Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Keadilan bagi Susandhi

Hakim membatalkan dakwaan atas Susandhi karena pemeriksaan polisi cacat hukum. Polisi dan jaksa bertindak berlebihan.

24 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUTUSAN hakim yang membatalkan dakwaan jaksa atas Susandhi bin Sukatma semakin jelas menunjukkan polisi di negeri ini masih jauh dari standar profesional. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dipimpin Artha Theresia Silalahi dengan terang melihat cacat hukum dalam berkas acara penggeledahan polisi. Cacat itu menyangkut barang bukti ekstasi seberat satu gram. Dalam berkas acara penggeledahan disebutkan inex dibungkus uang Rp 50 ribu dan disimpan di kantong celana Susandhi. Tapi, dalam persidangan, Susandhi alias Aan mengaku tak tahu-menahu soal barang haram itu.

Ini adalah pembatalan dakwaan yang kedua dalam sebulan terakhir akibat keteledoran polisi dalam memeriksa para tersangka. Sebelumnya, pada awal April lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Timur membatalkan dakwaan atas Usep dalam kasus pemilikan ganja karena polisi tidak memberikan kesempatan kepada Usep untuk didampingi pengacara. Padahal, menurut Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, tersangka dengan ancaman hukuman lebih dari lima tahun wajib didampingi pengacara.

Kasus Aan sejak awal memang sudah aneh. Pada mulanya polisi memeriksa kasus dugaan kepemilikan senjata api David Tjioe, bekas Direktur Utama PT Maritim Timur Jaya. Aan, sebagai bawahan David, diperiksa sebagai saksi. Aan mengaku ditelanjangi dan disiksa. Pada saat itulah polisi "menemukan" serbuk putih kebiruan dibungkus uang kertas Rp 50 ribu. Serta-merta status Aan berubah menjadi tersangka. Ia pun langsung ditahan di Kepolisian Jakarta Raya. Ironisnya, David yang sudah menjadi tersangka malah kabur.

Penyiksaan jelas melanggar hak asasi manusia, bahkan melanggar aturan polisi sendiri. Pada Juni 2009, Kepala Kepolisian Republik Indonesia menerbitkan peraturan tentang implementasi prinsip dan standar hak asasi manusia dalam penyelenggaraan tugas polisi. Tata cara pemeriksaan dan penggeledahan diatur di sana. Masih ada pelanggaran lain. Pemeriksaan dilakukan di gedung Artha Graha, salah satu gedung kompleks perkantoran milik pengusaha Tomy Winata, bukan di kantor polisi. Pemeriksanya pun berasal dari Kepolisian Daerah Maluku dan tidak dilengkapi surat tugas.

Kita prihatin karena pemeriksaan acak-adut begini seakan menjelaskan bahwa polisi tidak banyak berubah sejak peristiwa Sengkon dan Karta di Bekasi pada 1977. Tahun itu, Pengadilan Negeri Bekasi menghukum keduanya dalam kasus pembunuhan yang tidak pernah mereka lakukan. Hasil pemeriksaan polisi ternyata sesat. Empat tahun kemudian pembunuh yang sebenarnya terungkap. Belum lama ini, di Indramayu, aparat kepolisian di sana ketahuan memeras keluarga Kadana, seorang tertuduh kasus pembunuhan.

Pimpinan polisi tak bisa tinggal diam. Putusan hakim Artha mesti ditindaklanjuti dengan pemeriksaan internal. Jangan sampai kebiasaan buruk polisi dalam kasus Aan menyebar luas. Polisi tak boleh terus membiarkan diri tunduk kepada kekuatan mana pun di luar markas besarnya. Ini sekaligus ujian bagi kepolisian untuk membenahi diri.

Kejaksaan juga patut disorot. Jaksa menuntut Aan dengan ancaman hukuman penjara lima tahun dan denda Rp 800 juta. Ini jelas tuntutan yang tidak masuk akal. Sebagai perbandingan, dalam kasus jaksa Esther Tanak dan Dara Veranita, jaksa hanya menuntut hukuman 18 bulan. Padahal kedua jaksa itu dituduh menggelapkan barang bukti 343 butir ekstasi.

Kejadian seperti itu, yang semakin banyak belakangan ini, merupakan sinyal betapa perlu reformasi total dijalankan di kepolisian dan kejaksaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus