Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Empat Dasawarsa Seni Rupa Indonesia

14 Mei 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni Rupa Indonesia dalam Kritik dan Esai
Penerbit: Dewan Kesenian Jakarta
Penyunting:
Bambang Bujono, Wicaksono Adi Terbit: I,
Januari 2012 Tebal: 614 + xl

Seni Rupa Indonesia dalam Kritik dan Esai merupakan bunga rampai yang terdiri atas 60-an artikel mengenai seni rupa dari 1930 hingga 2009. Teks yang termuat dalam buku ini diperas dari 900 tulisan yang diriset oleh Dewan Kesenian Jakarta dari berbagai surat kabar, buku, dan katalog pameran. Ada tulisan Affandi yang tengah berpidato di Sorbone, tulisan Sudjojono tentang mooi indie, tulisan Basoeki Abdullah yang menjawab kritik Sudjojono, tulisan Trisno Sumardjo, Sutan Takdir Alisjahbana, Henk Ngantung, hingga Jim Supangkat yang menjadi “jubir” Gerakan Seni Rupa Baru.

Editor tampak berusaha membentuk satuan konstruksi sejarah seni rupa di Indonesia. Sebagai sebuah bunga rampai, buku ini mempersingkat jarak ruang waktu bagi pembaca, meski bagi sejarawan, kebutuhan akan artikel yang orisinal tetap menjadi utama.

Sayangnya, kelebihan ini justru menjegal pilihan lain yang memungkinkan lahirnya tajuk baru. Seni Rupa Indonesia lebih mengetengahkan peristiwa pada empat dasawarsa terakhir atau antara 1960 dan 2000, terutama hal seni rupa kontemporer. Adapun pada era sebelumnya, 1930-1960, editor hanya mengandalkan artikel yang kerap dimuat dalam sejumlah bunga rampai yang lain.

Sebagai amsal, seni rupa modern Indonesia yang telah dimulai sejak Raden Saleh selalu menjadi patokan dalam berbagai penulisan sejarah. Raden Saleh yang amat giat berkarya pada abad ke-19 dan eksis di Eropa rupanya dalam buku ini seperti dianggap angin lalu saja. Terbukti penulisan yang terkait dengan diri sang pelukis romantis ini hanya ada di awal artikel Trisno Sumardjo (tulisan keempat) atau di tulisan M. Balfas. Tulisan Trisno dan Balfas pun hanya memetik 2-3 kalimat dari kupasan mengenai gerak revolusi bangsa yang berkelindan dalam perkembangan seni rupa modern di Indonesia.

Dalam persoalan pemilahan artikel, editor tampaknya lebih menggunakan pendekatan sosiologis-historis (kronologis). Terbukti sub-bab yang dipilah terkait dengan perihal isu sosial, material/media kreatif, dan sejumlah sub-bab mengenai estetika. Pendekatan ini menyebabkan tak menghasilkan kisah baru. Saya membayangkan, jika sejumlah polemik besar dan utama yang dikumandangkan setiap dasawarsa menjadi sajian utama, alangkah indahnya buku ini.

Pada 1930-an (polemik pergerakan kelompok seni rupa), 1940 (polemik identitas keindonesiaan), 1950 (sekitar kelahiran akademi seni rupa), 1960 (seni dan politik), 1970 (gerakan seni rupa baru), 1980 (ledakan pasar lukisan dan polemik mengenai kritik seni rupa itu sendiri), 1990 (polemik seni rupa postmodern), dan 2000 (polemik sekitar pameran dan internasionalisasi) akan menjadi gambaran yang jauh lebih penting untuk memandu pembaca.

Mikke Susanto, penulis buku seni rupa & staf pengajar Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta

Pusaran Cinta dan Perjuangan Gadis Kretek

Gadis Kretek
Pengarang: Ratih Kumala
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Maret 2012
Tebal: 274 halaman

Tiga bersaudara, yakni Tegar, Karim, dan Lebas, mengadakan perjalanan yang tak akan pernah mereka lupakan. Para ahli kerajaan industri rokok Djagad Raja ini semula hanya mengemban misi mencari perempuan bernama Jeng Yah—yang selalu muncul dalam igauan ayahanda, Soeraja, dalam sekaratnya. Tampaknya ini sosok yang lekat dengan masa lalu Soeraja, dan tentu saja memercikkan kecemburuan istrinya, Purwanti.

Tapi pada akhirnya perjalanan menyambangi Kota Kudus, Kecamatan M, dan Magelang itu lebih dari sekadar menelisik kisah roman segitiga sang ayah. Ini juga bagai sebuah penjelajahan budaya yang mengungkap bagaimana Soeraja membangun perusahaan rokoknya. Dan, dengan demikian mendedahkan perjalanan industri rokok di Jawa itu sendiri—yang semula berangkat dari tingwe (nglinting dewe) hingga berkembang menjadi rokok kretek. Apa boleh buat, tiga bersaudara itu akhirnya mengetahui bahwa sang ayah membangun kerajaan kreteknya dengan diawali sebuah kecurangan.

Ratih Kumala membangun kisahnya dengan dua plot besar, antara masa silam dan hari ini, yang terjalin cukup rapi. Dukungan riset mengenai kehidupan dalam pabrik rokok membuat kisahnya menjadi lebih hidup. Ia juga cukup berhasil membangun keberagaman antartokoh, sehingga pembaca terhindar dari kebosanan. Secara umum, novel ini menarik disimak.

Namun harus dikatakan novel ini belum menggetarkan. Eksplorasi lebih dalam mengembangkan karakter beberapa tokoh perlu dilakukan. Untuk mencapai itu memang dibutuhkan kesabaran dan stamina yang kuat. Barangkali dengan menjadikannya dwilogi atau trilogi, novel ini berpotensi menjadi epik tak terlupakan. Sudah terlalu lama Pramoedya Ananta Toer dibiarkan sendirian menetapkan standar bagaimana roman yang menggetarkan itu.

Tulus Wijanarko

Pergolakan Sosial di Sumatera

Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional
Penulis: Anthony Reid
Penerbit: Komunitas Bambu
Terbit: Februari 2012
Tebal: 385 + xxviii

Inilah buku paling komprehensif yang menggambarkan revolusi sosial di Sumatera. Sejarawan Anthony Reid memaparkan proses perubahan yang terjadi di Pulau Andalas ini sejak abad ke-16 hingga tahun-tahun pertama kemerdekaan Indonesia. Ia dengan detail melukiskan peristiwa pertikaian kelas, konflik etnis, bentrokan agama, hingga cerita kaum bangsawan dan sultan Melayu serta Aceh yang disapu bersih oleh kesadaran kemerdekaan Indonesia.

Di buku yang berjudul asli The Blood of The People: Revolution and The End of Traditional Rule in Northern Sumatra ini, Reid memetakan Sumatera yang dikuasai tiga kerajaan besar, yaitu Melayu, Batak, dan Aceh, pada abad ke-16. Saat Belanda masuk Sumatera, ketiga kerajaan itu merespons dengan cara yang berbeda. Seiring dengan bertambahnya waktu, ketika putra-putra daerah mulai mengenal pendidikan—bahkan pendidikan Belanda—kesadaran nasionalisme justru menguat.

Pasang-surut pengaruh kerajaan inilah yang dicatat Reid. Uleebalang di Aceh, misalnya, semakin terdesak pada 1900-an, tapi kembali mendapat angin ketika Jepang mendarat di Sumatera. Raja-raja pun kembali memperoleh kekuasaan dalam tatanan pemerintahan Jepang. Tapi usia kolonialisasi ini tak lama. Deru pergerakan nasionalisme yang begitu kencang di Jawa menerpa seluruh pulau ini.

Profesor C. Van Dijk dari Universitas Leiden mengatakan karya Reid ini telah mengisi kekosongan dalam pembahasan mengenai analisis sosiologis dan perebutan kekuasaan yang terjadi di daerah-daerah setelah berakhirnya pendudukan Jepang.

YR

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus