MENTERI Agama Munawir Sjadzali menamakannya si Bungsu. Itulah Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama, yang diserahkannya kepada DPR, Sabtu pekan silam. RUU itu dijulukinya demikian, menurut Munawir, karena lahir terakhir di antara empat UU bersaudara di bidang peradilan. Ketiga lainnya yang ia maksudkan itu adalah UU di bidang Tata Usaha Negara, Pengadilan Umum, dan Militer. Kelahiran si Bungsu, yang menunggu disahkan DPR itu, merupakan jawaban jitu Pemerintah terhadap kebutuhan sejarah. Selama ini, sebagai bangsa yang merdeka Indonesia belum memiliki lembaga Peradilan Agama (PA) yang mandiri. Untuk setiap keputusannya, dan untuk menjalankan eksekusi dari keputusannya, PA masih memerlukan fiat dari Pengadilan Umum (lihat Rancangan Seelah Seabad Tak Seragam). Dalam banyak kasus, terutama menyangkut perceraian dan pembagian hak waris, pihak-pihak yang terlibat hampir selalu menyatakan tidak puas terhadap keputusan PA. Kemudian lebih menggantungkan nasib terakhirnya ke PN. Cerita begini tampak jelas dari, antara lain, pengalaman Nani Yamin sebagai Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga, yang tersebar di 12 daerah. "Masyarakat menginginkan pelayanan cepat -- tidak bertele-tele. Mereka itu mengurus perkaranya melalui Pengadilan Agama ataupun Pengadilan Negeri, seharusnya mendapatkan hak sama," kata Nani Yamin kepada TEMPO. Memang kondisi ini memprihatinkan. Padahal, di negeri-negeri jiran dan negeri yang agak berdekatan, misalnya Singapura, Filipina, dan Sri Lanka yang, katakanlah, merupakan negeri sekuler dengan persentase umat Islamnya tak besar, sudah lama ada peradilan agama. Di Sri Lanka, yang mayoritas warganya penganut Budha, malah ada Mahkamah Syari'ah. Tapi sejak awal Munawir Sjadzali mengingatkan bahwa kelahiran RUU-PA yang akan menjadikan PA setingkat dengan PN bukan karena mayoritas warga kita adalah Islam. RUU ini, sesuai dengan UU No 14, 1970, menegaskan bahwa keempat lingkup peradilan (umum, tata usaha negara, militer, dan agama) sama. Dan sampai sejauh ini PA, selain masih harus tergantung pada PN, juga tak seragam pelaksanaannya. Memang tidak lucu, dalam satu negara yang berdaulat, ada peradilan agama yang berbeda-beda antara satu wllayah dan wilayah lainnya. Orang Islam di Jawa dan Madura dengan di Kalimantan Selatan, umpamanya, tentunya sama saja. Sesudah kemerdekaan pun, perbedaan tersebut masih belum bisa dihindarkan. Yaitu dengan lahirnya PP No. 45 itu, tentang pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iah di luar Jawa dan Madura. Perbedaan tersebut makin tidak terselesaikan, karena pada dasarnya Belanda juga sudah berat ke hukum adat yang, tentu saja, berlainan antara satu daerah dan daerah lainnya. Padahal, sebelum kedatangan Cornelis van Vollenhoven yang mendesakkan teorinya kepada Pemerintah Hhldia Belanda -- untuk lebih mementingkan hukum adat ketimbang hukum Islam -- pada mulanya peradilan agama mendapatkan peran. Khususnya dalam mengatur perkara-perkara pcrdata penduduk pribumi. Ini menyedihkan, mengingat jauh sebelum itu bahkan hukum Islam yang diberlakukan di Indonesia -- yang sebenarnya berakar pada masa sebelum lahirnya Staatsblad 1882 itu -- bukan melulu mengurus perdata. Bahkan juga pidana atau jinayat. Demikian menurut Profesor H. Mohammad Daud Ali, guru besar Hukum Islam di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Sejak 1818 hukum pidana adat dan agama tidak diberlakukan lagi. Yang berlaku malah hukum pidana Belanda. Selanjutnya, akibat langsung dari kebijaksanaan pemerintah kolonial untuk mementingkan adat itu, menurut sejarawan Taufik Abdullah kepada Priyono B. Sumbogo dari TEMPO, adalah: Pengadilan Negeri mengambil alih hak-hak yang semula milik Pengadilan Agama itu. "Bisa dilihat, misalnya, dalam kasus-kasus di Minangkabau," kata Taufik. "Pihak Belanda, dalam kasus waris selalu cenderung memenangkan pihak adat, sesuai dengan garis matrilineal." Ini juga yang kemudian menjadi salah satu daya pikat untuk para peneliti. Orang Minangkabau kuat Islamnya, tetapi sekaligus menjalankan sistem kekerabatan matrilineal, padahal hukum Islam lebih bersifat patrialkal (garis ayah). Di samping van Vollenhoven, kekuatan pendorong yang menyebabkan Belanda condong ke hukum adat adalah Ter Haar dan para mahasiswa Hukum Adat di sekelilingnya. Kebanyakan mahasiswa ini terdiri dari para priayi Jawa, di antaranya yang kemudian terkenal dan berpengaruh pada politik hukum masa pendudukan Jepang dan masa revolusi adalah Profesor R. Supomo (meninggal pada tahun 1958). Ter Haar, Supomo, dan kelompoknya yang memperjuangkan penegakan hukum adat berpendapat bahwa dalam kenyataannya pengaruh Islam tidak mendalam pada aturan-aturan kewarisan dalam keluarga di Jawa atau di mana pun di Indonesia Demikian antara lain yang diungkapkan Daniel S. Lev dalam bukunya Islamic Courts in Indonesia. Selama itu, dan kemudian pada masa pendudukan Jepang, upaya golongan Islam untuk menegakkan kembali peran PA belum juga padam. Salah satu tokoh yang gigih dalam urusan itu adalah Abikusno Tjokrosujoso. Dalam sidang-sidang tertutup Sanyo Kaigi (Dewan Pertimbangan), Abikusno tak pernah mundur untuk menuntut berdirinya PA, dan pengadilan ini harus diperkuat dengan tenaga yang terdidik dan digaji oleh pemerintah. Dan haknya untuk mengurus masalah waris juga minta dipulihkan. Abikusno harus berhadapan dengan Supomo serta tokoh-tokoh lebih moderat seperti Mohammad Hatta dan Sartono. Bagi Hatta dan Sartono, untuk mengurusi perkara-perkara yang melibatkan orang Islam tidak perlu harus ada Pengadilan Agama Islam, tapi cukup melalui pengadilan biasa, di samping tidak mungkin mendasarkan hukum negara secara murni pada Quran. Pada titik perbedaan yang kemudian melahirkan isu Negara Islam ini, perdebatan belum juga hendak berhenti. Akhirnya disambung dalam forum Panitia Persiapan Kemerdekaan. Puncaknya terjadiJuli 1945, ketika akhirnya para peserta rapat-rapat tersebut menyetujui rumusan kompromistis yang disusun oleh Soekarno (Presiden RI pertama) bersama para pemimpin golongan Islam dan non-Islam. Itulah yang kemudian kita kenal sebagai Piagam Jakarta. Soekarno dan K.H. Masykur, tokoh NU, terpaksa memeras tenaga untuk meyakinkan pihak-pihak yang tidak sepaham dengan mereka yang berkompromi itu. Tetapi pada situasi seperti sekarang ini ketika RUU-PA sedang dalam genggaman DPR, banyak kalangan yang tiba-tiba miris, lalu mengingatkan mereka pada Piagam Jakarta. Soalnya, karena ada tiupan-tiupan men)erumuskan -- yang menyebutkan bahwa umat Islam seperti hendak menegakkan syariatnya. Tapi ini, selain sudah dibantah Menteri Agama sendiri bahwa kelahiran RUU-PA itu bukan karena oleh mayoritas atau minoritas Islam, juga disanggah oleh K.H. Ali Yafie, Rais Syuriah PB NU dan dosen Hukum Islam pada Universitas Islam Assyafi'iyah Jakarta. Kata Ali Yafie, "Saya pikir, orang yang beranggapan begitu, seperti melihat hantu di siang bolong. Karena, menurut saya, perkembangan hukum sampai keluarnya RUU-PA ini -- sama sekali tidak ada kaitannya dengan isu semacam itu." Atau, seperti kata Nurcholish Madjid, "Itu terang suatu penilaian yang traumatis. Marilah kita menghindarkan diri dari trauma semacam itu, dengan menganggap RUU ini sebagai proses nasional." Nurcholish menyebut soal kompilasi Hukum Islam yang penyelenggaraannya didukung oleh Munawir Sjadzali serta ia sendiri menawarkan reaktualisasi yang sempat dipolemikkan itu. Dan proses RUU-PA, kata Menteri Agama itu, lahir berdasarkan kenyataan yang masih berlangsung hingga sekarang. PA selama ini dasarnya Staatsblad 1882. "Tapi ironisnya, sarnpai sekarang malah para hakim agama tidak memiliki buku pegangan, kecuali buku-buku fikih yang terakhir dipersempit menjadi 12 itu. Tapi itu pun ditulis sekian abad lalu, dalam lingkungan yang tidak selalu masih sama dengan kita sekarang. Karena rujukannya tidak seragam, maka keputusannya juga terserah kepada tiap hakim. Bahkan banyak kasus yang terkatung-katung di PA, dan belum ada penyelesaiannya. Ini semua, karena betapa pentingnya segera ditetapkan Undang-Undang Peradilan Agama. Jadi, si Bungsu memang perlu.Mohamad Cholid dan Ahmadie Thaha (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini