Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ROBIN HOOD
Sutradara: Ridley Scott
Skenario: Brian Helgeland
Ide cerita: Brian Helgeland, Ethan Reiff, Cyrus Voris
Pemain: Russell Crowe, Cate Blanchett, Mark Strong
KETIKA langit mendadak diserang oleh ribuan anak panah, tiba-tiba saja kita bukan merasa berada di tengah medan perang antara Inggris dan Prancis abad ke-12. Bagi generasi yang tumbuh bersama komik Mahabharata adaptasi R.A. Kosasih, ini adalah visualisasi perang Mahabharata yang begitu nyata. Begitu megah. Begitu dahsyat.
Film Robin Hood versi sutradara Ridley Scott sudah lama dihebohkan karena beberapa hal. Pertama: visualnya mengingatkan kita pada gaya filmnya terdahulu, Gladiator (2000), dengan kuda, panah, kesatria jantan berdebu, serta adegan laga yang mendominasi layar. Kedua, Ridley menggunakan tim produksi dan peran utama yang persis sama, yaitu Russell Crowe yang bahkan penampilannya pun tidak jauh dari tokoh Maximus.
Kita singkirkan dulu tuduhan cerewet ini. Film adalah media bertutur dengan gambar dan kata. Jadi yang penting adalah kisah versi manakah yang disajikan oleh Ridley Scott, setelah kita pernah menikmati versi sutradara Kevin Reynolds (Robin Hood, Prince of Thieves, 1991), ketika Kevin Costner yang beraksen Amerika lebih mirip koboi di tengah hutan Hollywood. Juga versi klasik Robin and Marian (Richard Lester, 1976), yang menampilkan Sean Connery sebagai Robin Hood dan Audrey Hepburn sebagai Maid Marian.
Ridley Scott menyeret kisah Robin Hood menjadi sebuah masa lalu, dengan sebuah konsep prekuel, sebuah masa ketika Robin masih bernama Longstride dan menjadi ahli panah Raja Richard Berhati Singa. Dalam versi Kevin Reynolds, Robin Hood digambarkan bersahabat dengan seorang bangsa Moore, Azeem (diperankan oleh Morgan Freeman), yang menunjukkan sikap kritis atas Perang Salib. Sedangkan dalam film ini Robin menyatakan kritik itu kepada sang raja dengan pidato panjang-lebar.
Syahdan nama Locksley di belakang nama Robin pun diberi sebuah ”sejarah insidental”. Seorang tangan kanan Raja Richard bernama Robert Locksley yang bertugas membawa mahkota sang raja kepada Pangeran John tewas di tangan gerombolan pengkhianat di bawah pimpinan Godfrey (Mark Armstrong, yang tampil sungguh lezat). Robin kemudian membawakan mahkota itu ke tangan Pangeran John—yang kemudian dinobatkan menjadi Raja John (yang terkenal lalim). Sedangkan dirinya lebih dikenal sebagai Robin of Locksley.
Kabar berita bahwa Robert tewas disampaikan pada sang istri, Marian (Cate Blanchett) dan kepada ayah Robert Locksley.
Hanya beberapa detik duka, Robin kemudian diminta ”menggantikan” posisi anaknya untuk berpose sebagai suami Marian. Maklum, pada zaman Sheriff Nottingham yang rakus, semua tanah dan upeti dilalap (ingat, pada zaman itu—atau mungkin juga sekarang—rakyat miskin justru harus memberi duit pada yang berkuasa).
Film yang berdurasi 2 jam 20 menit ini memang menampilkan kisah baru: bagaimana seorang tokoh legendaris seperti Robin Hood, si perampok budiman yang mendistribusikan harta si kaya kepada si miskin, menjadi seorang tokoh yang tak terlupakan sepanjang hayat. Scott membentangkan sebuah cikal-bakal dengan harapan, jika film ini sukses, dia akan menghadirkan sebuah sekuel.
Karena itu, kita akan melihat Robin yang berbaku hantam di hutan; mengelabui rombongan raja atau bangsawan yang membawa harta dan mendistribusikannya (versi Jawa, kita melihat adegan semacam ini dalam kisah Panji Semirang di hutan Asmarantaka). Scott menjejali karakter Robin dengan serangkaian dialog dan pidato yang menunjukkan dia sangat marah pada penguasa dan dia menuntut Raja John untuk membuat perjanjian dengan kaum tuan tanah dan rakyat. Raja John yang tengah terdesak menyanggupi janji itu, karena dia butuh bantuan rakyatnya sendiri untuk berperang melawan Prancis.
Adegan perang Scott Ridley tak pernah mengecewakan. Sigap, cepat, panah, pedang, kapak, dan debu berseteru. Di sinilah kita kemudian merasakan lezatnya kemahiran Sang Pemanah, Robin Hood. Adegan Godfrey yang akhirnya berlari dengan kudanya itu adalah adegan puncak yang melunasi kehausan kita terhadap Robin Hood: dari jauh, mata elang Robin menatap, busur ditarik dan anak panah meluncur seperti sebutir peluru. Tap! Godfrey menggelinding seketika….
Ridley Scott telah membuka sebuah tafsir baru. Robin Hood versi ini sungguh inklusif, multikultural, dan ingin menghapus segala batas kelas, ras, dan kesenjangan ekonomi. Mungkin karena itulah sosok yang selalu diromantisir, tanpa cacat, tanpa luka.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo