Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TRUK-TRUK raksasa berduyun-duyun ke Boulevard de la Croisette. Mobil pengeruk pasir menggeram-geram bekerja. Pantai pun disulap menjadi area perkantoran, rumah makan, atau bioskop terbuka dadakan. Antusiasme terasa meluap di berbagai sudut di kota. Di mana-mana terlihat antrean panjang: orang-orang menunggu taksi di stasiun, tamu di depan hotel menunggu koper-kopernya diangkat ke kamar, juga antrean di depan pintu di lantai satu Palais des Festivals, lokasi penyelenggaraan festival film tahunan Cannes.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Cannes memang bersolek dan riuh. Poster raksasa menghiasi gedung apartemen, hotel, dan pertokoan di kota wisata Prancis di tepi Laut Tengah itu. Entah poster film yang belum dan sudah diproduksi, iklan, entah perusahaan media yang ikut menjadi sponsor. Dan orang-orang, tua, muda, perlente, juga gelandangan pengemis, pengamen, dan tukang foto hilir-mudik di jalan sepanjang dua kilometer tempat Palais de Festivals berdiri.
Pesta sinema Cannes—kali ini memasuki tahun ke-63—pun berlangsung seperti biasa, dengan 30 ribuan pengunjung (dua kali lipat dari penduduk kota). Persis seperti yang sudah-sudah, dengan gemerlap yang serupa? Tak bisa disebut begitu.
Banyak yang berpendapat bahwa festival tahun lalu merupakan yang terbaik setelah beberapa lama. Film-film kuat ikut meramaikan acara yang selalu menyedot perhatian peminat film ini, seperti pemenang Palme d’Or atau Palem Emas (hadiah utama) The White Ribbon, atau Inglorius Basterds, Fish Tank, dan A Prophet. Ada pula film provokatif dan mengusik seperti Antichrist karya Lars von Trier, yang dipuji sekaligus dikecam.
Tahun ini sungguh berbeda. Dari sisi film yang ikut serta, dalam kelompok kompetisi ataupun nonkompetisi, memang tak sampai mengecewakan peminat film serius. Cannes, yang selama ini berhasil mempertahankan keunggulannya dibanding Festival Film Berlin dan Festival Film Venesia, sudah pasti tak akan menurunkan kualitas. Dengan kata lain, ini tetap festival Cannes, walau, seperti diakui Direktur Festival Thierry Fremaux, hanya ada satu film Hollywood yang ikut bersaing untuk merebut hadiah utama (yakni Fair Game karya Doug Liman), serta sedikit pula calon film laris yang diputar di ajang nonkompetisi—misalnya sekuel Wall Street dari Oliver Stone dengan judul kecil Money Never Sleeps.
Tapi, justru karena hal itulah, festival lebih redup dari keramaian dan kemilau bintang. Pada malam pesta dimulainya festival, Rabu dua pekan lalu, perhatian khalayak terpusat pada Russell Crowe dan Cate Blanchett, yang membintangi film pembuka Robin Hood. Tak seperti sebelumnya, sutradara film pembuka absen. Ridley Scott menitipkan surat untuk dibacakan dalam jumpa pers: dia masih harus menjalani perawatan setelah operasi lutut.
Mungkin hal itu lebih baik bagi Scott. Sebab, tepuk tangan yang biasanya meriah menyambut pemutaran film pembuka, kali ini terasa ”garing”.
”Tahun ini memang lebih sepi, industri perfilman juga sedang sepi dan memang sudah diprediksi. Mulai Berlin, Busan, dan sekarang Cannes,” kata John Badalu, pendiri QFest dari Indonesia, yang menghadiri festival untuk mempromosikan trilogi Merah Putih.
Dia membandingkan, dalam festival tahun lalu susah sekali mendapatkan tiket untuk menonton. Tahun ini, katanya, setiap kali dia berniat menonton salah satu film, pasti dengan mudah mendapatkan tiket. Bahkan kalaupun harus antre.
Selain krisis ekonomi global, debu dari letusan Gunung Eyjafjallajokull ikut menjadi penyebab berkurangnya kunjungan orang. Atau, kalaupun ada yang bisa datang, tidak persis menjelang acara dimulai. Kate Beckinsale, salah seorang juri, misalnya, mengaku melewatkan makan malam pertama dengan sesama juri. ”Baru hari ini saya berkenalan dengan juri lain. Sayang sekali saya datang terlambat. Penerbangan saya ditunda sementara karena debu gunung berapi itu,” ujarnya pada saat jumpa pers siang sebelum malam pembukaan.
Toh, masih ada yang mendapat kesan lain. Alex Hsieh dari Singapura, yang rutin datang dalam sepuluh tahun terakhir, tampak gusar dengan festival kali ini. ”Orang-orangnya sudah tidak lagi menikmati festival. Mereka hanya berebut, sikut-sikutan, atau marah-marah tidak jelas. Film-filmnya sama sekali tidak berkualitas. Ini adalah festival kepalsuan,” ujarnya.
Demikian pula dengan Osange Silou-Kieffer dari Paris. Penyelenggara Festival Film Guyana Prancis, Guadaloupe, dan Martinique ini juga mengatakan tak ada film kompetisi yang sangat menonjol tahun ini. ”Sampai akhir pekan pertama Cannes, belum ada film yang benar-benar mengesankan untuk saya.” Silou-Kieffer, yang sudah 20 kali hadir, mengatakan bahwa Festival Cannes sudah sangat komersial. Istilah tepatnya adalah ”Festival L’oreal dan Renault”—merujuk padadua perusahaan sponsor utama Cannes.
John Badalu memaklumi sebutan itu. Katanya, semua festival memang harus punya sisi komersial. ”Karena memang mewakili industri perfilman. Industri harus punya sumber dana,” ujarnya.
Untuk itulah, John menambahkan, diadakan Directors’ Fortnight sebagai pengimbang. Seperti namanya, seksi independen ini memilih film yang ideal dan terbaik menurut para sutradara. Beberapa film yang terpilih dalam Directors’ Fortnight antara lain The Tiger Factory (karya sutradara Ming Jin Woo, produksi Malaysia dan Jepang), The Joy (Marina Meliande dan Felipe Braganca dari Brasil), dan The Vagabond (Avisai Sivan, Israel).
Di festival, pada ajang kompetisi yang kali ini hanya mempertarungkan karya-karya sutradara lelaki, ada lima film dari sutradara Asia yang bersaing. Sutradara Iran langganan festival, Abbas Kiarostami, memboyong Certified Copy, karyanya yang dibuat di Italia dan dilarang diputar di Iran karena dianggap mempromosikan nilai-nilai Barat. Selain itu, ada dua film Korea Selatan, The Housemaid (karya Im Sangsoo) dan Poetry (Lee Chang-dong); dari Jepang ikut serta Takeshi Kitano dengan Outrage; dari Cina ada Chongqing Blues karya Wang Xiaoshuai; dan terakhir dari Thailand ada Lun Boonmee Ra Luek Chat garapan Apichatpong Weerasethakul.
Film-film itu bersaing dengan antara lain Biutiful karya Alejandro Gonzales Inarritu (Meksiko) dan Another Year garapan Mike Leigh (Inggris). Keduanya bukan muka baru di Cannes; Leigh bahkan pernah memenangi Palem Emas pada 1996 melalui Secret & Lies.
Yang menarik, dewan juri, yang dipimpin Tim Burton, sutradara yang menggarap antara lain Edward Scissorhands, Batman Returns, dan belum lama ini Alice in Wonderland, menawarkan sikap santai dan terbuka. Menurut Burton, semua jenis film diterima dengan tangan terbuka untuk ikut memperebutkan hadiah utama. Selain dia dan Kate Beckinsale, yang termasuk jajaran juri kali ini adalah Giovanna Mezzogiorno dan Benicio del Toro dari kalangan aktor, Emmanuel Carrère (penulis naskah), Alexandre Desplat (komposer), Alberto Barbera (mantan Direktur Festival Film Venesia), dan Victor Erice serta Shekhar Kapur (sutradara).
Sebenarnya ada satu nama lagi yang diundang untuk menjadi juri, yakni Jafar Panahi. Tapi, sejak awal April, Panahi berada di penjara karena dianggap berbahaya bagi pemerintah Iran. Ketika ditanya mengenai hal ini, Tim Burton ragu-ragu menjawab. Yang keluar dari mulutnya hanya, ”Ah, eh.” Menteri Luar Negeri Prancis Bernard Kouchner yang menyelamatkan situasi. Katanya, ”Iran harus menghargai hak fundamental kebebasan berpendapat dan kebebasan berkreasi.” Lalu kalimat saktinya adalah: ”Segera bebaskan Panahi!”
Jika yang dicari adalah sedikit kontroversi, Draquila mestinya memenuhi harapan. Film dokumenter yang disutradara Sabona Guzzanti ini memaparkan apa yang telah dilakukan pemerintahan Silvio Berlusconi terhadap korban gempa di L’Aquila, April tahun lalu. Diputar di ajang nonkompetisi, film ini dianggap begitu menghina ”kebenaran dan seluruh rakyat Italia” hingga Menteri Kebudayaan Italia Sandro Bondi membatalkan hadir di Cannes. Tapi pemutarannya di festival tak sampai merusak hubungan diplomatik Prancis dan Italia.
Begitulah, walau datar dan cenderung sepi, dan dengan film yang mana pun yang memperoleh Palma Emas, Cannes setidaknya tetap Cannes.
Luky Setyarini (Cannes)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo