memperoleh harga pelumas yang lebih murah. Memang, peranan pelumas dalam struktur biaya operasi tidak begitu besar. "Kan lumayan, biar jumlahnya kecil, kalau dikumpulkan banyak juga," kata Soeparno. Yang juga tak luput dari garapan manajemen Garuda adalah efisiensi organisasi. Misalnya saja, kegiatan antar-jemput crew penerbangan, yang setahunnya menelan biaya sekitar Rp 10 milyar. Untuk menghemat, Garuda membuat sebuah anak perusahaan yang khusus menangani antar-jemput. Hasilnya: para crew tetap terlayani, perusahaan itu kini memasukkan laba. Ini bisa terjadi karena penerbangan lain pun turut memanfaatkannya. Gerak efisiensi juga diperluas ke tempat Pendidikan & Pelatihan (Diklat) crew penerbang. Dari beberapa penerbangan asing, yang memanfaatkan jasa-jasa Diklat, Garuda bisa menekan biaya pendidikan. Kini sedang direncanakan untuk mengefektifkan fungsi sarana ground handling yang dimiliki. Tekniknya sama, akan didirikan sebuah anak perusahaan yang khusus mengelola pelayanan darat sehingga penerbangan asing pun kelak bisa memanfaatkannya. "Pokoknya, kendati BUMN, kami akan menerapkan sistem yang berlaku di dunia bisnis. Artinya, akan menjauhi sikap birokrat," ujar Soeparno. Langkah optimistis? Mungkin. Tapi, sayang, masih ada satu hal penting yang belum teratasi yakni "Senyum Garuda", yang mahal dan terkadang membuat kesal. Selain itu, masih sering terjadi, seorang penumpang yang sudah memiliki tiket ditolak dengan alasan pesawat sudah penuh. Sementara itu, ada penumpang lain, yang tiketnya belum ACC, bisa langsung check in karena menyodorkan beberapa lembar rupiah kepada petugas. Hal-hal yang seperti itu diakui oleh Soeparno tidak mudah diatasi. "Namanya juga mengubah perilaku, itu lebih sulit ketimbang mengubah aset," katanya. Padahal, dalam RAPBN 1989/1990, pemerintah bertekad untuk menggenjot industri pariwisata sebagai pemasok devisa yang andal. Tanpa partisipasi aktif dari Garuda, bisa saja RAPBN itu tidak mencapai sasaran.Budi Kusumah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini