Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HOBINYA berselancar di Internet. Mulai mencari artikel, bahan pengajaran, hingga mencari permainan buat anaknya. Wiwin Nurwiantini, guru Sekolah Menengah Pertama Negeri I Pamulang, Banten, tidak terlalu kesulitan ketika mendatangi situs berbahasa Inggris. Tapi dia langsung menyerah bila berhadapan dengan bahasa lain, misalnya Arab atau Jepang. ”Padahal banyak artikel bagus,” kata guru matematika ini.
Kini persoalan Wiwin itu mulai teratasi dengan kehadiran Google Translate. Inilah penerjemah situs, kata, dan kalimat secara otomatis. Setelah ulang tahunnya yang ke-10, akhir September lalu, perusahaan Internet raksasa ini menambahkan fitur bahasa Indonesia. Penerjemah Google ini sekarang sudah memiliki 34 bahasa. Jadi semua orang bisa menerjemahkan situs bahasa lain ke bahasa Indonesia atau sebaliknya. ”Meskipun bahasanya masih banyak yang tidak pas,” ujarnya.
Tambahan bahasa, termasuk Indonesia, belum masuk fitur Perangkat Bahasa yang tertaut pada google.com. Pengunjung harus masuk melalui www.translate.google.com. Setelah itu, masukkan situs yang ingin diterjemahkan dan pilih bahasanya. Pengunjung juga bisa sekadar menerjemahkan kata atau kalimat dalam formulir yang tersedia.
Dalam situsnya, Google mengatakan perangkat penerjemah itu belum mendekati kemahiran penutur asli atau memiliki keahlian seperti penerjemah profesional. Terjemahan ini menggunakan teknologi mesin. Dia menentukan pilihan kata berdasarkan statistik sehingga perangkat ini sulit menangkap konteks dalam sebuah kalimat.
Google Translate menggunakan standar bahasa Inggris. Tapi pengunjung bisa menerjemahkan bahasa lain, misalnya bahasa Vietnam ke Indonesia. Nantinya, mesin akan menerjemahkan dulu ke bahasa Inggris tanpa terlihat di monitor. Setelah itu, baru tampil teks terjemahan dalam bahasa Indonesia.
Google meluncurkan penerjemah otomatis ini pada 2005. Awalnya Google menggunakan perangkat lunak Systran, yang sama dengan produk Yahoo, Babelfish. Google mulai mengembangkan perangkat penerjemah sendiri pada 2007 dan makin memekarkan pilihan bahasanya.
Pada peluncuran pertamanya, layanan ini baru menerjemahkan lima bahasa, yakni Inggris, Arab, Prancis, Jerman, dan Spanyol. Pada pembaruan ke-11, perusahaan aplikasi ini menambahkan bahasa Indonesia, Katalan, Filipina, Yahudi, Latvia, Lithuania, Serbia, Slovakia, Slovenia, Ukraina, dan Vietnam. Kini ada 20 miliar kata dari 34 bahasa tersimpan dalam Google Translate. ”Kami ingin menambahkan hingga 100 bahasa,” kata Eric Schmidt, bos Google.
Google menunjuk orang atau perusahaan untuk membuat penerjemahan ini. Namun perusahaan yang bermarkas di California, Amerika Serikat, ini membuka peluang pengguna di seluruh dunia menyumbangkan terjemahannya. Tinggal kunjungi saja www.google.com/transconsole.
Setiap orang yang memiliki kemampuan berbahasa bisa bergotong-royong dengan menyumbangkan terjemahannya. Mereka juga bisa berembuk tentang istilah yang tepat. Terjemahan Indonesia rampung 100 persen dalam aplikasi ini. Namun setiap orang tetap bisa mengajukan keberatan dan mengusulkan padanan baru.
Konsep gotong-royong itulah yang kini rame-rame dipakai aplikasi lain, misalnya facebook.com, plurk.com, myspace.com, atau friendster.com. Situs jejaring sosial ini memiliki fasilitas terjemahan yang bisa digarap bersama. ”Asyik kan kalau menggunakan bahasa sendiri,” ujar Ivan Lanin, yang turut menerjemahkan Facebook dan Plurk.
Fasilitas di Facebook, MySpace, Plurk, atau Friendster bukan menerjemahkan kata, kalimat, atau situs bahasa asing, seperti milik Google. Layanan ini dipakai buat tampilan antarmuka. Jadi semua orang bisa mengakses situs itu sesuai dengan bahasa atau tulisannya.
Penggunaan bahasa dan tulisan lokal tujuannya memang mendongkrak jumlah pengunjung. Mereka berkaca pada kegagalan menembus pasar Jepang. MySpace hanya ada di urutan ke-95 pengunjung terbanyak berdasarkan statistik Alexa. Facebook bahkan tidak masuk 100 besar.
Pengguna Internet di Jepang lebih memilih situs jejaring sosial lokal, Mixi, ketimbang situs berbahasa Inggris. Sementara itu, situs pencari paling populer di Jepang adalah Yahoo versi lokal yang berakhiran co.jp. ”Sayang, orang Indonesia justru lebih banyak yang menggunakan versi Inggris ketimbang bahasa sendiri,” ujar Ivan.
Menurut dia, kebanyakan orang lebih memilih versi Inggris karena kebiasaan. Istilah Internet dalam bahasa Indonesia memang masih kurang familiar di telinga pengguna. Frasa dalam Internet juga masih banyak yang belum terangkum dalam kamus atau referensi yang sudah disepakati. ”Memang harus ada usaha mencari. Kalau janggal, nanti juga akan terbiasa,” katanya.
Ivan memang sudah berpengalaman dalam proyek alih bahasa ini sejak 2000. Ia membahasaindonesiakan program untuk membuat forum komunitas, PHPBB, dan merintis pelokalan Wikimedia. Dia juga membangun komunitas penerjemah dalam i15n.org yang bertujuan menyamakan persepsi bahasa di antara penerjemah.
Ivan mengatakan penggunaan bahasa Indonesia dalam sejumlah aplikasi masih belum seragam, misalnya padanan kata link. Ada yang menggunakan pranala, taut, atau tautan. Kata lainnya, seperti timeline, juga masih diperdebatkan persamaannya karena ada yang menyebut garis waktu, alur waktu, atau lini waktu.
Menurut dia, perbedaan istilah itu membuktikan kekayaan bahasa Indonesia. Tinggal keinginan pemakai Internet di Indonesia menyumbangkan terjemahan dan menggunakan aplikasinya. Ivan mengatakan saat ini aplikasi di Internet semakin memudahkan orang mengusulkan bahasa sendiri.
Untuk menyumbangkan karyanya, penerjemah cukup mendaftar ke situs masing-masing. Facebook memajang hasil terjemahan melalui mekanisme voting semua anggota. Sementara itu, Plurk harus mengirimkan lamaran dulu melalui surat elektronik sebelum menjadi penerjemah. Ivan mengatakan prosedur itu menghindari tangan jail yang membuat terjemahan secara serampangan.
Setiap penerjemah akan mendapat poin begitu menyumbangkan karyanya. Kini ada 10 ribu frasa berbahasa Indonesia di Facebook dan 800 frasa dalam Plurk. Semua penerjemah itu bekerja sukarela. ”Kebanggaan saja kalau mendapat poin sebagai penyumbang terbanyak,” kata Ivan.
Proyek penerjemahan itu memang biasanya dilakukan tanpa bayaran. Thariqul Huda, misalnya, membuat wordpress.org versi Indonesia di tengah kesibukannya sebagai mahasiswa kedokteran tingkat akhir Universitas Diponegoro, Semarang. ”Kepuasan saja,” ujar Huda.
Yandi M.R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo