SANG primadona ekspor Indonesia -- udang black dan blue tiger kini jatuh namanya di pasaran AS. Kejatuhan itu sangat mengenaskan, karena si windu nan hitam, justru nyelonong ke dalam daftar hitam di negeri Paman Sam. "Standar ekspor udang kita ke AS tidak dijaga," itulah berita buruk yang dilontarkan Menteri Perdagangan Arifin Siregar, di DPR, Sabtu pekan lalu. Kabarnya AS menganggap bahwa udang dari Indonesia itu sudah terkontaminasi, berbahaya buat kesehatan dan tidak bisa lagi diekspor ke negara itu. Kenyataan ini benar-benar ironis, terjadi ketika Indonesia sedang giat-giatnya menggalakkan ekspor non-migas, dan tambak udang menghadapi panen raya. Sungguh pahit, Jumlah udang berlimpah, tapi mutunya rendah. Lalu harga udang pun merosot, sementara bencana lain sudah pula menyergap si bongkok. Apakah memang begitu? Kurangnya kontainer pendingin, itulah bencana yang satu lagi, yang membuat eskportir udang, Soetrisno Bachir misalnya, merasa ketar-ketir. Mengapa kurang? Belum jelas benar. Yang pasti, kini berton-ton udang menumpuk di gudang, terancam busuk. Petani udang mulai gelisah. Di saat panen seperti sekarang, pengangkatan udang dari tambak tertunda -- karena tak ada pembeli -- maka biaya yang harus dikeluarkan jadi lebih mahal. Apa daya? Padahal ratusan petani udang telanjur menggeluti usaha tambak udang ini -- di sepanjang pantai utara Jawa, pantai timur Sumatera, dan juga di Ujungpandang. Ribuan hektar tambak dibuka, milyaran rupiah diinvestasikan. Sementara soal kontainer belum terpecahkan, terbetik berita dari Jepang: permintaan udang dari negeri pemakan udang itu, juga menurun. Padahal pengusaha di Indonesia tetap yakin bahwa pasaran udang Jepang elastis, karena itu harga tidak mungkin jatuh. Ternyata pucuk dicinta, pil pahit yang tiba. Dan masa gemilang ekspor udang tidak berkesinambungan. Mungkin kelak Indonesia bisa kembali merebut tempat sebagai eksportir terbesar jika mutu udang dijaga terus-menerus dan -- ini penting -- ditunjang oleh strategi pemasaran yang jitu. Tidak seperti sekarang, produksi digenjot besar-besaran, tapi mutu dan pemasarannya kurang dipersiapkan matang. Lihat saja Ika Citra Fishtama (ICF), salah satu eksportir udang yang sudah cukup punya nama. Biasanya, dalam setiap minggu ICF mengirimkan black tiger ke Jepang sebanyak tiga kontainer (sekitar 48,6 ton), dengan harga 585 ribu dolar AS. Tapi sejak Desember lalu ia hanya mampu mengirimkan sepertiganya, yakni satu kontainer saja. Ternyata APL (American President Line), perusahaan pelayaran yang mengangkut udang milik ICF, tak memiliki kontainer yang cukup. Pekan ini saja, ada 15 eksportir yang sudah memesan kontainer, "Tapi, yang terlayani paling hanya 5 perusahaan saja," kata Soetrisno Bachir, direktur utama ICF. Namun ICF termasuk mujur, sebab, masih bisa menjual enam kontainer dalam sebulan. Tak urung, gudangnya di Pekalongan -- berkapasitas 200 ton -- penuh sesak. Tambaknya yang menghasilkan 80 ton sebulan, dan tambak rakyat di sekitarnya, yang biasanya memasok 120 ton untuk ICF, juga dipenuhi udang yang siap dipanen. "Akibatnya, biaya produksi kami jadi membengkak." kata Trisno. Biayanya lipat dua: untuk udang dan gudang pendingin. Selain listrik mesti terus mengalir (supaya udang tetap beku). 150 buruh -- upah hariannya antara Rp 1.500 dan Rp 3.000 per hari -- tetap harus dibayar. Sialnya, kata Trisno, krisis peti kemas ini tidak akan bisa diatasi dalam waktu singkat. Dan ini diakui pula oleh Armanto Mardanus, direktur PT ASM. Perusahaan peti kemas itu, kini baru mampu membuat 30 unit kontainer. Semuanya disewakan kpada PT Pelni, tarifnya sekitar 17 dolar sehari, atau sekitar Rp 29.750. Nah, sementara Pelni minta tambahan sebanyak 90 unit, Jakarta Lloyd memesan pula 50 Unit. Tapi ASM tak mampu, karena kapasitas produksinya hanya tiga unit sebulan. "Kebutuhan akan peti kemas pendingin memang agak mengkhawatirkan," kata Almanto ASM memang berniat meningkatkan produksinya, tapi terbentur pada soal dana. Untuk itu, Arnanto merencanakan agar dalam waktu dekat, perusahaannya bisa masuk ke bursa paraalel. Ini beraarti bahwa eksportir udang masih harus berkutat mencari alternatif lain, agar investasi mereka yang milyaran rupiah tidak sampai amblas begitu saja. Diperkirakan jumlah devisa yang lolos gara-gara kontainer bisa mencapai US$ 221 juta atau Rp 389 milyar. Harus diakui bahwa prospek ekspor udang ini baru terang-benderang tiga tahun berselang. Diberlakukannya shohizei, atau pajak barang konsumsi, sebesar 3% oleh pemerinah Jepang (berlaku April depan), tidak sampai menghambat para pengusaha berdasi ataupun petani kecil untuk terjun ke tambak. Jepang misalnya, selama ini menyerap 80% udang Indonesia. Pada tahun 1987 udang Indonesia (dalam volume), menduduki peringkat ketiga setelah Taiwan dan India, dengan nilai ekspor 332 Juta dolar AS. Tahun lalu angka eskpor itu naik sekitar 33%, menjadi 442 juta dolar. Nah, bisa dibayangkan kalau krisis kontainer terus berlangsung. Di samping itu, dalam soal kualitas, Menperdag Arifin Siregar menyarankan agar eksportir Indonesia harus bersikap seperti pedagang Singapura. Konon, AS lebih suka membeli dari sana mutunya terjamin -- kendati harganya lebih mahal. Tapi benarkah udang Indonesia miskin kualitas? Sejauh ini belum ada bantahan dari pengusaha udang. Paling tidak, Soetrisno Bachir mengakui bahwa udang yang dikirim ICF pernah satu kali diklaim importir, karena sistem pendinginnya yang tidak memadai. Memang sistem itu kini sudah diamankan dengan contact plate, tapi bahwa udang terkontaminasi, kontainer kurang, dan pangsa pasar direbut negara lain, sungguh merupakan pukulan -- yang bisa membuat pengusaha berdasi maupun petani kecil sama-sama sesak napas.BK, Bachtiar Abdullah, Seiichi Okawa, dan Linda Djalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini