Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Digital

Memikat Gamer Lewat Layar Lebar

Dukungan teknologi canggih, seperti efek visual, membuat film adaptasi dari game menjamur. Para produser Indonesia mulai mendekati pengembang game.

20 Februari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MOHAMMAD Habib, 42 tahun, sangat menikmati film bikinan Hollywood, khususnya yang diadaptasi dari game. Salah satu film yang membuatnya terkesan adalah Final Fantasy. "Teknologi visual 3D Realistic yang muncul tak kalah bagus dibandingkan dengan game-nya," ucap Habib, yang bekerja sebagai visual effect artist di sebuah rumah produksi di Bandung, Senin pekan lalu.

Hanya, Habib mengatakan bermain game jauh lebih seru ketimbang menonton film adaptasi dari game karena ada interaksi langsung. Sedangkan menonton film lebih bersifat pasif. Selain penasaran terhadap efek visual, ia ingin membandingkan karakter yang dimunculkan di film. Sayangnya, Habib kecewa terhadap pemilihan aktor dan latar film. Padahal, kata dia, film yang bagus harus ada kesesuaian antara game dan film, baik dari karakter, cerita, maupun artistiknya.

Penonton Indonesia tak asing lagi dengan film yang diadaptasi dari game. Akhir bulan lalu, Resident Evil: The Final Chapter banyak menuai pujian. Film terakhir dari enam seri ini dianggap yang terbaik daripada film-film sebelumnya. Bahkan pemeran utama Milla Jovovich menuliskan "Terima kasih, Indonesia" di laman Facebooknya.

Jumlah penggemar film adaptasi game di Indonesia cukup banyak. Rachmad Imron salah satunya. Ia punya kisah lain soal film adaptasi game. Film Mortal Kombat, yang dirilis pada 1995, punya kenangan tersendiri bagi CEO PT Digital Semantika Indonesia ini. "Unik banget karena ada game yang jadi film pada masa itu. Seperti melampaui zamannya," tutur penggemar film dan game jenis aksi dan petualangan ini.

Meski belum ada yang berhasil menyabet Piala Oscar, beberapa film adaptasi game mampu menyedot banyak penonton dan meraup keuntungan besar. Salah satu faktor pendorongnya adalah dukungan teknologi canggih, seperti efek visual, serta semakin terbentuknya ekosistem yang menjalin antara komik, game, dan film. Dalam industri kreatif di Amerika Serikat, film berada di urutan teratas, sedangkan game kini di peringkat kedua.

Seperti Habib, Imron tertarik menonton film adaptasi game lantaran didorong rasa penasaran. "Mau melihat tokoh karakternya, sekeren yang dibayangkan enggak," ujar Imron, salah satu pendiri studio game Digital Happiness di Bandung.

Imajinasinya mengacu pada karakter tokoh game yang dimainkannya. Imron menilai alur ceritanya tak sepenuhnya sesuai dengan game. Toh, ia mengaku kurang peduli terhadap penceritaannya karena film dan game bisa mengembangkan kisahnya masing-masing sesuai dengan target pasar.

Pendapat lain diutarakan Andre Dubari. Menurut publisher Manikmaya Games di Bandung ini, film adaptasi dari game selalu memiliki tantangan tersendiri, tapi tak jarang yang gagal. "Banyak film yang diadaptasi dari game kurang memuaskan," katanya.

Para gamer sudah merasakan cerita yang cukup kuat saat memainkan game. Ketika game dirilis dalam bentuk film, ada banyak detail yang hilang. Tapi Andre menilai kondisi itu seperti buah simalakama. Di satu sisi para pembuat film ingin penonton awam juga dapat menikmati film adaptasi berbasis game, "Di sisi lain, hilangnya detail membuat gamer sejati menjadi kecewa," ujarnya.

Kelemahan lain film berbasis game adalah orang di balik layar, seperti sutradara dan produser, yang kurang mengerti esensi dari tema game yang diangkat. Akibatnya, kata Andre, banyak terjadi perubahan dalam film yang malah menjauhkan cerita dari versi aslinya. Beruntung kelemahan seperti itu bisa ditutupi dengan kekuatan akting pemeran utamanya.

Tomb Raider, misalnya. Peran Angelina Jolie yang dianggap sangat kuat dan cocok dengan karakter utama Lara Croft membuat film ini terasa hidup. Film lain adalah Warcraft, yang latar ceritanya sangat mudah dimengerti. Film ini pun mencetak pemasukan besar. "Saya sangat menanti sekuel dari film ini," ucap Andre.

Sebagai pembuat game, Andre berharap suatu saat bisa mengangkat hak kekayaan intelektual yang selama ini dikembangkan lewat platform berjenis board game menjadi film. Jika harapan itu bisa terwujud dan sukses, bukan hanya game tersebut yang akan mendapatkan akses ke basis penggemar baru, tapi juga sekaligus menjadi kampanye mengenalkan industri game di Indonesia.

Sejauh ini, Andre mengungkapkan, pihaknya telah dihubungi produser film dan animasi untuk mengembangkan game. Mereka mengajak kerja sama mempromosikan film dan animasi. Ia menilai ini langkah awal mendekatkan industri game dan film. "Siapa tahu suatu saat justru saya yang mengajak mereka membuat film tentang game yang saya garap," katanya.

Tawaran untuk membuat film juga datang ke studio game Digital Happiness. Produser film telah menawari kerja sama mengangkat game berjenis horor DreadOut bikinan mereka ke layar lebar. Menurut Rachmad Imron, tawaran tersebut ditolak karena beberapa alasan, seperti kurang pas dengan sutradara dan karakter yang hendak dikemas terlalu seksi. Keinginan calon mitranya itu tak sesuai dengan selera mereka.

Dari beberapa tawaran yang masuk, akhirnya pada awal Januari 2016 studio Digital Happiness menemukan produser yang pas dan memberikan lisensi DreadOut ke sebuah rumah produksi film yang biasa membuat film horor dan aksi di Indonesia. Masa lisensi itu berlaku selama dua-tiga tahun. "Royaltinya seperti buku, karena belum ada standar lisensi game untuk film di kita," ujar Imron.

Imron merasa cocok dengan rumah produksi tersebut, terutama melihat latar karya film yang telah dibuat dan penggarapnya. Pihak studio game memberikan kebebasan, seperti alur cerita yang tidak harus sama seperti pada game. Namun beberapa elemen inti, seperti karakter anak sekolah menengah atas sebagai tokoh utama, perangkat telepon seluler bersenter, dan hantu-hantunya, dipertahankan.

Komunikasi dan kerja sama rencana pembuatan film DreadOut sejauh ini berjalan baik. "Rasanya senang menerima tawaran itu. Produksinya menunggu jadwal yang cocok," kata Imron. Tim DreadOut yang dipimpin langsung oleh Imron terdiri atas Sukmadi Rafiuddin, sutradara Vadi Vanadi, desainer game Rendy Basuki, Erwin P.S., Adhit, dan programmer Tri S. Tim inti ini dibantu para pekerja kontrak dari Bandung hingga Batam.

Tak seperti pengembang game lokal yang banyak berkreasi dan menggantungkan hidup perusahaan dengan membuat game untuk ponsel, Digital Happiness-yang didirikan pada 2011-memilih jalur game komputer. Alasannya, pembuat game ponsel sudah banyak. "Bisa 10 ribu game sehari," ujar Imron. Lagi pula alur cerita game ponsel terlalu sederhana untuk diangkat ke layar lebar.

Anwar Siswadi


Pemasukan Tertinggi Film Game

1. Prince of Persia: The Sands of Time
Pertama kali diluncurkan pada 1989 untuk Apple II dan menjadi game paling digemari. Meski meraup pendapatan tertinggi, film ini mendapat banyak kritik negatif lantaran ceritanya sederhana.
l Pendapatan film: US$ 335 juta (sekitar Rp 4,5 triliun)

2, 4, 7, 8, 9. Resident Evil
Game Resident Evil pertama kali diperkenalkan pada 1996. Versi film mendominasi raihan pendapatan untuk film sejenis. Sang pemeran utama, Milla Jovovich, tak tergantikan sejak awal film.

Pendapatan film:

- Resident Evil: Afterlife US$ 296 juta (sekitar Rp 3,9 triliun)
- Resident Evil: Retribution US$ 240 juta (sekitar Rp 3,2 triliun)
- Resident Evil: Extinction US$ 148 juta (sekitar Rp 1,9 triliun)
- Resident Evil: Apocalypse US$ 129 juta (sekitar Rp 1,7 triliun)
- Resident Evil (film pertama) US$ 125 juta (sekitar Rp 1,6 triliun)

3, 6. Tomb Raider
Inilah salah satu game paling banyak dimainkan sejak diluncurkan pada 1996. Daya tarik game ini adalah karakter utamanya, Lara Croft, dan suasana petualangan ala Indiana Jones.Pendapatan film:

- Lara Croft: Tomb RaiderUS$ 275 juta (sekitar Rp 3,7 triliun)
- Lara Croft: The Cradle of Life US$ 157 juta (sekitar Rp 2,1 triliun)

5. Need for Speed
Ketika diluncurkan pertama kali pada 1994, Need for Speed mendapat sambutan positif dari para gamer. Untuk game jenis balapan, ini salah satu yang tersukses sepanjang masa.

Pendapatan film:
US$ 203 juta (sekitar Rp 2,7 triliun)

10. Mortal Kombat
Ini salah satu game adu jotos paling sukses. Meski Mortal Kombat menampilkan perkelahian dengan grafik sangat brutal, banyak yang menyukai game yang pertama kali diluncurkan pada 1995 ini.

Pendapatan film:
US$ 122 juta (sekitar Rp 1,6 triliun)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus