Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Klinsi Mencari Titik Balik

Bersama Juergen Klinsmann, Bayern Munich terlunta-lunta di awal kompetisi. Dia ingin para pemainnya bermain dalam aura berbeda, namun itu tak mudah.

13 Oktober 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BIBIRNYA langsung terkatup. Wajahnya cemberut. Menjelang peluit berbunyi, dia pun lemas. Kepalanya geleng-geleng tak percaya dengan hasil pertandingan itu. Dua pekan silam itu, mereka gagal meraih angka penuh. Bayern Munich bermain imbang 3-3 melawan Bochum, meski sempat unggul 3-1.

Stadion semegah Allianz itu tiba-tiba menjadi neraka jahanam. Teriakan pendukung Bayern Munich terdengar menyakitkan. Juregen Klinsmann hanya bisa diam.

Inilah pengalaman pahit yang tidak pernah dibayangkan. Dalam tujuh game sampai pekan lalu, mereka hanya dua kali menang dan tiga kali draw. Dua kekalahan terasa menyakitkan. Salah satunya tatkala mereka ditekuk Werder Bremen 5-2 di kandang sendiri.

Praktis, langkah awal pada musim kali ini merupakan yang terburuk dalam 40 tahun terakhir. Sampai pekan ketujuh, posisi Bayern nyungsep di urutan 10 klasemen sementara. Siapa pun, terutama fan alias pendukungnya, dengan mudah menunjuk penyebab: Juergen Klinsmann, sang manajer baru Bayern Munich. ”Pergi saja kau,” teriakan itu menjadi lazim mampir ke telinga sang manajer.

Tentu saja ini berbeda dengan yang terjadi pada awal Juli lalu. Saat itu pendukung klub marun perak ini melambung keyakinannya. Prestasi Klinsi—panggilan sayang Klinsmann—pada saat memegang Der Panzer Jerman di Piala Dunia 2006 menjadi pangkal keyakinan itu.

Ketika itu Klinsi memang istimewa. Tanpa pengalaman mengelola tim sebelumnya, dia dipercaya mengurus tim nasional Jerman. Dalam waktu dua tahun, Klinsi berhasil memermak tim Panser.

Tim Jerman yang semula kaku, lambat panas, dan irit gol tiba-tiba berubah menjadi seperti seorang remaja akil balik yang tak pernah kehabisan napas dan tenaga plus nafsunya yang terus membara. Hasilnya, Jerman masuk semifinal, sebelum kandas oleh Italia.

Klinsi pun manis namanya. Namun keputusan berikutnya sungguh me­ngagetkan. Berada di puncak ketenaran, dia malah mundur dari jabatan manajer tim nasional. Sempat pula beredar kabar tentang klub yang berniat memakai jasanya. Chelsea, Liverpool, Tottenham Hotspur, bahkan tim nasional Amerika Serikat dan Inggris dikabarkan juga tertarik merekrutnya. Semuanya seperti membentur tembok. Klinsi sama sekali tidak tertarik.

Dia memilih kembali mudik ke kampung halamannya di California, Amerika Serikat, untuk berkumpul dengan istri dan dua anaknya. Di sana, dia menikmati hidupnya dari hasil mengurus tim sepak bola sambil menekuni ajar­an Timur, termasuk cara pengobatan alternatif. ”Saya benar-benar mening­galkan sepak bola. Sehari-hari pun saya tidak pernah menendang bola. Kalaulah berolahraga, saya lebih suka jogging,” katanya.

Ternyata itu tak bertahan lama. Peng­urus Bayern Munich jenuh dengan hasil kerja Ottmar Hitzfeld, yang membawa Bayern menjadi juara tapi tidak memuaskan. Mereka ingin klub merah marun itu menjelma menjadi seperti tim nasional Jerman yang atraktif dan tampil menyerang. Persis seperti saat digarap Klinsmann.

Februari tahun ini, mereka mulai membuka negosiasi dengan si rambut pirang. Ternyata Klinsi tak kuasa menampik tawaran ini. Sret, sret …, tanda tangan digoreskan di surat kontrak. Mulai 1 Juli, Klinsmann resmi menjadi bos di Munich. Klinsmann langsung gembar-gembor akan membawa dua piala: juara Bundesliga dan nomor wahid di Liga Champions. Bekalnya dia punya, membawa Jerman menjadi nomor tiga dalam perhelatan Piala Dunia 2006 di negerinya sendiri.

Ternyata ajang liga teramat berbeda dengan ajang kompetisi layaknya Piala Dunia—turnamen pendek yang memudahkan pelatih mengelola emosi para pemainnya. Liga tentu saja berbeda. Mereka harus tetap bersama-sama selama satu musim dengan segala suasana dan ketegangan yang tidak pernah sama. Sampai pekan lalu, Bayern Munich masih terpuruk. Semua sedih. Padahal FC Hollywood—julukan klub ini, gara-gara para pemainnya lebih sering tampil di media gosip ketimbang media olahraga—adalah juara Bundesliga musim lalu.

Sebenarnya Klinsi tidak sendirian. Ada juga yang nasibnya kurang lebih sama. Dia adalah Joseph Guardiola, 37 tahun, Manajer Barcelona. Publik terperangah ketika Guardiola ditunjuk sebagai pengganti Frank Rijkaard asal Belanda. Dia lebih dikenal sebagai bintang Barca—sebutan klub Barcelona dalam bahasa Spanyol—semasa dilatih Johan Cruyff. Tapi, setelah bintangnya redup, si berewok ini mondar-mandir ke berbagai klub. Bahkan sempat terdampar di Qatar. Belakangan, dia pun terkena kasus obat terlarang.

Tekanan terhadap Pep—panggilan Guardiola—justru lebih berat. ­Minim pengalaman, kecuali berhasil membawa klub Barcelona B naik ke divisi dua. Namun nasib orang siapa yang menduga. Semusim berlalu, dia langsung diberi kepercayaan menangani klub sebesar Barcelona. ”Ini merupakan penghargaan yang luar biasa,” katanya.

Guardiola punya langkah taktis. Dua bintangnya, Ronaldinho dan Deco, dipecat. Katanya, merekalah yang menjadi biang keladi kemandulan Barca. Meski sempat guncang di awal, sempat terseok-seok di awal musim, toh mereka mampu bangkit. Kemenangan terakhir mereka atas Atletico Madrid, dengan hujan gol 6-1, adalah bukti pulihnya keadaan tim.

Nah, lalu apa yang keliru dengan Klinsi? Dengarkan komentar Mario Bassler, bekas pemain Bayern Munich. Bassler, yang bersama Stefan Effenberg merupakan pilar dari klub ini, melihat ada sesuatu yang diusung Klinsmann ke dalam klub tersebut. Klinsmann diketahui memiliki ketertarikan pada ajaran dari Timur.

Itu pula yang membuatnya membawa patung ke tempat mereka berlatih. Tujuannya? Agar pemain dapat menyerap energi positif. ”Waktu kami bermain, kami tidak memerlukan hal-hal seperti itu. Kami berlatih, bertanding, dan menikmati hidup,” kata Bassler ceplas-ceplos.

Tentu saja, bukan patung itu yang menjadi sumber masalah sebenarnya. Namun cara Klinsi yang mencoba aura baru dalam timnya yang dianggap masih belum bisa diterima timnya. Bagaimanapun, FC Hollywood adalah tim bertabur bintang. Antara lain ada Miroslav Klose, Lukas Podolski, Franck Ribery. ”Klinsi membawa sesuatu yang abstrak dan sulit dipahami para pemain,” kata Bassler. Hal senada dirasakan pemain lain. Salah satunya adalah Ze Roberto, pemain asal Brasil. Mereka lebih ingin yang simpel saja.

Kini nasib Klinsi memang sedang tidak bagus. Sekarang saatnya bagi dia untuk menemukan titik balik bagi dirinya dan juga tim. Namun, dia masih beruntung. Setidaknya para petinggi di klub itu masih memberikan dukungan. Franz Beckenbauer dalam kolomnya di surat kabar Bild menyarankan agar Klinsi menanggapi semua kritik dari siapa pun, baik dari media, pendukung, maupun pengurus klub, dengan kepala dingin.

Apakah itu artinya? Beckenbauer ingin agar Klinsi lebih mementingkan soal suasana dan hubungan antarpemain di dalam klub. ”Klinsmann membutuhkan waktu agar para pemain bisa berasimilasi dengan filosofi latihannya. Kami butuh bersabar,” kata Beckenbauer, yang juga pemimpin Bayern Munich.

Toh, Klinsmann tak bisa lega hati. Sebab, kata sang Kaisar—sebutan Beckenbauer—para petinggi klub itu hanya memberi waktu hingga akhir tahun. Bahkan, bisa jadi lebih singkat dari itu. Mungkin Klinsmann perlu meditasi agar mendapat pencerahan.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus