Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAYANGKAN begini. Anda lama tak bertemu suami, istri, atau pacar. Kangen. Anda lalu menghubunginya lewat telepon genggam. Begitu mengobrol, si dia ternyata rindu juga dan ingin diremas tangannya. Bagaimana caranya? Gampang, remas saja telepon tersebut seolah-olah ia tangan pasangan tercinta. Dijamin, pacar di seberang sana juga akan bisa merasakan sentuhan tangan Anda.
Tentu saja apa yang Anda bayangkan di atas belum benar-benar terjadi saat ini, kendati bukan tak mungkin sebentar lagi akan jadi kenyataan. Seperti ditulis BBC News Online pekan lalu, para ilmuwan dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), Boston, Amerika Serikat, kini tengah mencoba menerapkan teknologi "sentuh-menyentuh"—disebut haptic—pada telepon genggam, salah satu perangkat jinjing yang populer se-karang ini.
Haptic berasal dari kata Yunani, haptikos, yang berarti "menyentuh". Indra peraba, sentuhan pada kulit, adalah salah satu indra manusia yang terpenting. Tapi, selama ini komputer umumnya hanya mampu mengantarkan bunyi (pengalaman audio telinga) dan gambar (pengalaman visual mata). Teknologi haptic memungkinkan manusia mendapat pengalaman sentuhan dan rabaan.
Haptic pada dasarnya adalah teknik memasok informasi digital tentang bentuk dan tekstur suatu benda yang kemudian diolah komputer menjadi sesuatu yang bisa dirasakan oleh indra manusia, misalnya "rasa" empuk, kasar, bulat, tebal, tipis, dan sebagainya. Teknologi ini memungkinkan seseorang seolah sedang memegang sebuah benda sungguhan, meskipun sebenarnya cuma secara virtual.
Dipelopori penggunaannya dalam virtual reality, teknologi haptic ini populer dalam lima tahun terakhir. Beberapa proyek berbasis "ilmu menyentuh" itu berkembang maju antara lain di MIT dan beberapa universitas terkemuka dunia. Salah satunya adalah telepon seluler haptic, yang dikerjakan oleh Palpable Machines Research Group di MIT's Media Lab Europe, Dublin, Republik Irlandia.
Sile O'Modhrain, pemimpin proyek itu, berharap teknologi sentuhan bisa memberikan manfaat kepada kaum tunanetra seperti dirinya. "Saya selalu membayangkan komputer bisa memberikan pengalaman yang kaya bagi mereka, seperti televisi bagi orang yang bisa me-lihat," katanya.
Interaksi para tunanetra dengan komputer selama ini hanya dilakukan lewat media suara dan umumnya suara yang sangat artifisial. Menurut O'Modhrain, dengan feedback yang dihasilkan oleh teknologi haptic ini, mereka akan mendapat pengalaman baru di bidang fisika dan matematika, atau sekadar bersenang-senang main game.
Ini bahkan juga bermanfaat bagi orang-orang yang bisa melihat. Dalam dunia kedokteran, haptic memungkinkan seorang dokter meraba jaringan tubuh yang tersembunyi, yang dihasilkan CT-Scan, misalnya, untuk mendiagnosis penyakit.
Di laboratorium MIT, O'Modhrain dan kelompoknya membuat alat permainan sederhana berbasis haptic sebagai bahan eksperimen. Alat ini berupa silinder kayu yang dihubungkan dengan kabel ke komputer. Dua orang pemainnya bisa saling merasakan gerakan silinder. Percobaan mereka sukses.
Di luar MIT, ada beberapa ilmuwan lain yang juga pernah melakukan eksperimen berdasarkan teknik haptic. Salah satunya adalah Takuya Nojima dari Universitas Tokyo. Ia menciptakan suatu model yang disebut sistem Smart-Tool. Sistem ini memungkinkan orang merasakan batas antara dua permukaan yang halus, misalnya batas antara minyak dan air atau batas antara bagian putih dan kuning telur.
Pada percobaan minyak dan air, Nojima menempatkan sensor-sensor untuk mengukur konduktivitas kedua cairan tersebut. Begitu permukaan minyak disentuh, konduktivitasnya nol. Sebaliknya, konduktivitas air naik. Perbedaan konduktivitas ini kemudian dipakai oleh Smart-Tool sebagai data yang diperlukan untuk membedakan batas antara kedua cairan. Pada percobaan dengan telur, Smart-Tool bisa memisahkan bagian putih telur dan kuning telur.
Riset-riset berbasis teknologi haptic masih dalam tahap sangat awal, tapi para ilmuwan antusias sekali membayangkan kemungkinan penerapannya secara luas. O'Modhrain memberi ilustrasi tentang dua orang yang bersama-sama merancang sebuah kursi, padahal keduanya terpisah jarak belasan kilometer. Kelak, dengan teknologi haptic, dua perancang ini tidak hanya dapat berdiskusi mengenai bentuknya secara visual, tapi juga berbagi pengalaman tentang bagaimana permukaan kursi itu.
Perkembangan teknologi kadang memang berawal dari impian, yang akhirnya jadi kenyataan.
Wicaksono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo