Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Digital

Dosen Psikologi UB: Mahasiswa Banyak Teman Justru Kesepian, Bisa Jadi Pemicu Bunuh Diri

Dosen Departemen UB Ari Pratiwi mengatakan, mahasiswa yang memiliki banyak teman justru adalah mereka yang mengalami kesepian.

25 Desember 2023 | 08.23 WIB

Ilustrasi pencegahan atau stop bunuh diri. Shutterstock
Perbesar
Ilustrasi pencegahan atau stop bunuh diri. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Departemen Psikologi Universitas Brawijaya atau UB Ari Pratiwi mengatakan, mahasiswa yang memiliki banyak teman justru adalah mereka yang mengalami kesepian. Ia menyebutkan, mahasiswa yang konseling kepadanya justru mahasiswa yang padat aktivitas di kemahasiswaan. Hal ini, kata Ari, menunjukkan bahwa orang-orang yang tampaknya punya banyak teman bukan berarti memiliki hubungan yang berkualitas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

”Semakin tidak terkoneksi dengan orang lain, mahasiswa akan rentan mengalami kesepian, yang pada akhirnya memengaruhi kesehatan mental mereka. Walaupun saluran bersosialisasi saat ini tampak banyak, namun ternyata tidak semua mahasiswa mampu menggunakan saluran tersebut,” kata Ari, dikutip dari laman UB pada Ahad, 24 Desember 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Ditambah lagi, belakangan berita kasus bunuh diri sering terdengar. Kasus terjadi di berbagai kalangan, termasuk mahasiswa. Namun, Ari mengatakan, kasus bunuh diri beruntun di kalangan mahasiswa menuntut masyarakat untuk harus lebih kritis dan waspada.

“Ada apa di kalangan mahasiswa? Apa yang membuat mereka melakukan bunuh diri? di kala angkatan yang lebih tua menganggap mahasiswa masa kini hidup dalam fasilitas yang memadai, tidak sesusah angkatan-angkatan pendahulu,” ucapnya. 

Dosen yang kini tengah melanjutkan studi di University of Queensland itu menambahkan, mahasiswa masa kini kerap dibanding-bandingkan dengan mahasiswa dahulu yang diwarnai lebih banyak kesulitan. Saat ini, mahasiswa dianggap memiliki banyak kenyamanan dan kemudahan dalam kuliah, daripada mahasiswa dulu yang harus demonstrasi untuk menuntut banyak hal.

Ari menjelaskan, bunuh diri adalah hal kompleks yang merupakan hasil kombinasi dari faktor individual dan sosial. Pada akhirnya, dapat berujung pada pemikiran dan percobaan bunuh diri. “Penelitian sistematic review di kalangan mahasiswa menemukan bahwa risiko bunuh diri meningkat bila berkorelasi dengan masalah klinis dan psikologis, khususnya depresi, masalah tidur dan pengalaman traumatis atau peristiwa hidup yang penuh tekanan,” tuturnya.

Menurutnya, seseorang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri bisa jadi merasakan banyak hal. Misalnya keputusasaan yang hebat, kesepian atau merasa tidak terhubung dengan orang lain, hingga tekanan beban hidup yang dirasakan sendiri dan tidak ada tujuan hidup. Sejumlah penelitian menyatakan, faktor hubungan dengan orang tua atau keluarga, masalah akademik dan masalah ekonomi juga bertindak sebagai faktor risiko bunuh diri.

Kecenderungan bunuh diri pada mahasiswa

Ari mengatakan, jika ditarik ke keadaan mahasiswa sekarang, beban perkuliahan dan gaya hidup dapat meningkatkan risiko masalah mental. Menurutnya, edukasi kesehatan mental termasuk hal yang sangat penting. Tanpa edukasi, masyarakat tak mengetahui bagaimana mental yang sehat dan bagaimana pula gangguan mental. "Oleh karena itu, edukasi terus menerus perlu dilakukan terutama agar masyarakat bisa mengetahui dan mencegah masalah kesehatan mental."

Namun di sisi lain, kata Ari, ternyata bisa memancing potensi masalah mental yang sudah ada menjadi muncul ke permukaan. Seseorang yang tadinya hanya menerka-nerka apa yang terjadi pada dirinya, justru mendiagnosis sendiri lalu mengambil keputusan yang dianggapnya paling sesuai.

“Kalau memang menjadi lebih sehat mental, tentu tidak mengapa. Namun bila salah jalan, mengakibatkan masalah mental yang lebih berat dan tentu saja bisa berakhir bunuh diri,” ujarnya.

Adaptasi baru yang harus dilakukan mahasiswa seperti pindah dari rumah ke indekos atau kontrakan juga tidaklah mudah bagi sebagian orang. Begitu memasuki dunia perkuliahan, mungkin saja mahasiswa harus bersikap lebih dewasa dan bertahan dengan perubahan yang ada.

Mahasiswa memasuki situasi baru yang mana teman batu tidak mudah dijangkau, sedangkan teman lama sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing di tempat yang berbeda. Pada fase ini, kata Ari, mahasiswa dapat merasa kesepian dan depresi.

Padatnya aktivitas turut berpengaruh terhadap pola hidup mahasiswa. Seperti halnya kurang tidur yang berpengaruh terhadap kematangan otak dan fungsi kognitif remaja. Pada akhirnya, kondisi ini berkontribusi pada peningkatan risiko depresi dan kecemasan. "Banyak pula mahasiswa yang melakukan konseling menyatakan kesulitan tidur pada malam hari, sehingga kelelahan dan baru tidur menjelang pagi,” kata Ari.

Selain itu, masalah akademik dalam perkuliahan juga turut berperan meningkatkan risiko bunuh diri mahasiswa. Misalnya ketika mahasiswa dengan kebutuhan berprestasi yang tinggi, mereka cenderung rentan terhadap kegagalan. Ketika merasa sudah mengusahakan yang terbaik namun hasilnya tak sesuai harapan dan tak memiliki resiliensi, maka mahasiswa rentan mengalami stres hingga depresi.

Di samping itu, pengalaman buruk di lingkungan sebelumnya juga menyumbang peningkatan masalah kesehatan mental mahasiswa. Efek perundungan atau bullying di tingkat pendidikan sebelumnya menjadi terakumulasi pada tingkat pendidikan tinggi. Misalnya siswa korban perundungan di tingkat SMP atau SMA, mereka mengalami kesulitan untuk bersosialisasi dan bekerja sama dengan orang lain.

Mereka cenderung enggan melibatkan diri dalam kehidupan sosial mahasiswa pada umumnya. Ari menekankan, efek perundungan tidak selalu berakibat langsung. Namun, efek yang berkepanjangan dapat menimbulkan masalah mental di kemudian hari. Siswa yang menjadi korban perundungan memiliki kemungkinan lebih tinggi melakukan bunuh diri daripada yang tidak pernah mengalami.

Tak hanya itu, faktor keluarga juga krusial. Dalam banyak layanan konseling, perselisihan mahasiswa dengan orang tua kerap muncul sebagai penyebab utama masalah mental. Beberapa gambaran yang kerap muncul dalam konseling seperti orang tua yang tidak menjalankan fungsinya sebagaimana orang tua, orang tua yang berpisah, hingga orang tua yang toksik dan menuntut.

Secara global, perempuan memiliki tendensi lebih tinggi untuk melakukan bunuh diri. Akan tetapi, laki-laki lebih berkomitmen untuk melakukan bunuh diri. Pada tahun 2018, Organisasi Kesehatan Dunia WHO memperkirakan terjadi setidaknya 15 bunuh diri per 100 ribu laki-laki dan 8 kasus bunuh diri per 100 ribu perempuan secara global.

Di luar faktor-faktor tersebut, Ari menambahkan ternyata media juga berperan dalam perilaku bunuh diri. Hal ini karena adanya fenomena perilaku copycat pada orang yang telah memiliki ide bunuh diri sebelumnya. "Bagaimana media memaparkan kasus bunuh diri menjadi penting karena ketika media salah merilis kasus bunuh diri justru akan memicu orang lain untuk mengikuti atau ingin mencoba perilaku bunuh diri tersebut."

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus