Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EKONOMI dunia terbukti serapuh rumah lego. Surat utang macet sektor properti di Amerika Serikat meluruhkan perusahaan kakap sekelas Bear Stearns, Fannie Mae, Freddie Mac, dan terakhir Lehmann Brothers serta American International Group (AIG). Kebangkrutan sektor keuangan di Amerika ini langsung membuat dunia terancam krisis.
Lantai bursa dunia bergoyang seperti dilibas lindu. Tak terkecuali Bursa Efek Indonesia di Jakarta, yang Rabu pekan lalu terjun bebas hingga 10,38 persen ke posisi 1.451--angka terendah sejak September 2006. Pada 11.08, akhirnya diputuskan bursa tutup sementara. “Untuk mencegah kejatuhan harga saham lebih lanjut dan menenangkan pelaku pasar,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Hingga akhir pekan lalu, Bursa Efek Indonesia masih ditutup. Pemerintah merencanakan membuka kembali perdagangan saham pekan ini, seraya menyiapkan sejumlah langkah--antara lain dengan mengucurkan dana Rp 4 triliun untuk membeli saham sejumlah badan usaha milik negara. Pemerintah juga mengancam para “penyamun” di bursa yang diduga melakukan transaksi haram.
Di balik kepanikan itu, Ketua Asosiasi Perusahaan Pengelola Reksa Dana Indonesia, Abiprayadi Riyanto, mengimbau pelaku pasar tak risau. Situasi saat ini, menurut dia, justru membuka peluang bagi investor domestik. “Sekarang saatnya membeli saham murah,” Direktur Utama PT Mandiri Manajemen Investasi itu menambahkan.
Jumat pekan lalu, Nugroho Dewanto, Padjar Iswara, Arif A. Kuswardono, dan Bunga Manggiasih dari Tempo mewawancarai lulusan teknik sipil Universitas Gadjah Mada ini di kantornya di lantai 28 Plaza Mandiri, Jalan Gatot Subroto, Jakarta.
Apa yang membuat bursa kita ambruk begitu buruk?
Sejak Juli 2007, kita sudah membaca krisis subprime di Amerika Serikat. Indonesia sudah terkena pengaruhnya sedikit-sedikit saat itu. Bangkrutnya Lehmann Brothers, sebelum Lebaran, membuat pasar turun signifikan, terutama di Eropa dan Amerika Serikat. Bank Fortis di Eropa terkena rush sampai harus dinasionalisasi. Karena investor kita ada dua, domestik dan asing, kita tidak bisa menghindari pengaruh itu. Investor asing ingin keluar, tapi saat itu bursa tutup karena Lebaran. Begitu buka lagi, Senin, mereka langsung check out. Pada hari kedua, Selasa, kita melihat gejalanya tidak tampak lagi. Kita pikir sudah tinggal investor domestik. Ternyata hari Rabu muncul lagi. Tapi ini mungkin karena faktor lain, akibat tindakan short-selling, memburu margin, mereka yang jatuh dan tidak bisa bayar. Mau nggak mau, broker yang memberikan pinjaman margin harus menjual, pada tingkat harga berapa pun. Akhirnya pasar disetop.
Bagaimana komposisi investor asing dan domestik sekarang?
Data resmi yang saya terima dari Bursa Efek Indonesia menunjukkan 70 persen investor domestik, 30 persen investor asing. Tapi, kalau transaksi terbalik: 70 persennya asing, sisanya domestik. Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Presiden Yudhoyono menyatakan fundamental ekonomi Indonesia bagus. Itu betul. Bisa dicek, kok, datanya. Jadi, tak perlu terlalu khawatir.
Kalau melihat fundamental ekonomi, bukankah negara Eropa dan Asia Timur juga kuat, tapi mereka terpukul.…
Jepang tidak terlalu bagus, lho. Suku bunganya biasanya negatif, kemarin dia naikkan jadi 0,25 persen. Di Indonesia tidak ada bank yang membeli subprime. Di Amerika sistem keuangannya rusak karena perbankannya bolong lantaran mereka melakukan investasi di surat utang subprime. Bank kita tidak, jadi lebih terjaga stabilitas keuangannya.
Apa yang membuat kita bisa optimistis bursa tak akan lebih terpuruk?
Kita kan masih makan supermi, belanja baju, mandi pakai sabunnya Unilever atau P&G, yang semuanya produksi perusahaan di bursa. Selama rakyat Indonesia masih punya daya beli untuk mengkonsumsi produk itu, perusahaan-perusahaan itu akan tetap bagus.
Perusahaannya mungkin bagus, tapi bursa telanjur jatuh….
Saya kan bergerak di sektor reksa dana, itu investasi jangka panjang. Kalau kita lihat ke belakang, tahun 2002-2007, orang yang melakukan investasi di reksa dana saham mendapat gain sampai 550 persen. Itu dari indeks saja. Kalau dia masukkan ke reksa dana, pertumbuhannya lebih bagus daripada indeks. Fluktuasinya ada, tapi kita bisa tetap untung. Kita beli saham sekarang kan tidak untuk dijual besok, lusa, seminggu, atau enam bulan lagi? Tapi kita beli untuk jangka tiga-empat tahun ke depan. Lagi pula, kita beli saham dari perusahaan mobil, baju, kopi, yang semuanya berbasis produksi.
Sejauh ini, adakah penarikan dana karena panik di reksa dana?
Nggak ada. Saya punya datanya. Untuk reksa dana saham saja, bulan September lalu subscribe-nya mencapai Rp 774 miliar, redemption-nya Rp 699 miliar. Masih nett-subscribe, kok. Padahal, pasar kita sudah turun saat September. Tiga hari terakhir kemarin, sebelum bursa ditutup, di Mandiri Investasi penarikan dana tidak sampai Rp 5 miliar. Hari Selasa ada dana bersih masuk Rp 1 miliar. Yang parah, jika terjadi kasus seperti tahun 2005, arahnya semuanya keluar. Saat ini tidak. Jadi, mereka (investor) masih sehat pikirannya.
Kalau melihat penurunan indeks bursa Indonesia yang begitu buruk, tentu tak semua investor berpikiran sehat?
Rusia paling gede, lho, penurunannya. Di Asia memang kita paling buruk. Saya dan teman-teman di Asosiasi Pengelola Reksa Dana Indonesia merupakan pengelola investasi jangka panjang. Sementara investor, baik asing maupun domestik, ada yang berpikiran short term dan long term. Mereka selalu terdiri atas trader atau speculator, dan investor. Dinamika pasar memang begitu, harus ada dua-duanya. Nah, kemarin yang banyak menjual saham adalah investor jangka pendek. Ada pula investor retail dan domestik yang short seller atau memburu margin. Para pemburu margin, kalau harga saham turun, mereka kan mesti bisa menaikkan harganya, atau top-up? Kalau sudah tidak mampu top-up, pilihannya dijual pada level harga berapa pun. Itu buruknya short seller. Pasar turun justru dia manfaatkan terus. Makin turun, makin senang dia. Kalau perlu, turun terus. Makanya Bank Indonesia mau membuat investigasi.
Apakah kehadiran spekulan yang menggoreng harga saham tak bisa ditekan?
Kita nggak bisa menghindari itu. Di Amerika, pasar yang paling maju pun, masih ada yang tertangkap melakukan insider trading atau rumor driver. Ini yang namanya pasar kapitalisme. Di bursa pasti ada spekulan. Selama tidak tertangkap atau ketahuan, ya, dia kerjakan terus. Kami cuma bisa mengajak investor, jangan gampang dimakan rumor. Banyaklah ambil napas dalam-dalam, berpikir lebih tenang.
Investor kita masih rentan gosip?
Karena mereka kurang informasi. Sebenarnya, karena itu justru pasar bisa hidup, karena ada yang tahu informasi dan ada yang kurang informasi. Bagi investor jangka pendek, mereka memang lebih sensitif untuk hal-hal seperti itu.
Faktor apa lagi yang membuat bursa bisa tertekan?
Faktor marked to market, konsepnya adalah kestabilan sektor finansial di semua bidang: perbankan, asuransi, dana pensiun, dan reksa dana. Kalau kebetulan harga reksa dana tertekan turun, misalnya sampai lima-sepuluh persen, perbankan, asuransi, dan dana pensiun yang sebenarnya tidak ada hubungannya, akan ikut tertarik ke bawah. Rasio kecukupan modal (CAR) bank bisa anjlok, portofolio kena. Begitu pula sebaliknya.
Apakah penutupan bursa tak membuat pelaku pasar secara psikologis bertambah panik?
Kalau kita bicara normatif, bursa itu ditutup untuk kepentingan pasar Indonesia secara keseluruhan. Kami menghargai pemerintah yang mengambil keputusan itu. Saya tidak bisa bilang penutupan bursa itu salah atau tidak. Pemerintah punya penilaian sendiri. Saya rasa pemerintah punya informasi yang lebih lengkap ketika membuat keputusan.
Sebagai pelaku, menurut Anda dalam situasi krisis seperti sekarang, sebaiknya bursa tetap buka atau ditutup?
Dibuka. Kita tetap percaya dengan ongkos pasar. Kalau semua saham di bursa itu asalnya dari perusahaan sektor riil, orang pasti beli. Karena orang masih beli baju, sepatu, mi, dan lain-lain, perusahaan bisa terus tumbuh. Lagi pula, banyak perusahaan itu juga bagus. Perusahaan telekomunikasi, misalnya, semua orang kan memakai? Malah sekarang makin gila saja orang belanja pulsa telepon. Mereka pasti bisa untung dan tidak mungkin nilai sahamnya nol.
Bagaimana efektivitas rencana pemerintah membelanjakan Rp 4 triliun untuk membeli kembali saham BUMN?
Buy back berarti mereka bisa beli di harga murah. Mereka mendapat keuntungan dari pasar. Kedua, investor domestik yakin, pemerintah memberikan perhatian pada pasar Indonesia. Mungkin tidak bisa memulihkan harga ke tingkat sebelum bursa tutup, setidaknya Anda mendapat keuntungan.
Kalau tren pasar masih turun, intervensi Rp 4 triliun bukankah tak ada artinya?
Bisa jadi. Tapi yang namanya pasar, pasti ada satu titik harga di mana orang berpendapat sudah sangat murah dan dia kemudian masuk. Begitu orang masuk, semua berebut, jangan sampai tidak kebagian. Pasar kemudian akan naik sangat cepat.
Kata ekonom Joseph Stiglitz, harusnya bursa dibiarkan saja, kan investor itu orang pintar dan kaya? Asal jangan sampai krisis berimbas ke sektor riil.…
Kalau saya lihat, pemerintah itu bukan soal mau menolong siapa, tapi mau memulihkan kepercayaan. Itu pesan yang ingin mereka ciptakan. Mungkin ongkosnya bisa mencapai Rp 4 triliun, tapi itu perlu. Sebab, kalau bursanya jatuh lebih buruk, kepercayaan orang luar terhadap negara ini bisa lebih parah.
Kira-kira berapa lama krisis ini akan berlangsung?
Kemarin, dari hasil diskusi, kira-kira tiga tahun. Saya perkirakan dari indeks 1.400 ke 2.800, mungkin perlu tiga tahun.
Jangan-jangan, selama masa itu investor malah menurun?
Saya sih tidak melihat begitu. Sebab, saya ajak investor bermain di porsi dana yang tak terpakai.
Apa faktor pendorong yang bisa membuat bursa cepat pulih?
Pada krisis 1998, Indonesia membuat Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Saat ini Amerika juga bikin badan itu. Kalau Amerika bisa pulih lebih cepat, kita akan tertolong. Kita lihat dalam kuartal pertama atau kuartal kedua tahun depan. Harapannya, pasar kita mulai bersih, ketika pengaruh investor asing sudah pergi. Sekarang investor domestik, terutama jangka panjang, mulai berperan. Misalnya, dana pensiun, tiap bulan kan mereka membayar iuran, jadi punya fresh money. Dan kalau melihat peluangnya, mereka bisa beli saat harga rendah. Begitu pula asuransi dan reksa dana.
Jadi, sekarang justru peluang untuk membeli saham?
Kita harus bisa mengajak investor melihat peluang ini, beli saat harga rendah. Mungkin cuma Rp 1 juta sebulan, tapi dikali 800 ribu investor, misalnya, akan kelihatan hasilnya. Di luar negeri pasar porak-poranda, apa boleh buat. Tapi, pelaku investasi dalam negeri harus bisa menghidupkan pasar domestik. Kalau bisa mengajak seperti itu, pasar kita bisa cepat sehat.
Apakah reksa dana sudah menunjukkan kecenderungan bisa menggantikan investasi asing?
Dari jumlah besaran, sih, belum. Tapi kita bisa lihat dari sisi lain. Reksa dana Indonesia itu awal 2008 total hanya sebesar Rp 95 triliun. Porsi reksa dana saham Rp 40 triliun. Kalau dari Rp 40 triliun itu mereka transaksi 5 persen saja sehari, sudah Rp 2 triliun. Perputaran bursa berapa? Kurang lebih Rp 5 triliun. Berarti Rp 2 triliun saja sudah separuh pasar. Jadi, reksa dana bisa mengubah dan menggerakkan pasar. Potensinya ada, meski saat ini belum terjadi.
Saat ini seberapa besar peran reksa dana di pasar saham?
Beberapa waktu lalu pemerintah menyatakan butuh Rp 660 triliun untuk infrastruktur. Program infrastruktur itu mau didanai dengan apa? Surat Utang Negara atau dana pihak ketiga di bank yang jumlahnya Rp 1.800 triliun? Tapi (dana bank) adalah uang jangka pendek. Padahal, reksa dana itu sebenarnya instrumen yang bagus untuk pendanaan jangka panjang. Melalui reksa dana, orang bisa tetap dapat likuiditas, bisa saling tukar obligasi, jaminan usaha, atau SUN. Tidak harus beli Rp 1 miliar, cuma Rp 1 juta juga bisa. Orang bisa berpartisipasi di pasar modal tanpa harus dengan uang besar.
Berapa jumlah pemegang reksa dana saat ini?
Baru 260 ribu pihak per tengah Agustus 2008. Kita harus terus-menerus memperluas basis klien, memperbesar kuenya. Jangan lupa, industri ini baru ada pada 1996. Itu pun pada 1997, 2005, dan saat ini terkena krisis. Jadi, memang perlu waktu.
Abiprayadi Riyanto
Tempat dan tanggal Lahir: Jakarta, 2 Oktober 1957
Pendidikan:
- Sekolah Dasar Budi Waluyo, Jakarta, 1970
- Sekolah Menengah Pertama Negeri 12, Jakarta, 1973
- Sekolah Menengah Atas Negeri 3, Jakarta, 1976
- Sarjana Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1985
- Master of Business Administration dari Institut
- Pengembangan Manajemen Indonesia, 1990
Karier:
- Presiden Direktur PT ABN AMRO Investment Management, 1996-2001
- Managing Director Mandiri Sekuritas, 1999-2002
- Presiden Direktur PT Mandiri Manajemen Investasi, 2004-sekarang
- Pengajar magister manajemen Universitas Indonesia
- Ketua Asosiasi Pengelola Reksa Dana Indonesia, 2007-sekarang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo