Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Digital

Pelacak Maya Influenza

Mahasiswa ITB membuat sistem peringatan dini pandemi influenza berbasis data pencarian di Google. Tepat guna dan hasilnya cukup akurat.

24 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INFLUENZA barangkali penyakit yang sepanjang tahun paling banyak diderita orang tapi juga paling sering diremehkan. Padahal, menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), setiap tahun puluhan juta orang di dunia terinfeksi virus influenza dan 250-500 ribu orang meninggal.

Virus flu ini tak pandang bulu. Negara kaya ataupun miskin, negara maju atau berkembang, bila musim flu tiba, sama-sama menderita. Tahun lalu, wabah flu H1N1, yang mulai menyebar dari Negara Bagian Veracruz, Meksiko, membuat negara maju seperti Amerika Serikat dan Kanada kalang kabut. Kota Meksiko, ibu kota negeri sombrero itu, sempat menjadi kota mati selama beberapa pekan. Hingga dua pekan lalu, virus flu Meksiko itu telah menyebar ke 214 negara dan memakan korban 18.036 jiwa.

Ketika terjadi pandemi seperti kasus flu Meksiko, kecepatan penanganan menjadi masalah krusial. Semakin cepat penyebaran penyakit itu dideteksi dan ditangani, semakin besar kemungkinan jiwa penderitanya diselamatkan. Tenaga medis bisa segera diterjunkan, obat dan vaksin pun bisa segera dikirim.

Repotnya, metode pelaporan selama ini masih menggunakan cara tradisional, yakni mengandalkan data laporan kunjungan pasien dengan gejala flu ke rumah sakit atau dokter. Dengan cara ini, data akhir yang dipublikasikan biasanya terlambat seminggu hingga dua minggu dari kejadian.

Lima sekawan mahasiswa Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung membuat sistem peringatan dini yang bisa mendeteksi penyebaran penyakit flu lebih cepat. Mereka adalah Puja Pramudya, Andru Putra, Tito Daniswara, Aloysius Adrian, dan Kaisar Siregar. Sistem peringatan dini yang mereka beri nama Mosaic itu memenangi Imagine Cup 2010 yang diselenggarakan Microsoft Indonesia. ”Beberapa fluologist meyakini kemungkinan terjadi lagi pandemi influenza sangat besar,” kata Puja, 22 tahun, manajer proyek Mosaic.

Tidak cuma lebih cepat dibanding metode tradisional, Mosaic juga jauh lebih murah. Sebab, sistem ini tak perlu melibatkan banyak sumber daya manusia dan tak perlu juga membangun jaringan sistem informasi yang mahal. Semuanya bekerja otomatis. Prinsip kerja Mosaic sederhana. Untuk sistem deteksi dini penyebaran flu, Mosaic memanfaatkan data pencarian di mesin pencarian Internet Google.

Seandainya di suatu daerah terjadi wabah flu atau penyakit lain dengan gejala serupa flu, seperti demam dan bersin-bersin, mungkin sebelum pergi ke dokter atau rumah sakit, mereka akan mencari informasi di Internet dengan berbekal petunjuk gejala-gejala itu. Misalnya dengan mengetikkan kata kunci di Google, seperti ”gejala flu”, ”virus influenza”, atau ”indikasi flu”.

Kata-kata kunci seperti itulah yang ditangkap dan kemudian diolah Mosaic. Oleh Mosaic, mereka yang mengetikkan kata kunci di mesin Google itu dianggap kemungkinan besar terinfeksi flu. Jika tren pencarian dengan kata-kata kunci yang berhubungan dengan influenza di suatu daerah sangat tinggi atau jauh lebih tinggi daripada di daerah lain, ada kemungkinan di sana terjadi pandemi flu atau penyakit lain dengan gejala menyerupai influenza. Untuk menjejak lokasi si pencari informasi, Mosaic menggunakan alamat akses Internetnya (IP address).

Mosaic agak mirip dengan Google Flu Trends. Proyek milik Google Inc. itu mulai diluncurkan di Amerika Serikat pada November 2008. Serupa dengan Mosaic, Google Flu memetakan penyebaran penyakit influenza dengan menggunakan rekaman pencarian di Google.

Mosaic, kata Puja, juga menggunakan data rekaman pencarian milik Google. Sebab, selain digunakan oleh lebih dari 60 persen pengguna Internet, mesin yang dibuat Sergey Brin dan Larry Page itu satu-satunya mesin pencari yang membuka akses bebas ke data statistik miliknya. ”Bedanya di pengolahan data dan model statistiknya,” kata Puja. Melalui pesan pendek (SMS) atau portal web, mereka yang terserang flu juga bisa menyumbang data di Mosaic.

Hal lain yang membedakan Mosaic dengan Google Flu Trends adalah fitur early warning dan early response. Seluruh informasi, baik berupa berita, grafik, maupun hasil penelitian terbaru, akan dimuat di portal Mosaic. Data dan informasi di Mosaic kemudian disebarkan melalui rupa-rupa saluran. Bisa lewat jaringan sosial media seperti Facebook atau Twitter, surat elektronik, atau pesan pendek berlangganan.

Yang menarik, Mosaic menyediakan fitur untuk menghitung perkiraan daerah yang paling rentan terserang pandemi flu, berapa besar sumber daya yang harus disediakan jika pandemi itu benar-benar terjadi, dan berapa banyak hari kerja yang bakal hilang. Metode perhitungan ini, menurut Puja, diadaptasi dari model statistik yang dipergunakan Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (CDC).

Masalahnya tinggal seberapa akurat Mosaic dan juga Google Flu Trends mendeteksi penyebaran wabah flu. Di Amerika Serikat, kemampuan Google Flu memprediksi potensi penyebaran flu terbukti akurat. Hasil pemetaan Google Flu 95 persen cocok dengan laporan yang didapat CDC dari 3.000 klinik dan rumah sakit di seantero negeri itu.

Puja dan kawan-kawannya juga sudah menguji akurasi model Mosaic dengan membandingkannya dengan data penyebaran flu H1N1 tahun lalu. Menurut Puja, tingkat akurasi Mosaic tak banyak berbeda dengan data resmi WHO. ”Terutama April dan Mei, ketika flu Meksiko belum benar-benar meledak,” ujar Puja.

Di Indonesia, mendeteksi penyebaran flu lewat Google atau mesin pencari lain terang lebih susah. Sebab, pengguna Internet di negeri ini belum sebanyak di Amerika Serikat. Karena itu, kata Puja, mereka akan terus memperbaiki model pendeteksian Mosaic supaya semakin pintar mengendus penyebaran virus flu.

”Google Flu tetap tidak bisa menggantikan metode pemantauan tradisional,” kata Jamie Yood, juru bicara Google Flu Trends. Sebab, sebagian dari mereka yang terpantau Google Flu tidak benar-benar terinfeksi virus influenza, tapi hanya menunjukkan gejala serupa flu. ”Yang bisa memastikan hanya uji laboratorium.”

Dengan sedikit modifikasi, Mosaic dan Google Flu bisa juga dipakai untuk mendeteksi penyebaran penyakit selain flu. Institut National de la Santé et de la Recherche Médicale, Prancis, sudah mengujinya pada penyakit cacar air dan gastroenteritis. Hasilnya cukup akurat.

Sapto Pradityo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus