Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAWABAN Rudi Erawan yang bertele-tele membuat kesal jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi, Iskandar Marwoto. Sang jaksa menegur Bupati Halmahera Timur itu dan memintanya memberi keterangan yang jujur. "Bapak di bawah sumpah. Bapak bisa dipidanakan kalau kesaksiannya tidak benar," kata Iskandar dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin pekan lalu.
Rudi menjadi saksi perkara suap dana aspirasi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dengan terdakwa Amran H.I. Mustary, Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) IX Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Dana aspirasi adalah dana khusus yang dialokasikan untuk pembangunan di daerah pemilihan anggota DPR. Dana ini biasanya "dititipkan" dalam anggaran sejumlah kementerian, tapi alokasinya ditentukan masing-masing anggota DPR.
Dalam sidang itu, jaksa antara lain mencecar Rudi soal setoran uang dari Amran untuk memuluskan jalan menjadi Kepala BPJN IX. Tapi Rudi mengaku tidak tahu soal itu. "Tidak tahu. Tidak pernah," ujarnya. Iskandar juga bertanya seputar pertemuan Rudi dengan Amran beserta orang kepercayaannya, Imran Djumadil, di Jakarta pada akhir 2014. Rudi lagi-lagi membantah.
Jaksa kembali memperingatkan Rudi karena jawabannya berbeda dengan kesaksian yang tercantum dalam dokumen berita acara pemeriksaan. Hakim pun rupanya ikut kesal mendengar keterangan Rudi. "Kalau lupa, bilang lupa," kata ketua majelis hakim Faisal Hendri.
Mentok pada bantahan Rudi, jaksa lantas menghadirkan Imran sebagai saksi. Imran mengatakan setidaknya ada dua kali penyerahan uang untuk Rudi, dengan total Rp 5,6 miliar. Pertama, uang Rp 3 miliar diserahkan di Delta Spa Pondok Indah, Jakarta Selatan. "Sebelumnya, saya tak pernah ke sana. Saya tahu (Delta Spa) dari Pak Rudi. Saya janjian di sana," ucap Imran. Penyerahan kedua, Rp 2,6 miliar, berlangsung di My Place Spa Senayan, Jakarta Pusat.
Amran menguatkan kesaksian Imran ihwal penyerahan uang untuk Rudi. "Pak Rudi ingat-ingat lagi, Pak Imran mengajak saya ke spa Pondok Indah. Jangan sampai lupa," kata Amran. Tapi Rudi bergeming.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan lembaganya akan mendalami keterangan Imran dan Amran. "Kami lihat dulu sejauh apa," ujar Saut. Tim KPK, menurut Saut, juga akan membahas sikap Rudi yang tak kooperatif dalam memberikan kesaksian.
AMRAN H.I. Mustary sudah lama mengincar kursi Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional IX, yang membawahkan wilayah Maluku dan Maluku Utara. Amran melobi ke sana-sini sejak 2014. Salah satu target awal lobi adalah Rudi Erawan. Amran dan Rudi saling kenal sejak 2008. Kala itu, Amran menjabat Kepala Dinas Pekerjaan Umum Maluku Utara. Adapun Rudi masih Wakil Bupati Halmahera Timur.
Imran Djumadil ingat betul ketika ia diajak Amran meluncur ke Hotel Atlet Century, Senayan, Jakarta Pusat, sekitar akhir 2014. Di hotel itu telah menanti Rudi. Tanpa basa-basi, Amran meminta bantuan Rudi untuk "menembus" pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. "Rudi dipilih karena dianggap punya jaringan kuat di pengurus pusat PDIP," kata Imran pada Kamis pekan lalu. Kala itu, Rudi juga menjabat Ketua Dewan Pimpinan Daerah PDIP Maluku Utara.
Pada persamuhan tersebut, menurut Imran, Rudi menyanggupi permintaan Amran. Tentu saja tak ada makan siang gratis. Rudi meminta Amran menyetorkan duit untuk "modal" pemilihan Bupati Halmahera Timur. Amran menyanggupi permintaan Rudi, tapi saat itu belum menyebutkan jumlah uangnya.
Meski sudah mendapat lampu hijau, Amran terus berusaha memepet Rudi. Bersama Imran, Amran beberapa kali menemui Rudi dan Sekretaris DPD PDIP Maluku Utara Ikram Haris. Topik yang mereka bicarakan dalam setiap pertemuan selalu sama. Amran meminta tolong agar direkomendasikan ke pengurus pusat partai banteng, melalui Fraksi PDIP di DPR, untuk menjadi Kepala BPJN IX.
Sewaktu dimintai konfirmasi, Ikram Haris mengaku tak tahu upaya Amran melobi pengurus partai. Ihwal pertemuan dia dengan Amran dan Rudi, Ikram pun menolak menjelaskan. "Maaf, saya tak bisa menanggapinya," ujarnya.
Berbeda dengan keterangan di persidangan, ketika diperiksa penyidik KPK pada 4 Oktober 2016, Rudi mengaku menyanggupi permintaan Amran. Alasannya, dia menganggap Amran sebagai putra daerah yang mumpuni. Rudi juga mengaku menyambungkan pesan Amran kepada Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto dan Sekretaris Fraksi PDIP DPR Bambang Wuryanto. "Dalam satu atau dua kesempatan di Jakarta pada Januari 2015, saya sampaikan ke Pak Bambang Wuryanto dan ke Pak Hasto agar dapat merekomendasikan Pak Amran sebagai Kepala BPJN IX," ucap Rudi seperti tercatat dalam dokumen pemeriksaan.
Rudi pun menggambarkan sepak terjang Amran kepada Bambang dan Hasto. "Tanggapan Pak Bambang dan Pak Hasto adalah akan coba bantu selama orangnya memang bisa kerja membangun Maluku Utara," demikian tertulis dalam dokumen.
Kepada penyidik KPK, Rudi melobi Bambang karena, selaku Sekretaris Fraksi PDIP, dia punya akses ke Komisi V DPR. Komisi yang membidangi infrastruktur dan perhubungan itu bermitra kerja dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. "Siapa tahu bisa direkomendasikan," kata Rudi dalam dokumen pemeriksaan. Adapun penyampaian pesan Amran kepada Hasto, menurut Rudi, merupakan "etika politik" dan "kesopanan" dia sebagai pejabat partai di daerah yang berkoordinasi dengan elite di pusat.
Selanjutnya, Rudi mengaku tak tahu proses pengusulan Amran oleh Fraksi atau DPP PDIP ke Kementerian Pekerjaan Umum. Yang dia tahu, Amran akhirnya dilantik sebagai Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional IX, menggantikan Wahyudi Mandala, pada 10 Juli 2015.
Pada sidang Senin pekan lalu, jaksa juga meminta konfirmasi Rudi ihwal komunikasi dan pertemuan dia dengan Hasto dan Bambang. Namun kali ini Rudi kembali menjawab, "Saya lupa."
Pengacara Amran, Hendra Karianga, mengatakan kliennya telah mengucurkan puluhan miliar rupiah untuk mendapatkan posisi Kepala BPJN IX. Amran mendapatkan uang itu dengan meminta bantuan kepada sejumlah pengusaha konstruksi di Maluku dan Maluku Utara. Salah satunya Abdul Khoir. Abdul juga menjadi pesakitan dalam kasus korupsi dana aspirasi DPR wilayah Maluku. Direktur PT Windhu Tunggal Utama itu telah divonis empat tahun penjara.
Abdul Khoir diringkus tim KPK dalam operasi tangkap tangan anggota Komisi V DPR, Damayanti Wisnu Putranti, pada pertengahan Agustus tahun lalu. Damayanti, anggota Fraksi PDIP, telah divonis empat tahun enam bulan penjara karena terbukti menerima suap untuk ijon proyek jalan di Maluku dan Maluku Utara dari Abdul Khoir. Dua anak buah Damayanti, Julia Prasetyarini dan Desy A Edwin, dihukum empat tahun bui. Sejauh ini, KPK juga telah menjerat empat kolega Damayanti di Komisi V DPR. Mereka adalah Andi Taufan Tiro, Musa Zainudin, Yudi Widiana Adia, dan Budi Supriyanto. Yang terakhir, Budi Supriyanto dari Fraksi Golkar, telah diganjar hukuman lima tahun penjara.
Hendra menerangkan, sebelum ditangkap KPK, Amran menyetorkan uang lewat Rudi secara bertahap, mulai Januari hingga Juni 2015. Uang Rp 12 miliar disetorkan sebelum Amran dilantik sebagai Kepala BPJN IX. "Ada dana yang diminta Rudi untuk PDIP," kata Hendra.
Setelah pelantikan, Amran kembali menyetorkan Rp 6,2 miliar kepada Rudi melalui Imran. Rinciannya, Imran menyerahkan Rp 2,6 miliar langsung kepada Rudi di Delta Spa Pondok Indah, Jakarta Selatan. Duit itu digunakan untuk "on top aspirasi" bagi anggota DPR. Tak jelas apa arti frasa itu. "Istilah on top dari Pak Rudi," ujar Imran.
Pemberian uang kedua, sebesar Rp 3 miliar, kembali berlangsung di Delta Spa. Kali ini lagi-lagi Imran mengantarkan uang kepada Rudi di tempat hiburan dan relaksasi itu. Yang berbeda, Amran kala itu menyetorkan uang untuk membantu kampanye Rudi sebagai calon Bupati Halmahera. Penyerahan uang berikutnya tak jauh-jauh dari tempat pijat. Amran menyerahkan uang Rp 2,6 miliar kepada Rudi di My Place Spa and Café di Patal Senayan, Jakarta Pusat.
Ketika Rudi menjadi saksi dalam sidang Amran, jaksa penuntut umum kembali menanyai dia soal penyerahan uang tersebut. Tapi, setiap kali ditanya soal uang, Rudi memberi jawaban serupa: "Tidak ada."
Uang suap tak hanya disetorkan secara tunai. Amran pernah mentransfer Rp 500 juta ke rekening keponakan Rudi, Muhammad Reza, yang juga adik Muhammad Ernest, ajudan Rudi. Di lain waktu, Amran menyetorkan duit Rp 200 juta untuk pembelian tiket dan akomodasi ketika Rudi hendak menghadiri Rapat Kerja Nasional PDIP pada Januari 2016 di Jakarta International Expo Kemayoran. Duit kali ini diberikan Imran melalui Ernest.
Hasto Kristiyanto membantah pernah dilobi Amran ataupun Rudi perihal jabatan Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional IX. "Saya tidak pernah berbicara jabatan-jabatan di provinsi," kata Hasto, Rabu pekan lalu, di kantor DPP PDIP, Kebagusan, Jakarta Selatan. Menurut Hasto, sebagai sekretaris jenderal, tugasnya adalah menjalankan strategi dan agenda kepartaian. Ia juga membantah adanya setoran dana dari Amran lewat Rudi sebesar Rp 12 miliar. "Kalau kami, tidak pernah (menerima)," ujarnya. Adapun Bambang Wuryanto tak menjawab panggilan telepon ataupun pesan pendek yang dikirim Tempo.
Juru bicara KPK, Febri Diansyah, mengatakan pengusutan kasus suap dana aspirasi anggota DPR masih terus berjalan. Tim penyidik masih mendalami keterlibatan Rudi dan aliran uang dari Amran. "Nama-nama tersebut akan didalami perannya," kata Febri. "Fakta di persidangan akan menjadi pertimbangan untuk pengembangan perkara."
Linda Trianita | Maya Ayu | Arkhelaus Wisnu | Bhudy Nurgianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo