Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Digital

Dari Sunyi Menjadi Bunyi

Telkom sedang membangun sistem telepon khusus untuk kaum tunarungu dan tunawicara. Mereka kini sedang ”mengajari” komputer mengenali ratusan ribu kalimat yang kerap dipakai masyarakat.

9 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI kursi biru, dua ABG (anak baru gede) itu hanyut dalam diam. Hanya pada layar komputer, tatapan mata Erif dan Maman tertumbuk. Detik-detik berlalu. Sepotong jawaban yang ditunggu belum muncul juga. Dari sebuah komputer, terdengar nada sambung telepon berderit-derit. Suaranya seperti menjerit karena nada itu dihubungkan dengan pengeras suara.

”Halo, selamat pagi,” suara di ujung telepon terdengar membelah ruangan. Erif hanya diam. Maman juga membisu. Bahkan mereka tak tahu ada suara menjawab panggilan teleponnya. Sepuluh detik berlalu, jawaban itu muncul pada boks percakapan ada di komputer. Baru kali ini Erif membalas dengan mengetikkan kata-kata: ”Saya pesan tiket pesawat ke Medan.”

Huruf-huruf ketikan Erif seketika berubah jadi bunyi, seperti ada yang membacakan kalimat yang diketiknya. Intonasinya sangat datar, tanpa emosi. Suara mirip suara robot dalam film-film animasi itu pun segera dijawab petugas reservasi pesawat. ”Berangkat untuk tanggal berapa, Pak?” Lagi-lagi Erif hanya membisu, cuma jemarinya yang menari-nari di papan ketik.

Percakapan ”unik” antara teks dan suara itu akhirnya terus berlangsung hingga Erif mendapatkan tiket yang diinginkan. Sambungan telepon terputus. Kegembiraan pun tumpah. Belasan orang yang menyaksikan ”dialog” Erif dengan petugas reservasi tiket pesawat lewat layar proyektor itu pun bertepuk tangan meriah. Keriuhan suara mengisi sudut-sudut ruangan itu menandai lahirnya sebuah prototipe telepon untuk orang-orang bisu dan tuli. Keceriaan juga menyembul di wajah Erif dan Maman, murid tunarungu Sekolah Luar Biasa (SLB) Cicendo, Bandung.

Inilah telepon yang ditunggu-tunggu kaum tunarungu dan tunawicara Indonesia. Selama ini mereka kesulitan menelepon. Tak ada alat yang bisa mengubah teks menjadi suara atau sebaliknya. Ini berbeda dengan kawan-kawan mereka di Amerika Serikat atau Eropa. Mereka sudah punya telepon khusus. Alat ini tak bisa begitu saja diimpor ke Indonesia. Soalnya, alat ini hanya mengenali suara dan teks dalam bahasa Inggris!

Kisah telepon yang nama lengkapnya Sistem Telepon untuk Tunarungu (STTR) itu bermula dua tahun lalu. Saat itu sekelompok peneliti di Divisi Riset dan Teknologi Informasi (RisTI) PT Telkom tertarik membuat telepon untuk kaum tunarungu. Ada dua teknologi utama yang digunakan dalam sistem itu. Pertama, mengubah teks menjadi suara (text to speech atau TTS). Kedua, mengubah suara menjadi teks (automatic speech recognition atau ASR).

Untuk sistem pertama tak sulit. Ada dosen elektro Institut Teknologi Bandung, yakni Dr Arry Akhmad Arman, yang telah membuat sistem pengubah teks menjadi suara. Nah, yang repot adalah membuat sistem kedua, pengubah suara menjadi teks. ”Kendalanya karena dialek dalam bahasa Indonesia jumlahnya ratusan,” kata Taufik Hasan, Kepala Divisi RiSTI Telkom kepada Tempo.

Berawal dari kesulitan inilah, peneliti Telkom pun keliling memburu solusi. Mereka kemudian mengajukan proposal ke program pertukaran riset yang diselenggarakan Asia-Pacific Telecommunity (APT), komunitas perusahaan di bidang telekomunikasi, pada 2003. Dari puluhan proposal yang masuk, rencana Telkom disetujui. Syaratnya, perusahaan telekomunikasi pelat merah ini diharuskan mencari mitra penelitian. Pilihan pun jatuh ke Advance Telecommunication Research (ATR), perusahaan riset telekomunikasi asal Jepang. Telkom beralasan, ATR berpengalaman dalam membuat pengenal suara. Ternyata proposal kerja sama yang dilayangkan Oktober 2003 itu bersambut.

Maka, sejak Oktober 2003 hingga April 2004, penelitian tahap pertama berlangsung. Arry Akhmad sebagai pemegang lisensi teknologi TTS berbahasa Indonesia turut bergabung dalam penelitian. Mereka juga menggandeng Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung untuk mengurusi tetek-bengek tata bahasa Indonesia.

Untuk membuat sistem pengubah suara ke teks, ATR menyediakan mesin pengenal suara beserta peranti lunak Atrium. Program inilah yang mempunyai kemampuan untuk mempelajari semua suara manusia dan mengubahnya menjadi deretan huruf secara otomatis. Hanya saja, mesin ini perlu belajar mengenal kata-kata Indonesia mulai dari ”terima kasih” sampai ”nasi” dan bukan kata-kata ”arigato” atau ”bento”. ”Mengenalkan bahasa Indonesia pada sistem ini, seperti mengajar anak kecil,” ujar Eka Kelana, anggota tim peneliti dari RisTI Telkom.

Otak komputer memang tak sehebat otak manusia. ”Jika komputer hanya diajari dengan suara pria saja, maka komputer akan kesulitan mengenali suara perempuan,” kata Sakriani Sakti, peneliti asal Indonesia yang bekerja di ATR, Jepang. Agar komputer mafhum bahasa Indonesia, Telkom harus mengerahkan sekitar 200 relawan. Mereka merekam kata-kata Indonesia itu di studio rekaman ITB. ”Setiap relawan membacakan sekitar 100 kalimat,” ujar alumnus Informatika ITB 1999. Jadi, total ada 20 ribu kalimat singkat yang terdiri atas 70 kata. Kalimat yang direkam ini adalah kalimat yang biasa ditanyakan ke nomor 108 atau reservasi tiket pesawat. Pada tahap ini, suara dari berbagai umur dan dialek direkam. Untuk tahap pertama direkam dialek Jawa, Sunda, dan Batak.

Adapun mengenalkan angka Indonesia, Telkom mesti mengerahkan 55 pria dan 55 perempuan. Setiap relawan, kata Sakriani, mengucapkan sekitar 70-an formasi angka, mulai dari puluhan hingga jutaan. Total jenis angka yang direkam adalah 8.440. Seluruh suara hasil rekaman itu dimasukkan ke dalam peranti pengenal suara untuk dipelajari oleh Atrium.

Hasil rekamannya, seperti yang sudah diperlihatkan oleh Erif yang memesan tiket. ”Akurasinya sekitar 80 persen,” ujar Sakriani, senang. Agar pengenal suara bekerja dengan baik, dibutuhkan setidaknya 200 ribu kalimat dengan 20 ribu kosakata. Segala kekurangan itu akan segera diatasi pada penelitian tahap kedua, yang akan berakhir April nanti.

”Perbendaharaan kata-kata yang akan diperkenalkan pada alat akan diperbanyak,” kata Setyo Budi Agung. Rencananya, kata Senior Manager Product and Application Divisi RisTI PT Telkom itu, perekaman yang akan dilakukan awal tahun ini melibatkan 457 relawan, pria dan perempuan. Setiap relawan diminta mengucapkan 220 kalimat. Tak tanggung-tanggung, 50 ribu kosakata yang akan diucapkan itu diseleksi. ”Kata-kata itu dipilih berdasarkan yang paling sering muncul di harian Kompas dan majalah Tempo selama delapan tahun!”

Agar kelak bisa diintegrasikan dalam jaringan telepon, sistem ini akan dilengkapi dengan satu server khusus. Tapi kaum tunarungu masih harus bersabar. ”Karena layanan ini baru akan terintegrasi pada 2008,” ujar Taufik berharap.

Di negara-negara maju, teknologi pengenal suara sudah berkembang pesat. Di Foundation for Blind Children, Phoenix, Arizona, misalnya, kaum tunanetra dapat bekerja mengendalikan komputer atau menyunting dokumen hanya dengan perintah suara. Bahkan DaimlerChrysler sudah mengaplikasikan pengenal suara di mobil sehingga, kata Sakriani, ”pengendara mobil dapat bercakap-cakap dengan sistem navigasi.” Dunia para penyandang tunarungu pun tak lagi sunyi.

Yandhrie Arvian, Ahmad Fikri (Bandung)


Agar Mereka Bisa Berhalo-halo

Pada bahasa isyarat dan gerak bibir para penyandang tunarungu itu bergantung. Itulah satu-satunya bahasa yang bisa mereka mengerti. Tapi era itu mungkin akan berubah bila telepon untuk tunarungu bikinan Telkom mulai dipasarkan. Inilah cara kerja sistem komunikasi itu:

Peranti komputer yang sudah dipasangi program automatic speech recognition (ASR) dan text to speech (TTS), terhubung dengan jaringan telepon.

  1. Kaum tunarungu mengetikkan kata-kata pada komputer.
  2. Setiap ketikan akan disuarakan oleh mesin TTS ke telepon biasa.
  3. Setiap ucapan lawan bicara akan diubah oleh ASR menjadi kata-kata dan tertulis di komputer.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus