ADA sesuatu yang "hilang" di kantor penerbitan majalah Aku Tahu di Pulogadung, Jakarta. Itulah bagian "pracetak" yang biasanya selalu hadir dalam usaha penerbitan. Pasalnya, pekerjaan yang biasanya melibatkan pemotongan dan penempelan kertas lay out (tata letak) ini sudah diambil alih komputer. Kini semuanya dilakukan di layar komputer sebelum dicetak di atas kertas. Merasuknya Personal Computer (PC) ke dunia penerbitan dan percetakan memang menyebabkan terjadinya sebuah "revolusi". Ini dimungkinkan oleh adanya program-program khusus untuk menyatukan teks(huruf) dengan gambar (grafis), dan dikenal dengan nama DeskTop Publishing (DTP). Secara harfiah, DTP berarti kemampuan melakukan upaya penerbitan dari belakang meja saja (lihat Makin Ba~k Makin Murah). Kemampuan ini memang sudah ada. Paling tidak, dr. E. Nugroho, pemimpin redaksi majalah Aku Tahu, sudah melakukannya sejak Maret lalu. Yakni dengan menggunakan PC jenis IBM Compatible yang dimilikinya, yang diisi dengan program DeskSet dan Ventura. Dengan kedua program ini, tata letak majalah Aku Tahu ataupun Ensiklopedi Indonesia yang digarap Nugroho dapat dibuat di layar PC-nya. "Kalau sudah oke, kami cetak di laser printer," kata Nugroho. Laser printer akan mencetak gambar yang terpampang di layar komputer itu, dengan resolusi 300 titik setiap inci (dot per inch = DPI). Ini resolusi yang lumayan. Sebab, resolusi sebuah foto di kertas koran biasanya hanya 85 DPI. Tetapi masih jauh di bawah kehalusan typesetter profesional yang besarnya 1.200 sampai 2.000 DPI, sepertl yang digunakan, misalnya, pada majalah Femina. Resolusi laser printer ini dianggap cukup oleh harian Jayakarta. Koran yang terbit kembali dengan wajah baru sejak 1 Maret 1988 itu memilih PC merk Apple dan program PageMaker buatan Aldus sebagai DTP-nya. Namun, karena printer yang digunakan, Apple Laser Writer Plus, hanya mampu mencetak di atas kertas ukuran folio, maka pemotongan dan penempelan masih dilakukan dengan tangan. "Sebenarn~ya, lay out keseluruhan bisa dilakukan di komputer, namun kami tak memiliki alat pencetak ukuran kertas koran, karena mahal harganya," kata Heri Mulyono, koordinator komputer di Jayakarta. Walhasil, cuma untuk tulisan berbentuk boks berukuran folio atau lebih kecil yang dicetak langsung jadi. Harian Jayakarta memang masih tanggung dalam menerapkan komputerisasi. Para wartawannya masih menggunakan mesin ketik. Demikian juga pengeditan masih di atas kertas. Lantas hasil pengeditan itu diketik ulang ke komputer untuk diatur komposisinya. Sebenarnya, Jayakarta merencanakan agar komputer "membaca" tulisan kertas itu tanpa diketik ulang. Yaitu dengan menggunakan peralatan khusus berupa s~anner, yang mampu membaca huruf ketik di kertas dan mengubahnya menjadi sinyal elektronik yang dimengerti komputer. Alat ini biasanya disebut Optical Character Recognition (OCR). "Tapi alat scanner merk Dest itu sekarang rusak dan sedang diperbaiki di Singapura," kata Heri. Jayakarta agaknya menganggap penggunaan lima komputer Apple ini sebagai langkah efisiensi dan penghematan. "Biaya produksi kami sekarang tak sampai separuh sebelum komputerisasi," kata Acien H. Yassien, pemimpin redaksi dan penanggung awab harian ini. Jayakarta bukan satu-satunya pemakai program PageMaker. "Kami sudah menjual 50-an program PageMaker asli," kata Bob Jon, karyawan PT Kahardjaja. Perusahaan yang juga mengageni merk Apple di Indonesia ini menawarkan PC-nya dengan harga antara 7 juta dan 15 juta rupiah, tergantung kelengkapan dan jenisnya. Sedangkan harga laser printer merk Apple Laser Writer,~ plus adalah sekitar 11 juta rupiah alias sepersepuluh harga typesetter profesional. Laser printer merk H & P yang dibeli oleh majalah Ak~u Tah~u ternyata jauh lebih murah. "Saya beli dengan harga 4,5 juta rupiah," kata Nugroho. Sedangkan program yang digunakan, Ventura, dibelinya di Inggris dengan harga tak sampai 800 ribu rupiah. Selain itu, juga dibeli 20 PC IBM Compatible dengan harga 1,3 juta rupiah sebuah kecuali dua buah yang lebih cepat dan canggih, dua kali lebih mahal. "Jadi, total investasi tak sampai 50 juta," kata Nugroho, yang menganggap DTP hanyalah satu bagian kccil dari rencana mengotomatisasikan seluruh kantornya. Keuntungannya, "Waktu kerja menjadi 50 % lebih cepat, dan biaya saya kira tak sampai separuhnya," katanya bersemangat. Tak sulit belajar Ventura. Di Jakarta ada Lepisi Computer Club (LCC), yang sudah meluluskan 17 siswa untuk belajar Ventura. Kursus empat hari dengan lama kelas empat jam per hari ini memungut 120 ribu rupiah dari setiap siswanya. "Kebanyakara dari karyawan penerbitan, percetakan, atau perusahaan besar," kata Ari Hendrawan, salah seorang pengajar di lembaga ini. Bisa dipastikan di sini banyak beredar - program Ventura bajakan. Cukup dengan 30 ribu rupiah bisa diperoleh program sepanjang 11 disket floppy itu. Padahal, agen resmi Ventura di Indonesia, PT Astra Graphia, menjualnya Rp 1,2 juta setiap program. "Kami tak bisa apa-apa, karena UU Hak Cipta belum mencakup program komputer," kata Setyo Adioetomo, direktur operasi Astra Graphia. Kendati demikian, bukan berarti tak ada yang membeli. "Perusahaan besar dan asin~g biasanya tak mau beli yang bajakan," tambah Setyo, yang sudah setahun ini memasarkan Ventura. Ia mengaku telah memberikan training kepada 20 orang. Latihan memang dlbenkan secara gratis. "Lama pendidikan lima hari," kata Eko Prawito, salah seorang instruktur di Astra Graphia. Alumnus ITB ini beranggapan, DTP belum cocok betul untuk penerbitan kualitas tinggi. "Sasaran kami memang masih perusahaan besar yang banyak menerbitkan dokumen," katanya. Tapi, jika lase~r printer beresolusi tinggi sudah diproduksi, DTP ini, "akan mengambil alih teknologi penerbitan," tambahnya Jika ini terjadi, biaya dan waktu yan~g, dibutuhkan dalam proses penerbitan akan melorot. Artinya, semakin banyak orang akan berpeluang untuk menjadi penerbm Walhasil, sebuah "demokratisasi" dalam dunia penerbitan akan menggelinding. Itu kalau tak ada persoalan dengan perizinan. Bambang Sujatmoko dan Bambang Harymurti (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini