Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Digital

BRIN Rancang Floater Berbasis Material Komposit untuk Pesawat N219 Amfibi, Begini Keunggulannya

Dengan memakai floater berbasis material komposit, para peneliti berniat mengurangi bobot pesawat, sekaligus menurunkan biaya operasi.

8 November 2024 | 14.27 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Para peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) belakangan menjelaskan rincian pengembangan teknologi floater atau kaki pelampung dengan material komposit pada pesawat N219 amfibi (N219A). Sistem pengganti roda itu dirancang untuk mengoptimalkan operasional pesawat amfibi di wilayah perairan dan darat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peneliti Ahli Utama BRIN, Sayuti Syamsuar, mengungkapkan bahwa riset pengembangan floater sudah berjalan sejak 2023 dan telah mencapai tahap pengujian. “Material komposit digunakan untuk menggantikan aluminium, menciptakan struktur yang lebih ringan namun tetap kuat,” kata Sayuti melalui keterangan tertulis yang dikutip pada Jumat, 8 November 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengembangan floater ini dibahas oleh para peneliti Pusat Riset Teknologi Transportasi melalui seminar web bertajuk “Perkembangan Riset Floater Pesawat N219A” pada Rabu, 6 November lalu. Webinar ini membahas menjawab tantangan transportasi di Indonesia. Menurut Sayuti, tim mengadakan simulasi Computational Fluid Dynamics (CFD) untuk mengevaluasi aspek aerodinamika dan hidrodinamika N219A.

Floater berperan untuk memberikan daya apung optimal saat pesawat berada di air. Alat yang sama juga mengurangi hambatan aerodinamika saat terbang. Dengan memakai floater berbasis material komposit, para peneliti berniat mengurangi bobot pesawat, memperpanjang jangkauan operasional. "Juga untuk menurunkan biaya operasi," tutur Sayuti.

Kepala Pusat Riset Teknologi Transportasi BRIN, Aam Muharam, optimistis pesawat N219A bisa menjadi solusi angkutan untuk wilayah terpencil yang tidak memiliki bandara memadai. “Pesawat ini sesuai untuk kondisi geografis Indonesia dengan banyaknya pulau kecil yang sulit dijangkau,” ujar dia

Sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17 ribu pulau, kata Aam, Indonesia membutuhkan transportasi fleksibel yang bisa lepas landas dan mendarat di berbagai permukaan. Pesawat N219A ditargetkan menjadi penghubung wilayah yang medannya belum terjangkau oleh angkutan udara.

Meski digagas sejak lama, konsep pengembangan pesawat N219 baru disetujui pemerintah dan bisa dikerjakan oleh PT Dirgantara Indonesia (Persero) alias PTDI pada 2013 lalu. Proyek pesawat untuk penerbangan jarak dekat dan pegunungan itu akhirnya dimulai dengan pendanaan tahun jamak (multiyears) setahun setelahnya. 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus