Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Digital

Kacamata 2.0

Google menanamkan komputer ke dalam kacamata. Bakal dijual pada akhir tahun ini cuma seharga ponsel pintar.

14 Mei 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua puluh tahun lalu, dalam komik Dragon Ball Z karya Akira Toriyama. Para pendekar Planet Saiyan dikisahkan menggeruduk bumi. Bezita "Sang Penakluk" menggunakan kacamata yang berfungsi sebagai sumber informasi lokasi dan kekuatan lawan untuk membabat Son Goku dkk.

Tahun lalu, di Mission: Impossible 4: Ghost Protocol. Seorang pembunuh mengenakan kacamata untuk mencocokkan data dengan wajah calon mangsa, lalu menghabisinya.

Akhir tahun ini, kacamata di era Web 2.0 itu ditargetkan mulai dijual di toko elektronik.

Namanya Project Glass, keluaran Google Incorporated. Perusahaan raksasa Internet asal California, Amerika Serikat, itu melansir videonya di YouTube pada awal bulan lalu. Tayangan berdurasi sekitar dua setengah menit itu menunjukkan apa yang bisa dilakukan Project Glass. Inilah sebagian kecilnya: agenda, prakiraan cuaca, rute alternatif menuju toko buku saat kereta sedang rusak, atau mengirim pesan pendek dan melakukan panggilan video. Semuanya dilakukan dengan perintah suara via aplikasi voice assistant, serupa aplikasi Siri di iPhone4S.

Pendiri Google, Sergey Brin, terlihat memakai Project Glass dalam sebuah acara amal di San Francisco dua hari setelah video tersebut dirilis. Alat itu berupa kacamata sonder lensa dan memiliki layar kecil transparan di atas mata kanan. Informasi terpampang dalam liquid crystal display, tapi bisa juga active-matrix organic light-emitting diode (AMOLED). "Ini masih prototipe awal," ujar Brin, 38 tahun, kepada wartawan The Verge, awal bulan lalu.

Kali ini Brin dkk melanggar kebiasaan tutup mulut sebelum peluncuran suatu produk. Selain menyebar video, mereka membuat laman khusus di Google Plus untuk mendapat masukan dari khalayak.

Pria kelahiran Moskow ini mengatakan Project Glass masih harus menjalani tes radiasi frekuensi radio untuk melihat dampak penggunaan alat serupa telepon seluler yang digunakan di kepala dalam waktu relatif lama. Brin menolak menyebut tanggal pasti peluncurannya.

Bagi pengguna kacamata, baik minus maupun plus, Google mendesain varian khusus untuk mengaitkan Project Glass ke kacamata. "Banyak anggota tim yang berkacamata, jadi kami mencoba berbagai desain yang bisa masuk di banyak bentuk bingkai," ujar Isabelle Olsson, desainer senior Google di laman Google Plus. Peranti keras tersebut juga dilengkapi sensor gerak untuk menerima perintah dengan anggukan dan geleng­an, dan terhubung dengan layanan data 3G atau 4G, dan Global Positioning System.

Komputer berwujud kacamata ini memindahkan citra lingkungan di sekitarnya ke versi digital secara real time. Contoh sederhana penggunaan teknologi ini ada dalam Google Goggles, yang menampilkan informasi obyek yang Anda jepret dari kamera telepon pintar. Dengan memotret foto kaleng Coca-Cola lewat aplikasi di ponsel cerdas dan tablet berbasis Android ini, akan muncul tautan ke situs yang berhubungan.

Mengutip karyawan anonim di Google X, surat kabar New York Times mengungkapkan, Project Glass bakal dijual cuma seharga ponsel pintar. Artinya, tidak lebih dari Rp 8 juta.

Project Glass digodok di Google X di Mountain View, California. Ini bukan laboratorium biasa. Bengkel yang sangat tertutup itu telah melahirkan mobil yang bisa meliuk-liuk tanpa sopir, dan pekan lalu baru saja mendapat "surat izin mengemudi" pertama dari otoritas Nevada, Amerika Serikat. Menurut New York Times, dari bengkel kerja itu telah dibuat tak kurang dari seratus peranti. Ada, misalnya, kulkas cerdas yang bisa memesan stok makanan secara online, piring yang mem-posting menu ke jejaring sosial, robot kantoran, sampai elevator ke ruang angkasa.

Meski terlihat menakjubkan, setidaknya demikian dalam versi YouTube-nya, sebagian pengamat teknologi informasi mengaku Project Glass belum menunjukkan kualitas terbaiknya. Menurut kepala teknologi perusahaan peranti lunak Expertmaker, Lars Hard, alat ini memiliki kecerdasan artifisial, kemampuan mengenali gerak tubuh dan mimik manusia. Walhasil, artificial intelligence pada alat ini memungkinkan peranti tersebut digunakan untuk tugas yang lebih kompleks, seperti membantu dokter membuat diagnosis dan pebisnis membuat keputusan. "Bukan sekadar mencari teman yang sedang online dan menyediakan peta," ujarnya.

Kritik ini sedang dijawab oleh Babak Parviz, salah satu perancang utama di Google X. Pakar bionanoteknologi dari University of Washington kelahiran Iran ini sejak 2009 sudah merancang konsep kacamata dengan realitas tertambah untuk diagnosis kesehatan.

Meski dianggap "mentah dan membosankan" oleh Hard, Project Glass selangkah lebih maju dibanding pesaingnya, Epson Moverio BT-100. Komputer berbentuk kacamata ini mulai dijual di Amerika Serikat dan Jepang pada November tahun lalu seharga Rp 6,5 juta. Menggunakan sistem operasi Android 2.2 Frozen Yoghurt, pengguna bisa menggunakan kacamata ini untuk menjelajahi Internet serta menikmati film dan musik. Lensanya yang semitransparan membuat pengguna tetap bisa melihat dunia nyata. Namun, tidak seperti bikinan Google yang menggunakan perintah suara, Moverio mengandalkan tombol—yang terhubung dengan kabel—untuk beroperasi.Munculnya Project Glass membuat produsen kacamata bangkit. Bloomberg melaporkan raksasa kacamata Oakley tengah merancang alat yang bisa menyemburkan tayangan ke lensa. Perusahaan yang berbasis di California ini meluncurkan kacamata pertama yang terhubung dengan pemutar MP3, delapan tahun lalu. Thump, nama produk itu, memiliki kapasitas setengah gigabita dan dilego lebih dari Rp 1,5 juta.

Direktur Utama Oakley Colin Baden mengatakan masa depan kacamata pintar sungguh cerah. "Semua hal kita lihat lewat mata," ujar Baden. "Semakin dekat dengan mata, semakin cepat proses adaptasi seseorang terhadap suatu alat."

Bila Baden benar, dan banyak yang yakin bahwa dia benar, bersiaplah untuk melihat bagaimana perilaku bisa diubah cuma oleh kacamata. Orang-orang yang bicara sendiri, mengangguk-angguk dengan muka cengok, atau menabrak tiang karena keasyikan menikmati video Lady Gaga dari kacamata mereka. l Reza Maulana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus