Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Profesor Thomas Djamaluddin menilai perlunya ada koordinasi BRIN, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan instansi terkait tentang rencana kontingensi menghadapi potensi benda antariksa jatuh ke wilayah Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam diskusi daring yang diikuti dari Jakarta, Sabtu, 5 Oktober 2024, Thomas menyatakan, lokasi benda antariksa yang jatuh memiliki rentang ketidakpastian beberapa ribu kilometer sehingga tidak dapat diprakirakan secara pasti titik jatuhnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Thomas memberi contoh kejatuhan benda antariksa di Bengkulu pada 2016. Sebelumnya, pada 2021, bagian peluncur roket ditemukan jatuh di Kalimantan Tengah. "Memang tidak bisa diprakirakan titik jauhnya di mana sehingga kita harus bersiap-siap," kata dia, seperti dikutip Antara.
Melihat ketidakpastian soal jatuhnya benda antariksa itu, kata Thomas, Deputi Kebijakan Riset dan Inovasi BRIN menilai perlu adanya kolaborasi lembaga ini dan penganalisis benda jatuh antariksa dengan BNPB ketika benda tersebut sudah jatuh di wilayah Indonesia.
Dengan program pemantauan yang dikembangkan para peneliti BRIN, dapat diperkirakan objek-objek yang riskan jatuh ke wilayah Indonesia. "Karena ketika ketinggiannya di bawah 120 kilometer melintas Indonesia, itu ada potensi jatuh di wilayah Indonesia," kata Thomas.
Thomas menambahkan, ketika ada benda antariksa jatuh seperti meteorit misalnya, maka perlu dilihat apakah ada kandungan berbahaya atau tidak. Sebab, beberapa generasi satelit yang lebih tua ada yang menggunakan teknologi nuklir.